4 Tidy Up The Mess

"Aku tidak bisa berpikir jernih. Ini semua membuatku gila!!" keluh Wisnu. Jazz hanya terdiam dan mencoba berpikir paling lurus. Bayi yang mereka selamatkan terus menangis dan Milen kebingungan harus bagaimana. Jazz memang anti-sosial, namun bukan berarti itu penyakit mental yang dia idap. Anti-sosial adalah pilihan Jazz karena kecewa pernah dibully tentang status kepintaran dan menjadi anak yang kutu buku.

Kejadian itu berbekas di memorinya dan menganggap lebih baik menjauh dan menyendiri.

"Jazz, Zee nggak bisa diam dari tadi, aku mesti gimana dong?" tanya Milen muncul dengan wajah lelah. Jazz melirik ke arah Wisnu.

"Jangan tanya gue dong. Kita kan belum punya pengalaman," tangkis Wisnu gagap.

"Udah minum susu?" tanya Jazz.

"Udah sampe dia muntah lagi. Kamu bisa bantu hibur dia?" pinta Milen sangat berharap. Jazz tidak ada pilihan selain membantu Milen.

Zee menangis hingga wajahnya memerah. Jazz dengan kaku dan, sebisa mungkin, hati-hati mengangkat tubuh mungil bayi perempuan itu.

"Hai Zee, kamu kenapa?" tanya Jazz pelan. Tangis baby Zee mereda dan memandang wajah Jazz dengan mata sipitnya. Bibirnya masih melengkung sedih dan sesekali menangis namun tidak sekeras tadi.

"Kamu pengen denger musik?" tanya Jazz lagi dengan lembut sambil menimang. Zee hanya berkedip dan memandang Jazz. Sementara terus mengajak Zee berbicara, hidungnya membaui sesuatu yang tidak sedap.

"Mil, kayaknya dia buang air besar," ucap Jazz terbata-bata. Milen pucat.

"Terus gimana dong?" tanya Milen tampak mual dan menutup mulutnya.

"Duh, gue lagi," gerutu Jazz yang akhirnya memilih untuk membereskan Zee sendiri.

Entah bagaimana Jazz berjibaku dengan Zee di kamar mandi, namun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk keluar.

Milen dan Wisnu menunggu dengan perasaan tidak enak.

"Bajunya Zee kotor semua, aku bungkus dia pake kaosku," seru Jazz muncul dengan Zee yang sudah tenang dan gembira.

"Maaf ya Jazz," sesal Milen. Jazz tidak punya pilihan dari mengiyakan dan menganggap semua berlalu.

"Kamu mau kemana?" tanya Wisnu pada Jazz begitu Milen mengambil alih Zee.

"Beli pampers dan tisu basah," jawab Jazz.

"Mana ada toko yang buka?" tanya Milen setengah berteriak.

"Ya, berarti gue harus menjarah. Nggak ada pilihan kan," sahut Jazz ringan.

"Gue nggak bisa ikut. Lutut gue kayaknya terbentur waktu nabrak kemarin," cetus Wisnu.

"Loe bisa mulai aktifin drone? Gue balik nggak lama," pinta Jazz sebelum menaiki tangga keluar.

"Bisa!" sahut Wisnu dengan semangat. Jazz mengangguk dan segera bergegas pergi.

***

Jazz melaju dengan kecepatan sedang. Jalanan terlihat sepi. Hanya beberapa makhluk zombie yang berjalan tanpa arah, sesekali terlihat. Jazz masih penasaran akan keberadaan ibunya. Keputusannya untuk mengunjungi rumah sakit cukup riskan sebetulnya. Namun ia tidak ingin menunda lebih lama, mengetahui di mana ibunya saat ini. Berhasil selamatkah atau sudah menjadi korban. Jazz merasakan pelupuk matanya mengambang oleh air mata. Ia membayangkan jika ibunya tidak selamat maka hidupnya akan hancur.

Mobil SUV Jazz masuk halaman rumah sakit. Makhluk yang terperangkap masih menempel di kaca pintu masuk utama. Mereka bukan lagi manusia yang bisa berpikir. Hanya kebuasan dan haus akan daging yang menguasai mereka ketika berubah sepenuhnya. Jazz membawa pistol dan pisau serba guna yang ia sisipkan di pinggang. Dengan membawa ransel berisi peluru, Jazz memasuki wilayah rumah sakit.

Langkahnya sangat pelan dan penuh siaga. Jazz memegang pistol dengan hati berdebar dan tangan sedikit gemetar. Ruang samping rumah sakit sepi dan tidak ada zombie sedikit pun. Jazz berhasil memasuki ruangan tengah. Sialnya, di lorong tersebut dipenuhi pasien yang sudah berubah menjadi zombie. Jazz bersembunyi kembali di balik tembok dan teringat ruangan ibunya berada di lantai dua, bagian lab. Tidak ada pilihan selain menerobos lorong tersebut untuk mencapai lift. Listrik masih menyala, itu berarti semua masih beroperasi seperti biasa. Jazz menarik napas sembari berdoa. Ia melangkah keluar dan mulai menembak ke arah zombie satu persatu.

