14 Time To Let Go

Kelimanya kembali ke markas di Kalibata. Masing-masing mendapat perawatan sebaik-baiknya. Jazz pulih paling pertama. Pemuda yang tidak lagi remaja tersebut berdiri di depan dinding kaca pembatas ruangan tempat Zee dirawat. Sudah sedari malam ia tidak beranjak sedikit pun dari mengawasi Zee.

Eve mendekati Jazz.

"Dia akan membaik dalam beberapa hari mendatang," ucap Eve pelan. Jazz terdiam tidak menjawab. Dengan lesu, pria itu duduk di bangku dan masih menatap Zee yang terbaring di tempat tidur boks.

"Tidak seharusnya aku membahayakan nyawanya dengan membawa dalam perjalanan kami," sesal Jazz.

"Kau sangat menyayangi dia …," kata Eve dengan pengertian.

Suasana kemudian hening. Hanya bunyi mesin pendeteksi jantung yang terdengar sayup-sayup.

"Milen dan Kalen sudah pulih," ujar Eve memecahkan keheningan. Jazz memang belum menyempatkan diri menengok semua sahabatnya.

"Wisnu?" tanya Jazz. Eve menelan ludah dengan cemas.

"Masih dalam pemeriksaan," sahut Eve tanpa memalingkan muka. Jazz menoleh pada Eve dan memandang dengan tajam.

"Eve, ada apa dengan Wisnu?" tanya Jazz kembali kali ini terdengar bergetar. Mendadak perasaannya gelisah.

"Lututnya yang cidera, ternyata sangat parah," ucap Eve pelan. Jazz limbung dan memegang kursi kuat-kuat.

"Antar aku!" pinta Jazz tegas. Eve mengangguk dan keduanya menuju ruang perawatan di lantai tiga.

Wisnu tampak berbaring dengan mata terpejam dan wajah pucat. Jazz mendekat ke Wisnu, langkahnya tampak tertatih.

"Nu," panggil Jazz. Suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca. Tidak ada jawaban dari sahabatnya. Jazz meraih papan kecil yang berisi catatan kesehatan Wisnu. Hati Jazz mencelos. Wisnu didiagnosa menderita kanker di lututnya dan kini telah menyebar.

Kenapa ia tidak pernah menyadari selama ini? Setelah sekian lama mereka berjuang, Wisnu tidak pernah mengeluh tentang lututnya. Terus berusaha yang terbaik selama mereka menghadapi tiap pertempuran. Ini tidak adil!

"Jazz …," panggil Wisnu. Jazz buru-buru meletakkan papan tersebut dan mengalihkan pandangannya.

"Nu. Kenapa nggak bilang?" tanya Jazz. Suaranya sengau dan perasaannya tidak bisa ia sembunyikan. Wisnu tersenyum samar.

"Yang penting kita semua sudah selamat," jawab Wisnu. Jazz terdiam dan membeku. Ia membiarkan dirinya cengeng dan menumpahkan semua kecewa. Pemuda ini merasa tidak adil.

"Berjuang sekali ini lagi, Nu. Demi kita," pinta Jazz.

"Sudah selesai buatku. Lanjutkan perjuangan kalian …," ucap Wisnu lirih. Jazz tergugu dan akhirnya terisak. Sahabatnya mulai tersengal. Milen dan Kalen masuk ruangan dan melihat Jazz bersimpuh dan memeluk tangan Wisnu dengan isak tangis. Eve mengusap air matanya saat menyaksikan sebuah perpisahan mereka.

Milen menangis histeris begitu grafik deteksi jantung sahabatnya menjadi datar. Duka meliputi ruang perawatan tersebut. Entah apakah ini akan menjadi kesedihan yang bisa mereka lupakan seiring waktu. Kebersamaan ketika tertawa dan menangis karena mengenang keluarga yang telah hilang, seakan tidak sebanding dengan kehilangan sahabat yang selalu menjadi andalan.

***

Dunia makin memperbaiki diri. Raka telah menemukan vaksin dan orang tua Milen berhasil disembuhkan. Namun Rani Sumantri tetap hilang dari jejak. Entah apa yang direncanakan wanita tersebut, tapi Jazz kini telah membulatkan tekad untuk bersatu dengan mereka yang tersisa untuk berjuang mengakhiri terror zombie ini.

Dua tahun kemudian mereka masih berjuang dan ternyata dunia tidak lagi menjadi sama. Zombie telah berevolusi menjadi semakin cerdas dan bersembunyi dari kejaran para tentara. Zee tumbuh menjadi gadis yang luar biasa ajaib. Dalam usia empat tahun sudah mampu melakukan parkour mengikuti Kalen dan juga paham bagaimana jenis senjata yang mereka miliki.

"Jazz, aku mau belajar menembak," rengek Zee dengan raut kesal.

"Tenaga kamu belum cukup!" tegas Jazz mulai jengkel.

"Bikinin aku senjata yang untuk anak kecil!!" jerit Zee tidak mau kalah. Jazz menyerah dan akhirnya menciptakan senjata khusus untuk putri angkatnya.

"Papa nggak mengira kalo dia bisa sangat mirip dengan kamu!" decak Raka kagum pada ketangkasan Zee.

"Aku bangga sekali dengannya," timpal Jazz dengan raut penuh cinta. Raka menoleh dengan wajah yang tersenyum haru.

"Papa juga bangga sekali denganmu, Jazz," ucap ayahnya lirih. Jazz terkesiap. Ia berbalik menatap ayahnya dengan mengangguk cepat.

"Makasih, Pa," sahut jazz. Raka merengkuh pundak putranya dengan kuat.

Dari jauh Trian mengaungkan komando untuk semua pasukan bersiap siaga, sarang zombie terbesar ditemukan. Jazz memakai semua peralatannya sementara Milen dan Kalen sudah bergegas terlebih dahulu.

"Its time for Ranger to strike!" pekik Zee memberi semangat. Jazz dan Milen tertawa. Raka menggendong Zee dan melambaikan tangan pada semua pasukan yang bergerak keluar dengan mobil.

"Tunggu Kalen pulang ya, Zee!" seru Kalen pada gadis kecil itu sambil melongokkan kepala dari jendela.

"Ya! Sama Jazz juga!!" balas Zee. Jazz tertawa haru. Dirinya tetap nomor satu untuk putri kesayangannya.

Mobil pengempur keluar beriringan meninggalkan markas di Kalibata. Trian memberikan tab pada Jazz.

"Siapkah kau menggempur yang ini juga?" tanya Trian. Jazz terkesiap. Foto ibunya dalam bentuk mengerikan tertangkap kamera.

"Its time to let her go. Ya saya siap!" sahut Jazz. Trian mengangguk dengan mantap. Milen menepuk bahu Jazz dengan bangga. Pria itu menetapkan hati. Kali ini, ia harus merelakan semuanya, demi kebaikan.

T A M A T

avataravatar