webnovel

미친 - Crazy!

(telah di revisi)

Tubuh mungil Sena, masih termenung di atas sofa hitam di ruang tamu rumah Jimin. Wanita ini, masih saja belum bisa mencerna ucapan Jimin beberapa jam lalu.

Baginya ini semua mustahil. Menikah?. Jimin mengajaknya untuk menikah. Yang benar saja!. Sudah Sena tegaskan, kalau ia tidak mengenal Jimin. Bagaimana bisa, ia menerima lamaran pria itu.

Ini tidak bisa Sena biarkan.  "Menikah?" ucap Sena tak percaya. Semakin di pikirkan, rasanya semakin tidak masuk akal. Sena tidak pernah bertemu dengan pria bernama Jimin.  melihatnya saja tidak pernah.

Sena mendesah pelan. Yang benar saja!, dasar pria gila!. batinnya kesal. Meskipun, baru putus cinta dengan Junsu. Sena bukan wanita gampangan yang bisa langsung jatuh cinta pada seorang pria atau menerima lamaran saat seorang pria mengajaknya menikah. Ia harus melihat bibit, bebet dan bobot pria ini dulu.

Sena tidak bisa berfikir jernih saat ini. Ia kebingungan. Sangat bingung dan takut. Satu cara yang terlihat di benaknya adalah buru-buru kabur dari rumah ini.

Untuk masalah balas budi Sena pada Jimin, itu bisa ia lakukan nanti. Yang terpenting sekarang, Sena harus kabur dari rumah ini sebelum Jimin yang gila itu menyeretnya ke pelaminan dan memaksa Sena untuk menikah dengannya.

Siapa yang tahu, apa yang ada di pikiran Jimin. Melihatnya saja Sena merasa takut, apa lagi bertemu. Dengan langkah gegabah, Sena berjalan menuju pintu, baru saja tangannya ingin memutar kenop pintu. Bibi Jung yang sedari tadi tidak terlihat di seluruh penjuru rumah kini, muncul di hadapannya, seperti penjaga.

"Anda tidak boleh pergi ke manapun, Nona." Bibi Jung menahan pintu saat Sena hendak menarik kenop pintu. "Ini perintah Tuan Jimin, saya tidak bisa berbuat apapun."

Sena mengeram. "Aku harus keluar dari rumah ini!" ucap Sena menegaskan. "Aku yakin, Bibi bisa membantuku... tolong keluarkan aku dari rumah ini." Sena memohon.

Bibi Jung menatapnya iba pada Sena. Tapi, seperti yang ia sudah sampaikan. Bibi Jung, tidak bisa melanggar perintah Jimin. Walaupun, ia sangat ingin membantu Sena saat ini. Tapi ia tidak bisa. Yang bisa, Bibi Jung lakukan hanyalah menenangkan Sena.

Sena merengek meminta tolong pada Bibi Jung. Tapi tetep saja, wanita yang sudah bekerja selama lebih dari dua puluh tahun ini tidak berani melanggar perintah Jimin. Ia paham betul, bagaimana perangai sosok Jimin.

Bibi Jung memegang bahu Sena. "Lebih baik, anda menunggu sampai Tuan Jimin pulang."

Sena mendesah pasrah. Tidak ada gunanya dia merengek seperti anak kecil, saat Bibi Jung tidak mau menuruti ucapannya. Lebih baik, ia mengikuti saran Bibi Jung. Menunggu Jimin dam meminta pria itu membebaskannya dari rumah ini.

Tidak ada pilihan lagi!

Sena, kembali mendudukkan dirinya pada sofa ruang tamu. Wanita ini termenung dengan tatapan kosong. Ia merasa seperti terjebak dalam sangkar burung emas. Menyebalkan!. batinnya kesal.

Rasa sakit mulai menerjang kepala Sena. Saat wanita ini, memaksakan dirinya untuk berfikir.  Matanya mulai terasa berat begitupun dengan kepalanya. Mungkin, kondisi Sena belum sepenuhnya sembuh total. Ia memutuskan untuk merehatkan pikirannya sejenak dengan menutup kedua matanya.

Baru beberapa menit Sena memejamkan matanya. Matanya yang masih terasa berat, di paksa untuk terbuka saat Sena merasakan sentuhan lembut dari tangan seseorang, mengelus rambutnya perlahan.

Jimin tersenyum. "Apa kau merasa baik, kan?" Tanyanya dengan raut wajah khawatir.

Sena membenarkan posisi duduknya. Lalu, ia menatap Jimin tajam. Bisa-bisanya Jimin masih tersenyum padanya. Dasar pria aneh! ejek Sena dalam hati.