Tangan Jazz awalnya gemetar dan dirinya dipenuhi rasa gugup. Tapi begitu dia berhasil menumbangkan zombie di lorong dengan tembakan di kepala, kepercayaan dirinya mulai tumbuh. Begitu mencapai lift, Jazz masuk dan menuju lantai dua. Tangannya teracung ke depan untuk menjaga jika ada zombie yang menyerang mendadak nanti. Pintu lift terbuka dan lorong lab kosong. Jazz menarik napas lega. Setengah terburu-buru, ia masuk ke ruang lab dan saat pintu terkuak, empat zombie mendesis ke arahnya. Sontak Jazz menutup pintu kembali dengan pucat.

'Aku harus berani' batin Jazz. Tangannya makin kokoh memegang pistol dengan peredam suara tersebut. Kakinya menendang dan masuk serta menembak keempat zombie yang langsung roboh dengan otak bertaburan. Langkahnya terus menuju kantor yang bertuliskan: Dr. Rina Sumantri.

Hatinya berdebar saat membuka pintu. Bibirnya gemetar. Ada doa yang tidak terputus teruntai dalam hatinya. Semoga bukan ibunya yang akan ia temui. Begitu pintu terbuka, kosong! Jazz masuk dan memeriksa kondisi kantor yang masih rapi. Tidak ada tas kerja atau laptop ibunya. Secercah harapan muncul. Ibunya mungkin selamat!

Ketika Jazz hendak keluar, matanya menangkap selembar kertas yang tertempel di balik pintu.

'Jazz, jaga diri kamu, Mama dan Papa akan kembali secepatnya ke rumah!'

Jazz memegang kertas di tangan dengan mata merebak. Pesan itu sangat singkat dan tidak menjelaskan apapun kecuali ibunya selamat dan sedang bersama ayahnya. Tapi kenapa mereka tidak menjemputnya ke rumah? Apakah pekerjaan lebih penting saat ini? Jazz merasakan kecewa dan hancur secara bersamaan. Ketika ia menempuh resiko besar demi mencari ibunya, dengan kemampuan yang rendah dan modal nekat, ibunya justru memutuskan pergi tanpa mencarinya lebih dulu. Jazz meremas kertas itu dan melesakkan ke saku celana.

Pikirannya sangat kacau dan kecewa mendominasi benak Jazz. Tanpa membuang waktu lagi, ia bergegas keluar dan membantai para zombie dengan amarah yang meledak. Orang tua yang ia miliki tidak pernah menganggap Jazz ada! Dirinya lahir hanya sebagai pelengkap yang tidak penting!

Begitu kembali ke mobil, Jazz meluncur untuk mencari mini market terdekat. Begitu melihat ada satu supermarket yang cukup besar dan lengkap, ia masuk dan parkir tepat di depan pintu. Setelah memastikan semua aman, ia mengambil troli. Jazz memborong semua keperluan dan barang yang mereka butuhkan nanti. Troli itu penuh dengan makanan instan dan pampers juga beberapa susu formula.

"Siapa kau!" teriak suara pria dari balik rak display. Jazz menarik pistolnya secara refleks.

"Jazz!" jawabnya dengan cepat. "Aku membutuhkan supplai makanan dan kebutuhan bayi!" seru Jazz kembali. Pria itu muncul dan menghela napas lega. Hanya seorang remaja yang terlihat gugup dan memegang senjata.

"Hati-hati menggunakan senjatamu," ucap pria itu dengan sungguh-sungguh.

"Iya Pak!" jawab Jazz dengan kaku. Tangannya turun dan menyimpan pistol kembali.

"Aku tidak memiliki senjata api, tapi palu besar ini cukup menghancurkan kepala mereka," ucap pria itu menunjukkan palunya yang panjang dan lumayan besar.

"Saya ada senapan, Bapak bisa memiliki pistol ini begitu saya selesai," ucap Jazz penuh simpati.

"Be-benar nih? Ya, aku mau!" serunya dengan semangat. "Aku ingin menjemput anakku yang masih terjebak di rumah temannya," lanjut pria setengah baya itu dengan gembira.

"Apakah mereka aman?" tanya Jazz. Pria itu mengangguk.

"Ayah temannya adalah polisi. Mereka dalam penjagaan yang baik. Hanya aku ingin bersamanya setelah istri dan putri sulungku tidak selamat," ucapnya sambil menyeka air mata yang bergulir. Jazz terharu. Seandainya ia memiliki ayah seperti pria ini pasti semua berbeda.

Setelah Jazz selesai mendapatkan semuanya, pria itu mengantar dan mendapatkan pistol beserta peluru darinya. Jazz memasukkan barang ke mobil dan kembali ke rumah dengan kemarahan mulai mereda. Dirinya tidak lagi memikirkan kekecewaan. Semangatnya bangkit ketika mengingat Zee, Milen dan Wisnu. Dunia memang kacau, semua tidak lagi terkendali, namun satu hal sudah ia bereskan. Tidak ada lagi penasaran akan keberadaan orang tuanya. Jika hanya ada tiga manusia yang bersamanya saat ini, maka ia akan bertahan dengan mereka!

avataravatar
Next chapter