webnovel

Kepulangan Kyano

Pukul 3 dini hari, Kyano baru saja mendarat dari pesawat terbang. Kini ia sedang berada di bandara dengan gusar, menunggu seseorang yang akan menjemputnya. Semalam ia mendapat kabar dari ayahnya jika ia harus segera kembali karena keadaan Varo semakin memburuk. Untung saja pas dengan hari terakhirnya ujian sehingga ia tak perlu lagi mengulang tahun depan karena dia kembali ke Indonesia.

Awalnya ia tak tahu jika keadaan kakaknya begitu kritis, Gilson hanya memberinya kabar bahwa Varo mengalami kecelakaan, Kyano kira itu hanya kecelakaan biasa karena ayahnya pun hanya mengatakan bahwa Varo hanya terluka, jika tahu kalau Varo benar-benar sudah di ambang kematian Kyano akan langsung bergegas pulang ke Indonesia, tak peduli dengan ujiannya. Ia rela jika harus mengulang lagi ujiannya di tahun depan, ia hanya ingin menemani saudaranya di hari-hari terakhirnya.

"Kenapa papa baru katakan sekarang kalau keadaan Varo sudah sampai seperti ini? apa papa sudah tak menganggapku ada di keluarga ini?" Kyano berkata dengan emosi yang menggebu-nggebu, hatinya sungguh terluka. Ia merasa di permainkan, ada kejadian yang begitu besar dan bahkan sampai mengancam nyawa salah satu anggota keluarga namun Kyano tak tahu menahu tentang semua ini.

"Ky, dengarkan penjelasan papa dulu nak, bukan maksud papa seperti itu" Gilson menjawab dengan lemah.

"Lalu? apa papa baru akan memberitahuku kalau Varo sudah tiada?" kata Kyano sinis.

"Jaga ucapanmu Kyano, kakak melakukan itu juga bukan tanpa alasan" Gerry, paman Kyano menyela.

"Pamam juga, bukankah kalian sama-sama pembohong?" Kyano masih berkata dingin.

Zeline hanya menangis melihat pertengkaran putranya, ia memahami sakit hati Kyano, tapi Kyano juga tidak boleh menyalahkan ayahnya.

Sherli menepuk-nepuk bahunya pelan, menenangkan kakak iparnya agar tak ikut terbawa emosi oleh keduanya.

"Cukup Ky, biarkan mama bicara sebentar" akhirnya Zeline mengeluarkan suaranya.

"Ma, apa yang akan mama katakan? mama tahu tentang keadaan Varo, tapi kenapa mama juga menyembunyikan ini dariku ma? mama tahu kan seperti apa hubunganku dengan Varo? kenapa mama juga jahat padaku?" Kyano menitikkan air matanya, ia tak kuasa menahan sakit hatinya, terlebih ketika melihat betapa tak berdayanya sang ibu. Itu lebih mengiris hatinya.

"Sayang, sini duduklah di samping mama" kata Zeline lembut.

Varo menghampiri ibunya yang tengah duduk di kursi ruang keluarga, di peluknya Kyano dengan lembut, di belainya punggung gagah itu.

"Menangislah sepuasmu, tenangkan dirimu, mama akan selalu di sini bersamamu" kata Zeline penuh dengan kasih sayang.

Kyano menangis dengan kencang di pelukan ibunya, di tumpahkannya rasa sakit yang begitu menyayat, ia benar-benar takut dan tak ingin kehilangan saudara satu-satunya.

Semua orang tahu tentang hubungan Varo dan Kyano. Mereka tak pernah terpisahkan, mereka bak satu tubuh dengan dua jiwa.

Varo sangat menyayangi adiknya, begitu juga dengan Kyano. Mereka akan saling melindugi ketika bahaya menantang, dan mereka akan selalu bergandengan tangan meskipun dengan keinginan mereka yang berbeda.

"Ma, kenapa bukan aku saja yang mengalami kecelakaan itu? dan kenapa saat itu aku tak bersamanya?" Kyano masih menangis sesenggukan di bahu ibunya. Semua orang yang menyaksikan itu juga ikut terbawa suasana luka dan duka yang di rasakan Kyano.

"Bisakah aku menggantikannya ma" Kata Kyano melepas pelukannya. Di hapusnya air mata yang sejak tadi telah membanjiri kedua pipinya.