Tanpa mempedulikan sorot mata Sena yang menatap tajam padanya. Jimin mengambil mangkuk bubur di atas meja kaca yang baru saja disiapkan Bibi Jung atas perintahnya beberapa menit lalu. Kemudian, ia menyodorkan mangkuk bubur yang agak panas itu ke hadapan Sena.

"Kau harus makan, supaya kondisi tubuhmu pulih." ucapnya lembut.

Sena tidak merespon. Ia memalingkan wajahnya. Sena yakin, seratus kali lipat, Jimin pasti mengidap gangguan jiwa. Bukan seratus, tapi seribu kali lipat.

"Apa kau ingin aku menyuapi mu?" tanyanya dengan ulasan senyum manis sambil menyendok, kan bubur ke sendok. Lalu, menyodorkannya di depan mulut Sena.

Sena menatap kesal pada Jimin. "Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku." tanya Sena tidak tahan lagi.

Jujur saja, Sena tidak memiliki tenaga untuk berdebat ataupun meminta penjelasan dari pria ini. Satu hal yang Sena inginkan, hanyalah keluar dari rumah ini dan kembali ke rumahnya. 

Jimin hanya menatap Sena lurus dan dalam, membuat wanita ini menjadi sangat risih.  "Kau harus makan dan minum obatmu Sena... aku  janji, setelah itu akan ku jelaskan semuanya kepadamu." ucap Jimin lembut diakhiri seulas senyum tipis.

Shit!

***

Setelah menuruti ucapan Jimin untuk makan dan minum obat. Ini, saatnya bagi mereka berdua untuk berbicara. Sejujurnya, Sena tidak butuh penjelasan apapun dari pria yang saat ini duduk di hadapannya dengan santai. Sena tidak peduli. Ia bisa menganggap semua ucapan dan perhatian Jimin sebagai gurauan belaka.

Tapi tidak, dengan Jimin. Pria ini memaksa pada Sena untuk mendengarkan penjelasannya. Apa, Jimin benar-benar ingin menikahi Sena?. Oh man! Tidak mungkin! Ini tidak boleh terjadi!

Berbeda dengan ucapan Jimin yang semula ingin menjelaskan segala hal pada Sena. Malah, pria ini diam seribu bahasa. Hanya, tatapan dalam dan lembut yang pria ini berikan pada Sena.

Setelah menatap beberapa menit wajah masam Sena, Jimin mengambil cangkir teh panas di atas meja datar yang terbuat dari kaca. Meniupnya beberapa kali sebelum akhirnya diminum oleh Jimin.

Sorot mata Sena menatap tajam pada Jimin. Ayolah, ini tidak sesuai dengan perjanjian mereka sebelumnya. Sena ingin cepat pulang ke rumahnya. Kenapa Jimin seolah mengulur waktu.

Baiklah, Sena tidak tahan lagi. Ia bangkit dari kursinya, lalu berteriak ke arah Jimin. "Apa aku duduk disini hanya untuk melihatmu meminum teh?" tanya Sena kesal.

Sena rasa, energinya sudah pulih kembali. Makanya, ia bisa membentak Jimin seperti tadi. Sena tidak peduli lagi, mau Jimin psikopat, penjahat, penculik atau apapun. Sena tidak peduli.

Ia tidak merasa takut sama sekali. Kalau pun, Sena harus mati dengan cara di mutilasi oleh Jimin, itu tidak akan menjadi masalah baginya. Sena rela. Lagi pula, memang ini keinginan Sena. Mengakhiri hidupnya secepat mungkin.

Jimin meletakkan cangkir teh yang masih mengepul itu, ke atas meja bundar. Di tatapnya mata Sena dalam, lalu seulas senyum manis terukir di wajah tampannya.

"Apa yang ingin kau dengar dariku?" tanya Jimin, sambil menopang dagunya di kedua tangan.

Entah sudah berapa kali Sena mengeram kesal di rumah ini. Sena rasa, Jimin sangat ingin melihatnya berubah menjadi monster ketika sedang marah.

Sena melontarkan tatapan tajam ke arah Jimin. "Dengarnya pria aneh... kau yang memaksaku untuk duduk di sini, agar aku mendengar penjelasan mu yang sama sekali tidak ingin aku ketahui. Tapi apa yang kau lakukan?" tanya Sena tidak habis pikir. "Kau malah duduk santai sambil meminum teh hangat... dan kau malah balik bertanya padaku? menyebalkan!" sambung Sena.

Jimin kembali tersenyum manis pada Sena. Apa bagi Jimin, Sena seorang badut yang selalu dapat membuatnya tersenyum?. Cukup sudah, Tangan Sena mulai terasa gatal, ingin rasanya ia menampar wajah tampan Jimin sehingga pria ini berhenti tersenyum padanya.

