15 Masih Saja Cemburu

"Rega?! Kamu sedang apa di sini?" tanya Grey, heran dengan kehadiran Rega dan memanggil Rea, menghampiri mereka.

"Aku … datang untuk Rea," jawab Rega tersenyum, kini ia sedang berdiri tepat di belakang Rea, sembari memegangi kedua bahu Rea dan memberikan pijatan lembut di sana.

"Hah?! J—jadi … kalian …."

"Iya … Dia, pacarku."

***

"Jangan pernah lelah dan merasa bosan padaku," pinta Rea dengan tatapan penuh harap.

"Pasti!" balas Rega tegas.

Rega memajukan tubuhnya, sedikit membungkuk, dengan tangan yang menarik lembut dagu Rea, agar ia bisa mencapai bibir sang kekasih.

Drrrrt drrrrt drrrt!!!

Rea menunduk, ia berpaling karena mendengar dan merasakan getar pada ponselnya.

"Maaf," ucap Rea menyeringai dan membuka tas, melihat ponselnya.

Itu adalah panggilan dari seseorang, yang saat ini sedang tidak ingin ia tahu kabar dan keadaannya.

Rea hanya diam menatap layar ponselnya, tidak segera menerima panggilan tersebut.

"Siapa yang menelpon, Re?" tanya Rega.

"A—aldy …," jawab Rea ragu.

"Terima saja."

Rea menggigit bibir bagian bawahnya, ia mengangguk.

Rea menerima panggilan dari Aldy.

"H—halo?" sapa Rea, menyeringai, ia merasa tidak enak dengan Rega.

"Re, sudah di rumah?" tanya Aldy dalam telponnya.

"S—sudah," Rea menjawabnya masih dengan keraguan, canggung dengan Rega yang kini adalah kekasihnya.

"Sedang apa?"

"Eu …."

Rea bingung menjawabnya, ia masih saja melirik pada Rega.

Rega tersenyum dan memberikan kecupan dikening Rea.

"Keluar dan masuklah ke rumah," tutur Rega, mengerti rasa canggung yang dirasa oleh Rea.

Rea lagi-lagi menggigit bibir bagian bawahnya dan mengiyakan permintaan Rega.

Rega membantu Rea melepas seat belt, masih mengumbar senyum kepada kekasihnya. Rea segera keluar dari mobil Rega, sembari memberikan lambaian tangan kepada kekasihnya itu.

Rea menutup pintu mobil dan segera berlalu, tanpa menunggu mobil Rega berlalu dari rumahnya. Rea tidak segera masuk ke dalam rumahnya dan memilih untuk duduk di kursi yang tersedia di teras rumahnya.

"Halo, Rea?"

"I—iya Al, maaf … a—aku habis dari depan," jawab Rea memberikan alasan atas diamnya.

"Kamu tidak menjawab pertanyaanku."

"A—aku sedang duduk," jawab Rea kemudian.

"Ou … kamu, kenapa tidak cerita mengenai Rega?"

"K—kenapa?"

"Kenapa?" tanya Aldy dengan pertanyaan yang sama.

"Untuk apa?" tanya Rea lagi.

"Untuk apa?" Lagi-lagi Aldy menanyakan pertanyaan yang sama.

"Aldy … berhenti bermain-main," pinta Rea, sudah kesal dengan pengulangan pertanyaan dari Aldy.

"Kita sahabat, bukan? Kenapa kamu tidak cerita padaku?"

"Al, bukan aku tidak ingin menceritakannya, tetapi—"

"Kamu menyembunyikannya dariku, Rea," timpal Aldy.

"Kamu juga menyembunyikan Soraya."

"Aku ditolak oleh Soraya, Rea … dia menyukai pria lain," tutur Aldy.

Rea diam, ia terkejut mendengarnya.

Rea merasa keputusannya salah, telah menerima Rega menjadi kekasih.

"Re?" panggil Aldy, karena Rea hanya diam, tidak merespon apapun.

"…."

"Rea?"

"Hm? M—ma—af … lalu … kamu kecewa karena itu?"

"Ya jelas. Aku sangat menyukainya. Hmmm, kapan kita bisa bertemu, Re? Di luar kampus, hmm … maksudku, bukan di kampus. Di rumahmu atau di—"

"Al, mama memintaku untuk tidur," ucap Rea memotong omongan Aldy.

"Ouh … begitu."

Nada bicara Aldy terdengar kecewa.

"Sampai jumpa nanti di kampus."

Rea tidak membalas dan segera mengakhiri panggilannya dengan Aldy.

Huft …

Rea menghelas napas, matanya masih menunjukkan pandangannya penuh dengan pikiran yang sangat runyam.