"Kamu ini ngomong apa, tenangkan dirimu, pasrahkan semua ini pada Yang Kuasa, semuanya pasti akan baik-baik saja" Zeline berkata dengan senyum yang menenangkan.

Hati Kyano sedikit meluluh mendengar perkataan ibunya.

"Tuan, nyonya, tuan Varo sudah bangun dan dia ingin bertemu dengan tuan Kyano" kata suster keluar dari kamar Varo.

Kyano segera bergegas masuk ke dalam kamar, ia ingin sekali bertemu dengan Varo.

"Ky, kapan kamu tiba? maaf tak bisa menyambutmu" Varo berkata dengan senyum setelah melihat Kyano berdiri di samping ranjangnya dengan mata merah.

"Kenapa jahat sekali kamu?" Tanya Kyano, air matanya sudah menggenang di pelupuk matanya.

"Maaf…." kata Varo meringis.

"Oke, nanti aku temani main golf, sebagai permintaan maafku" lanjut Varo dengan tersenyum lemah.

Kyano yang mendengar kata itu tak lagi kuasa menahan sakit di hatinya, ia segera menghambur ke pelukan Varo, menangis dengan kencang, hatinya sungguh belum bisa menerima jika waktu yang mereka jalani hanya tinggal sedikit.

Varo akan mengajak Kyano bermain golf jika dia melakukan kesalahan pada Kyano, sebagai permintaan maaf, karena tentu saja Kyano yang akan selalu menjadi pemenangnya karena Varo tak mahir dalam olahraga itu, dan secara otomatis hati Kyano akan membaik karena bisa melampiaskan kekecewaan yang ada di hatinya.

Kini kenangan itu tak akan lagi ia lakukan dengan Varo, Mereka tak lagi punya kesempatan. Varo terkulai lemah di ranjangnya, hanya tinggal menunggu waktu kapan Tuhan akan mengambilnya.

Kyano tak henti-hentinya menangis melihat Varo yang tak berdaya.

"Ky, jangan menangis karena aku, aku akan membencimu jika kamu meneteskan air mata itu lagi"

"Benci saja aku, itu lebih baik dari pada harus kehilanganmu"

Varo tersenyum, ia menggenggam tangan Kyano, memberinya kekuatan dan ketenangan.

"Ky, bolehkah aku meminta bantuanmu untuk yang terakhir kalinya?" Varo menatap dalam ke arah Kyano.

"Aku tak mau, lakukan saja sendiri"

Kyano melengos, ia mencoba menyembunyikan rasa sakit saat melihat sorot matanya yang begitu menyayat.

"Tolonglah Ky, setelah ini aku tak akan meminta bantuanmu lagi" tangan Varo menggoyang-goyangkan lengannya, persis seperti anak kecil yang sedang merengek.

Kyano masih diam, tak ingin mendengarkan Varo yang masih merajuk.

"Ky, pliisss... ku mohon ya, bantu aku sekali lagi, anggap saja ini pesan terakhirku padamu"

"Varo, jika kamu berkata seperti itu lagi, aku lebih tak mau membantumu"

"Lalu bagaimana baiknya aku katakan agar kamu mau membantuku?"

"Katakan aku harus sembuh, aku akan selalu menjaga orang-orang yang aku sayangi, aku pasti bisa, coba katakan lebih positif Ro, jangan membuat dirimu sendiri semakin tersiksa"

Kata Kyano tegas.

Ia memang benci Varo mengatakan kata terakhir kali, jauh di dalam hatinya ia masih berharap keajaiban berpihak padanya. Ia tak ingin kehilangan Varo begitu cepat.

Varo mendesah pelan.

"Ky, jangan membohongi diri sendiri dengan perkataan itu, untuk apa aku harus berkata seperti itu? seoptimis apapun aku, itu tak bisa mengubah keadaan, kenyataan bahwa aku memang tak bisa lagi berumur panjang. Waktuku tak banyak yang tersisa, jadi ku mohon, tolong bantu aku untuk yang terakhir kalinya" Varo berkata dengan sisa sedikit tenaga.

"Kenapa harus aku?"

"Karena hanya kamu yang bisa membantuku" kata Varo pelan.

"Oke, anggap saja aku berbaik hati padamu, katakan" kata Kyano menatap Varo.

"Tolong gantikan posisiku untuk Ellaine, jadilah diriku untuknya"

Next chapter