Lebih baik melihat Jimin marah di bandingkan tersenyum seperti ini. Meskipun, Sena tidak tahu bagaimana tempramen Jimin ketika sedang marah. Tapi bagi Sena, itu lebih baik dari pada melihat senyum Jimin yang memang memikat.

Fix! Jimin punya gangguan jiwa sekaligus mental! batin Sena.

Terlihat, Jimin sedang berfikir sejenak dengan tatapan mata yang masih memandang sosok Sena yang terlihat masam dan kesal. "Aku kira kau yang akan bertanya padaku?" ujarnya santai.

Sena berdecak kesal mendengar ucapan Jimin barusan.  "Sudahlah!... aku malas bicara denganmu, bisa-bisa aku tertular gila karena terus berinteraksi denganmu!" ucap Sena malas. "Sekarang beritahu aku alamat tempat ini.... karena aku ingin pulang." ucap Sena sambil menunggu respon Jimin.

Jimin berdiri dan menyelaraskan posisinya dengan Sena. "Kau... tidak akan pergi kemanapun, karena kau akan tinggal bersamaku, di rumah ini." Jimin mengatakan itu dengan serius, membuat Sena memekik heboh.

Mata Sena berkedip beberapa kali memandangi pria tidak normal di hadapannya yang terdiam seperti patung, menunggu respon darinya. " Kau... memang tidak waras." sindir Sena dengan tatapan iba. "Ku sarankan agar kau memeriksakan dirimu di rumah sakit jiwa, sebelum kondisimu itu semakin parah." usul Sena sebelum akhirnya, wanita ini meninggalkan ruang tamu menuju pintu utama.

Jimin tidak menghentikan Sena, atau pun menahan wanita itu untuk tetap mendengarkannya. "Setiap orang bisa jatuh cinta hanya dalam hitungan per sekian detik... dan itu bukan karena mereka gila, tidak waras atau karena mereka maniak cinta... tapi, karena hati mereka telah memilih dimana tempat yang ingin di tinggali." suara Jimin terhenti sesaat. "Dan aku... memilih hatimu sebagai tempat pelabuhan terakhir bagi hatiku."

Sena terdiam kaku. Tangannya yang semula ingin memutar kenop pintu dan cepat-cepat kabur dari rumah Jimin, tiba-tiba tidak bisa ia gerakan. Rasanya seperti terkena mantra sihir.

Jimin yang sudah berdiri di belakang Sena, membalik tubuh wanita itu dan menatapnya dengan lembut. Lalu, seulas senyum kembali terukir di wajah Jimin.

Tatapan Jimin, terlihat seperti orang yang sudah begitu lama merindukan sosok di hadapannya untuk hadir kembali dalam hidupnya. Tapi, Sena tidak mengerti kenapa Jimin harus menatapnya seperti ini.

Baiklah, cukup tatap - tatapannya. Sena menepis tangan Jimin dari bahunya. Tubuh Sena mulai menegang karena takut. Kakinya perlahan berjalan mundur beberapa langkah sebelum akhirnya ia berucap.

"Kau memang tidak waras Jimin."

"Tidak masalah jika aku tidak waras....karena kau bisa menyembuhkan ku." ucap Jimin yakin.

Sena menatap aneh pada Jimin. Aku? batinnya tidak percaya. Apa Jimin pikir Sena dokter? Atau seorang perawat?. Bagaimana cara Sena menyembuhkan orang sakit jiwa jika, ia bukan lulusan kedokteran. Bertemu dengan orang gila saja, Sena ketakutan setengah mati. Apa lagi, kalau harus tinggal dan menikah dengan orang gila. Bisa-bisa Sena ikutan gila.

Jimin masih menatap Sena sendu. "Karena itu... menikahlah denganku dan sembuhkan aku, Kim Sena." ucap Jimin lirih.

Selagi mendengar ucapan Jimin, perlahan Sena berjalan mundur. Saat tubuhnya sudah menempel di pintu, perlahan tangan kanan Sena mencari kenop pintu. Setelah mendapatkannya, cepat-cepat Sena memutar kenop itu lalu, berlari gocar-gacir meninggalkan Jimin yang sama sekali tidak bergeming mengejar Sena.

***

Kaki Sena terasa lemas setelah berlarian cukup jauh. Ia pun merehatkan diri di salah satu halte bus yang nampak sepi. Sembari menunggu bus datang, Sena meronggoh kantung celana jeans warna biru laut yang ia kenakan.