'Untuk apa aku menerima cinta Rega, kalau pada akhirnya Aldy tidak jadi dengan Soraya? Apa aku harus belajar mencintai Rega? Atau harus menghakhirinya saja dan kembali mendekati Aldy?' batinnya terus bertanya-tanya mengenai kebimbangannya itu.

Tidak menemukan jawaban, Rea menyerah dan memilih untuk masuk ke dalam rumahnya, menuju ke kamar segera beristirahat.

***

Gelak tawa Ferdinan memancing Rea untuk berhenti mengerjakan tugasnya. Lelucon yang dilontarkan oleh Ferdinan benar-benar membuatnya lebih tertarik untuk ikut berceloteh dengan Ferdinan dan Aldy.

"Kamu paham, apa yang kami bicarakan sejak tadi?" tanya Ferdinan, melihat raut Rea yang terlihat bodoh dan tidak tahu apa-apa.

Rea menggelengkan kepalanya, begitu polos.

"Aldy bilang, bagaimana kalau dia mendekati Tika?"

"Tika?!" tanya Rea, matanya membelalak.

"Iya, sepertinya aku akan mendekatinya, Re. Bagaimana?" tanya Aldy.

Rea diam, menatap Aldy dengan raut kecewa. Rea benar-benar diam, tidak menjawab apapun.

"Re?"

"Aku harus pergi. A—aku sudah janji untuk menemui Rega di taman saat jam istirahat," ujar Rea, memilih untuk mengalihkan pembicaraannya dan memilih untuk mencari aman.

Rea menutup laptop dan segera merapikan buku-bukunya. Ia beranjak dan pergi meninggalkan Ferdinan dan juga Aldy tanpa berkata apapun lagi.

"Rea kenapa?" tanya Ferdinan, heran.

Aldy tidak menjawab, ia melihat punggung Rea yang terus berlalu tanpa lagi menoleh.

'Masih saja cemburu,' batin Aldy menebak kalau Rea tidak suka karena Aldy memiliki kekasih.

Sementara itu, Rea terus melangkahkan kakinya menuju kemana saja, ia tidak memiliki tujuan. Tangannya masih pada posisi memeluk laptop yang tidak ia masukkan ke dalam tas. Pandangannya menunduk, ada sesuatu yang ditahan olehnya.

Brugh!!!

Tanpa sengaja, Rea menabrak seseorang. Untung saja apa yang dipegang olehnya tidak terjatuh. Ia hanya mengatur pernapasannya agar tidak tersengal, karena ia tidak mengatur langkah dan emosinya.

"Rea?"

Rea menengadah, melihat seseorang yang baru saja ia tabrak secara tidak sengaja. Tidak ada permintaan maaf darinya, ia hanya diam menatap pria yang kini terlihat cemas padanya.

"Re?"

"M—maaf ...," ucap Rea, kemudian melangkah untuk pergi.

"Re!" Hans menahan Rea dengan menarik lengan tangan Rea. "Kita perlu bicara," ucapnya kemudian.

Rea diam, tetapi ia memberikan isyarat kalau dirinya bisa bicara dengan mantan kekasihnya itu.

Hans melepaskan tangan Rea dan mengajaknya untuk bicara di taman. Keduanya berjalan bersama, meski bibir mereka saling mengunci, diam tak bicara.

Hans dan Rea duduk bersama di tepi kolam yang sudah biasa dikunjungi oleh banyak mahasiswa, mereka duduk bersebelahan, masih dengan hal yang sama, saling diam.

Rea hanya menunduk dan memeluk laptop yang masih berada di genggaman dan Hans yang menoleh ke sekeliling taman, seolah melihat situasi, aman atau tidak.

"Hmmm, Rea?" panggil Hans, membuka pembicaraan.

"Iya?" balasnya, tanpa menoleh pada Hans.

"Apa tidak masalah, kita bicara berdua seperti ini?"

Rea menoleh dengan tatapan kesal pada Hans.

"Kamu yang mengajakku datang ke taman ini untuk bicara, Hans. Kenapa kamu yang bertanya seperti itu?" tanya Rea, nadanya sedikit ia tinggikan.

"Rea … kamu kini sudah menjadi kekasih Rega, sahabatku," jawab Hans.

"Lalu, apa yang ingin kamu bicarakan padaku sehingga membawaku ke taman ini?"

"Aku tidak tahu," jawabnya.

"Tidak tahu?!"

"A—aku ingin memberikan ucapan selamat padamu, Rea …."

"Oh, ya? Yakin, hanya hal itu saja?"

"Re—"

"Katakan jika kamu masih saja cemburu, Hans."

avataravatar
Next chapter