2 Rindu Yang Terhalang

"Varo, kenapa kamu jahat sekali baru menghubungiku sekarang?" kata Ellaine dengan wajah cemberut. Ia benar-benar kesal dengan pemuda yang tengah video call dengannya, ia sudah membuatnya khawatir karena menghilang selama 1 minggu.

"Maaf, maaf… bukan tanpa alasan aku tak menghubungimu, sudah ku katakan berkali-kali kan? di rumah kakek tidak ada jaringan sedikitpun, itu juga membuatku stres Ell" wajah Varo juga ikut di lipat.

"Kenapa kamu ikut stres? bukannya di sana banyak gadis-gadis desa yang anggun-anggun?" tanya Ellaine kesal.

"Tentu, setiap hari aku melihatnya, tapi entah kenapa hanya ada satu wajah yang membuatku sulit untuk tidur, bahkan sulit untuk bernafas karena selalu merindukannya" Varo menjawab dengan serius.

"Benarkah? seperti apa sih dia sampai membuat kekasihku melupakan pacarnya selama seminggu? aku penasaran apa dia lebih cantik dariku" Ellaine berkata dengan nada cemburu, keningnya berkerut menandakan sedang berpikir.

"Kamu mau tau seperti apa dia?"

Ellaine mengangguk.

"Dia adalah wanita tercantik di dunia yang pernah aku temui, dia punya senyum yang indah, sorot matanya teduh, dia akan sangat cantik ketika dia tertawa, dan yang pasti dia sangat mencintaiku" Kata Varo menggambarkan.

"Waw,sepertinya orang itu sangat special bagimu tuan Alvaro" Ellaine berkata dengan wajah di tekuk.

"Tentu" Varo menatap Ellaine lewat layar kecil itu dengan tatapan penuh arti. "Aku merindukanmu Ell" bisiknya.

Ellaine terdiam.

"Aku juga merindukanmu" Air mata Ellaine tak lagi bisa di bendung, kerinduan yang begitu mendalam terasa begitu menyayat, ingin rasanya ia lari ke dalam pelukan laki-laki yang ada di layar ponselnya itu, menumpahkan segala rasa yang tak lagi bermakna. Entah kenapa hatinya begitu gelisah melihat tatapan Varo, ia merasakan begitu sakit dan rindu yang tercampur dalam perasaan yang sulit untuk di mengerti.

Kenapa tatapan itu penuh dengan luka? hati Ellaine tak bisa membohonginya, pasti ada yang Varo sembunyikan darinya. Pikir Ellaine.

"Aku tahu kamu sedang berpikir apa sekarang" Kata Varo melihat raut wajah Ellaine yang sedikit basah oleh air mata.

"Apa coba?" Ellaine mengusap air matanya.

"Jangan mudah menafsirkan sesuatu yang tak terlihat, kamu baru saja meragukanku kan? kamu berpikir bahwa aku sedang menyembunyikan sesuatu darimu, benarkah itu?"

Perkataan Varo begitu menghantam dadanya, ia tak menyangka tebakan Varo terhadap dirinya akan sejujur itu.

"Oke, kamu benar, aku memang mengira kamu menyembunyikan sesuatu dariku, jadi sekarang bolehkah kamu menjawab dengan jujur keraguanku?" tanya Ellaine dengan tegas.

Varo mendesah.

"Ell, pernahkah kamu merasa aku membohongimu? jangankan hal besar, sekecil apapun aku selalu berkata jujur padamu, sungguh aku tak menyembunyikan apapun darimu" kata Varo meyakinkan.

"Lalu ada apa dengan tatapan matamu tadi? kenapa menatapku dengan luka? entah kenapa aku merasa kamu akan pergi" Ellaine menunduk, menyembunyikan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

"Karena aku merindukanmu Ell, aku sangat merindukanmu, hingga rindu itu berhasil membuatku tersiksa" Varo menatap Ellaine dalam.

Dua orang yang tengah menatap di layar masing-masing itu saling menumpahkan kerinduan lewat mata dan hati yang bertautan. Tidak ada yang bisa mereka lakukan, tidak ada pelukan, juga tidak ada kecupan. Kerena jarak yang begitu jauh membuat mereka hanya bisa merasakan lewat angin dan hujan untuk menitipkan rindu dan cinta mereka.

Saat mereka saling mengungkapkan rindu, tiba-tiba Varo merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya. Ia mencoba menyembunyikannya dari Ellaine.

"Ell, Ibuku memanggil, ku tutup dulu ya, kita lanjutkan nanti" kata Varo berbohong.

"Oh iya, salam buat tante"

"Hanya salam kah?"

"Lalu?" Ellaine tak mengerti.