Untung saja, Sena selalu membawa kartu E-manny kemanapun ia pergi. Tidak butuh waktu lama, bus tujuan Sena berhenti di halte yang saat ini tengah di duduki olehnya. Sena menaiki bus itu, dan memilih duduk di salah satu bangku kosong yang ada di belakang.

Sena, menyandarkan kepalanya pada kaca jendela bus. Di tatapnya jalanan tanpa antusias. Seharian terkurung di rumah Jimin dan bertemu dengan pria seperti Jimin, membuat Sena berfikir dua kali untuk mengakhiri hidupnya.

Mungkin, ada baiknya jika Sena menjalankan hidupnya dengan baik. Dari pada, ketika dia mengakhiri hidup dan malah berakhir terlahir kembali sebagai anak Jimin. Sena, bisa gila karena punya ayah aneh dan tidak waras.

"Hidupmu... berat sekali Sena."

Selama perjalan Sena hanya melamun meratapi kehidupannya yang terasa kacau semenjak kepergian ayahnya dan tambah kacau lagi semenjak ibu tercintanya meninggal.  Kenapa aku tidak bisa bahagia!. ucap Sena dalam hati.

Setelah bus yang naikin Sena itu berhenti di pemberhentian bus yang mengarah ke rumahnya. Sena melangkahkan kakinya dengan malas, sesekali ia menendang udara menuju rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter setelah belok ke kanan dari halte bus.

Saat Sena, baru akan mengeluarkan kunci rumah dari kantung celana yang ia kenakan. Pundaknya di cegat,  oleh seorang wanita paru baya yang merupakan pemilik rumah ini.

"Jika kau masih ingin tinggal di rumah ini, kau harus melunasi biaya kontrakan!" Ucap bibi pemilik rumah dengan raut wajah kesal.

Sena tidak menjawab. Ia tidak punya uang sepersen pun saat ini. Semua uang tabungannya habis, untuk membiayai rumah sakit serta pemakaman ibunya dan sekarang yang tersisa  di kantung Sena hanya beberapa lembar uang receh.

Sena memohon pada Bibi pemilik rumah, agar membiarkannya tinggal beberapa hari sampai ia mendapatkan pekerjaan baru. Sena bahkan berjanji, akan membayar uang sewa setelah ia mendapatkan uang nanti.

Tapi Bibi pemilik rumah, malah menerobos masuk ke dalam rumah Sena dengan kunci cadangan yang ia miliki. Lalu, mengeluarkan semua pakaian Sena dan ibunya dari dalam lemari. Kemudian membawa semua pakaian itu ke luar, dan membuangnya bersamaan tas hitam besar milik Sena ke lantai.

"Sudah cukup aku berbaik hati selama ini" ucapnya masih dengan penuh emosi. "Jika kau tidak punya uang, jangan tinggal disini!" sambungnya, lalu meminta kunci rumah Sena. Mau tidak mau, Sena menyerahkan kunci itu.

Sena pun jalan terluntang-lantung tak tentu arah. Ia tidak tahu harus pergi kemana saat ini. Teman dekatnya Jun Ki dan Bora tidak ada di Seoul saat ini. Mereka berdua sedang berlibur bersama ke luar negeri. Bahkan kerabat keluarga, baik dari ayah atau ibu, tidak ada yang dekat dengan Sena.

"Kemana aku harus pergi..." gumamnya sembari membawa tas hitam yang cukup berat itu.

Seadanya, Junsu tidak mengkhianatinya. Mungkin, Sena akan menginap beberapa hari di rumah Junsu. Tapi apa yang bisa Sena katakan lagi, nasi sudah menjadi bubur. Ia sendirian saat ini.

Tanpa semangat hidup sama sekali, Sena kembali meneruskan perjalan yang tidak tentu arah ini. Perutnya begitu lapar dan tubuh Sena terasa begitu lemas.

Rasanya, demam Sena belum turun sepenuhnya. Sekarangpun, keningnya terasa panas. Dengan energi yang hanya tersisa sedikit, Sena memutuskan untuk merehatkan dirinya di salah satu toko yang sekarang sudah tutup karena hari sudah malam.

Mata coklatnya, menatap lurus kearah toko roti yang berada tepat di sebrang jalan ini. Ingin sekali Sena memakan roti yang masih mengepul itu. Sayangnya, Sena tidak punya uang. Ia memeluk tubuh ringkih nya yang sudah tidak memiliki tenaga.

"Ini tidak cukup untuk membeli sebuah roti." ucap Sena, sambil memandangi beberapa koin receh di tangan kanannya. 

Sena kembali memasukan uang itu ke dalam kantung celana. Lalu, ia mengeluarkan botol air mineral dari dalam tas hitamnya dan meneguk air itu hingga tinggal separuh.  "Lapar sekali." gumam Sena, sambil menyentuh perutnya yang keroncongan.

Seketika air mata Sena mengalir tanpa disadarinya. Sena merindukan ibunya, setidaknya ia akan baik-baik saja jika ia masih memiliki ibu di sampingnya.

Disandarkannya kepalanya yang terasa berat dan mulai pusing itu pada tas hitam yang sejak tadi di peluk erat olehnya. Mungkin, tidur di sini sehari tidak akan jadi masalah. Karena, besok Sena pasti akan langsung mencari pekerjaan untuk menyambung hidupnya.

Hampir tiga puluh menit Sena terdiam dengan posisi yang masih sama. Ia mengantuk, tapi tidak bisa tidur karena banyak orang masih berlaku lalang di jalan ini.

Seorang pria berdiri di hadapan Sena, sambil menatap iba padanya. "Mengapa selalu saja sulit untuk menemukanmu?" ujar pria itu sedih.

Sena memutuskan untuk mengintip sekilas. Dia kenal suara ini. Jimin. Pria ini berdiri di hadapannya masih dengan pakaian kantor yang tadi pagi di lihat oleh Sena.

Wajah khawatir begitu terpancar dari raut wajah Jimin. Alis Sena saling bertautan saat melihat Jimin berdiri di hadapannya. Bagaimana pria ini, bisa menemukanku? batin Sena

"Kau lagi?" tanya Sena, tidak percaya.

Jimin mengulurkan tangannya pada Sena. Berniat membantu wanita ini untuk berdiri. "Ayo pulang." ucapnya.

Tapi, Sena malah menepisnya dengan kasar. Ia bangkit dari posisi jongkok dengan tatapan mengawasi Jimin dan mengambil ancang-ancang untuk kabur.

Saat Jimin lengah, Sena berusaha lari, tapi kondisi tubuhnya yang masih belum sepenuhnya sembuh total tidak mendukung niatnya untuk kabur dari Jimin.

Sampai, rasa sakit kembali menerjang kepalanya dan membuat pandangannya gelap seketika. Untung posisi Jimin yang berada tidak jauh dari Sena, memungkinkan pria itu untuk menangkap tubuh lemas Sena yang sudah pingsan dan tidak sadarkan diri.

***

Perlahan Sena membuka paksa matanya.  Ditatapnya kamar yang tidak lagi asing ini dengan malas, setelah retina matanya dapat melihat objek dengan jelas. Kenapa aku kembali lagi ke sini. batinnya.

Lalu, matanya juga menangkap pemandangan yang sama, saat pertama kali ia datang kemari. Selang infus yang menancap di punggung tangan kanannya serta Jimin yang sekarang duduk di tepi kasur sambil menatap Sena. Tatapannya jauh lebih khawatir dari sebelumnya.

"Apa kau sudah merasa baik, kan? tanya Jimin khawatir.

Tidak ada respon dari Sena. Wanita ini memalingkan wajahnya memandangi langit malam dari balik kaca jendela yang terbuka. Sena lelah. Dunia seakan membuatnya selalu berada di dalam genggaman Jimin. Padahal Seoul sangat luas.

Jimin kemudian menyentuh kening Sena. Memeriksa apakah demam wanita ini sudah turun. "Minumlah obat dengan begitu demam mu akan sembuh." ucap Jimin lembut.

Sena tidak merespon. Ia menatap Jimin sesaat. "Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku?" tanya Sena sambil menatap curiga padanya.

Jimin tersenyum sekilas. "Bukankah sudah ku katakan padamu... aku ingin menikah denganmu Sena." jawab Jimin santai.

Sena mengeram dalam diam. Sena begitu heran,  kenapa Jimin selalu saja membahas pernikahan dengannya?. Padahal Sena sudah menolak pria ini beberapa kali, dan Sena juga sempat mengatai pria ini tidak waras. Tapi, kenapa Jimin masih mau menikah dengannya?.

"Berhentilah mengatakan lelucon!" ucap Sena sinis. 

Jimin menatap Sena lurus. "Aku tidak pernah mengatakan lelucon untuk soal pernikahan Kim Sena." ucapnya serius.

Pandangan mereka saling bertemu. Bisa Sena lihat sorot mata Jimin yang mengatakan kejujuran yang sangat tulus. Tapi sayang, Sena tidak akan semuda itu untuk terpikat pada pesona Jimin.

Sekali pun, pria ini bersikap manis dan perhatian pada Sena. Sena tidak akan mudah terpedaya dengan rayuan Jimin.

***

Next chapter