"Tidakkah ingin mengatakan sesuatu yang bisa membuat ibuku senang?" tanya Varo.

"Aaa baiklah, katakan padanya aku sangat menyayangi putranya, jadi tolong titip jaga dia untukku" kata Ellaine dengan tersenyum nakal.

"Kurasa ibu tak hanya akan memujimu" kata Varo.

"Lalu apa yang akan dia katakan?"

"Dia pasti ingin segera membawa calon menantunya ke rumah ini" Varo tertawa, membuat Ellaine tersipu.

Setelah selesai bercanda Varo segera memutus telepon.

Maafkan aku Ell, aku mengingkari janjiku untuk tidak membohongi dan menyembunyikan sesuatu darimu, aku terpaksa melakukan ini, karena aku tak ingin menjadi beban dalam mencapai mimpimu. Akan ku saksikan sendiri kesuksesanmu di masa depan, meskipun nyawaku tak lagi bersama ragaku. Surga tempatku bisa memandangmu tanpa lelah. Batin Varo sambil menangis.

Ia menyadari waktunya kini tak banyak lagi, ia segera memanggil suster yang merawatnya. Setelah mengetahui bahwa umurnya tak lagi panjang Varo memutuskan untuk di rawat di rumahnya sendiri, ia ingin menghabiskan sisa waktunya bersama dengan keluarganya. Untuk itu setiap kali Varo akan melakukan video call dengan Ellaine, ia akan berpoles make up agar tak terlihat pucat, juga ia akan mengganti pakaiannya dan pergi ke tempat yang lebih nyaman untuk berbicara, sebisa mungkin ia akan menghindari sesuatu yang akan membuat Ellaine curiga.

Terlihat seorang suster lari dengan tergopoh-gopoh mendengar Varo memanggilnya. Ia segera menghampiri Varo yang tengah duduk di gazebo taman. Sebenarnya suster ingin selalu berada di samping Varo seperti yang tuan Gilson pesankan agar tak meninggalkan Varo sedetikpun, tapi Varo menolak saat ia akan berbicara dengan Ellaine, Varo merasa tak nyaman jika ada orang lain.

Varo terlihat sangat kesakitan, ia memegang kepalanya sambil meringis menahan sakit yang luar biasa.

"Sus, tolong bantu saya ke kamar" kata Varo dengan terbata.

"Baik tuan" Suster dengan sigap memapah Varo untuk duduk di atas kursi roda, itu akan memudahkannya agar bisa cepat sampai di kamarnya.

Setelah sampai di kamarnya suster segera membantu Varo untuk berbaring, kemudian dia memberi Varo suntikan penghilang rasa nyeri di kepalanya. Meskipun hanya sementara namun itu dapat membantu Varo meringankan rasa sakitnya.

"Silahkan tuan" suster itu memberinya obat untuk di minum, setelah itu Varo segera terlelap dalam tidurnya.

"Bagaimana kondisinya sekarang sus?" tanya Zeline yang sudah berada di sampingnya.

"Masih seperti biasa nyonya, tuan Varo akan selalu merasa kesakitan di kepalanya, dan obat ini hanya bersifat sementara, hanya bisa meringankan rasa sakitnya" kata suster menjelaskan.

Zeline mengangguk paham.

"Saya permisi dulu nyonya" suster menyadari kalau nyonya Zeline ingin berdua bersama Varo jadi ia pamit meninggalkan mereka.

"Nak, kenapa nasibmu seperti ini? siapa yang bisa mama salahkan? maafkan mama tak bisa melindungimu dengan baik" lirih Zeline di samping Vano. Ia menangis, merenungi takdir putranya.

Gilson memasuki kamar Varo, ia melihat istrinya tengah menangis di samping ranjang putranya, menunggui Varo yang tengah tertidur pulas. Wajahnya begitu pucat, ia begitu tenang dalam mimpinya.

Gilson menepuk bahu Zeline pelan, Zeline berbalik menatap Gilson, ia menangis semakin kencang, di peluknya Zeline untuk memberikan kekuatan dan ketenangan.

Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini, hanya bisa memberinya pelukan agar dia kuat menjalani kehidupan yang begitu menyiksa.

Tak ada orang tua yang rela kehilangan anaknya, bahkan jika bisa mereka akan menggantikan penderitaan yang sang anak alami.

Sama halnya dengan Gilson dan Zeline mereka sungguh ingin Varo dapat hidup dengan bahagia, terlepas dari rasa sakit.

Namun, mereka tau itu hanyalah sebuah permintaan dan harapan yang tak akan pernah terwujud. Karena takdir manusia Tuhanlah yang menentukan.

avataravatar
Next chapter