3 ES 3

Senja mulai meyelimuti awan, hingga langit sudah berwarna jingga. Udara yang semakin dingin mampu menusuk setiap sel kulit manusia. Pria bertudung hitam itu terlihat tenang memacu kuda yang ia ambil dari Tuan Putri Varka tadi, ada rasa bangga karena puas bermain sedikit dengan Putri Kecil.

"As sebenarnya apa yang kau lakukan dengan Putri Indira?" tanya Pemuda rambut coklat yang sedang menunggang kuda persis di sebelah pria itu.

"Aku hanya sedikit bermain- main dengan putri kecil," ujarnya tenang, masih menatap lurus ke depan. Tak terasa mereka berdua berhasil keluar dari wilayah Varka, setelah melewati desa Astor tanpa tertangkap.

"Bermain? Apa kau ingin membunuhnya?" tanya pria itu menyelidik.

"Tidak Rafe, terlalu mudah jika hanya membunuh. Mereka harus membayar untuk masa lalu Castaro," sahut Asta dengan nada setenang air danau namun sedingin angin.

Rafe mengerutkan keningnya, heran dengan jawaban yang gamblang itu

"Asta, apa kau-" Rafe menelan ludahnya sebelum melanjutkan kalimat, karena hal ini begitu sensitif bagi Asta. "Yakin bahwa Varka dalang dari semua ini? Raja Varka selalu mengirim surat, dan disurat itu Raja Lorcan sudah menjelaskan jika mereka tidak mencuri batu itu," sambung Rafe dengan kelewat hati-hati.

Asta menatap tajam Rafe, walaupun wajahnya masih tertutup cadar, namun aura intimidasinya begitu tampak jelas dikedua manik hijaunya. "Apa kau meragukanku?lagi pula tidak ada pencuri yang mau mengaku!" balasnya dengan nada tidak mau dibantah.

Rafe mengangkat bahu. "Bukan begitu, tapi ini terasa ganjil."

"Ganjil atau tidak, aku tidak peduli Rafe," tukas Asta cepat, setelah itu ia berpacu sedikit lebih cepat meninggalkan Rafe di belakang. Mereka akhirnya sampai di gerbang Castaro, Asta menoleh ke belakang."Rafe, kau pergilah dulu ke istana. Aku harus ke suatu tempat."

"Kau mau ke mana lagi? Ayah dan kakakmu akan mengintrogasiku jika aku datang sendirian," tanya Rafe penasaran dan ia paling malas jika diintrogasi oleh kakak Asta.

"Aku akan kembali ke istana sebelum makan malam tiba," jawab Asta cepat, setelah itu ia pergi dengan mengabaikan Rafe.

"Terserah kau saja." Akhrinya Rafe menyerah dengan jawaban Asta, kemudian ia memacu kudanya untuk masuk ke Istana.

---

Asta memacu kudanya melewati desa Suri, untuk mencapai belakang Istana. Desa suri merupakan bagian dari kerajaan Castaro, desa itu adalah jalan alternatif untuk Asta ketika ia akan pergi ke hutan Endora. Hutan kecil yang letaknya di belakang Istana Castaro, namun hutan itu tertutup dinding besar Istana Castaro. Satu satunya jalan menuju hutan Endora adalah melewati desa Suri.

Di hutan itu, Asta memiliki tempat persembunyian khusus untuk dirinya, yaitu sebuah rumah kayu berbentuk segitiga yang memiliki tingkat satu di dalamnya, terdapat pula tangga kecil tepat di depan pintu masuk. Rumah kayu tersebut di kelilingi banyak pohon sehingga membuat rumah itu terlihat sejuk.

Di depan halaman rumah kayu ada tumpukan kayu bakar yang digunakan Asta ketika cuaca cukup dingin. Rumah kayu ini begitu sederhana walaupun kecil, namun Asta sangat menyukainya karena Asta merasa nyaman dan hangat ketika berada di rumah kayu tersebut. Rumah kayu ini adalah hadiah diam-diam dari Kakeknya ketika Asta berulang tahun yang ke 15 tahun, tak lama setelah memberikan rumah kayu ini Kakek Asta meninggal karena serangan jantung. Rumah kayu ini merupakan kenangan yang akan selalu Asta jaga, di rumah inilah Asta bersembunyi entah untuk menenangkan pikiran, mengatur rencana dan berlatih dengan kekuatan yang ia miliki.

Setelah sampai di rumah kayu, Asta mengikat kuda itu di pohon. Asta masuk ke dalam rumah kayu, di dalamnya hanya ada satu dapur, kamar mandi dan kursi panjang yang menghadap ruangan pemanas yang diisi kayu. Setelah itu Asta naik ke ruangan atas, melewati tangga kecil di samping dapur. Di ruangan atas hanya ada tempat tidur, dan barang- barang Asta lainya.

Asta membuka jubah dan artribut lainya. Hingga sekarang ia hanya bertelanjang dada, menampakan otot-otot kekarnya dan kulit tembaga yang bersinar dibawah penerangan temaram bagai pahatan karya seni yang tidak boleh dilewatkan, selain itu ada ukiran tato bintang dan bulan di punggung kananya. Rambut coklat tua yang selegam arang sengaja ia acak-acak setelah melepas tudungnya. Asta memiliki wajah yang tampan dan dingin, dengan jambang tipis dan mata hijau yang gelap mampu mendominasi lawan bicaranya, alis tebal menambah ketajaman wajahnya.

Pangeran Asta adalah putra Mahkota ke- dua dari Castaro, sangat berbeda dengan pangeran lainya. Tidak banyak orang mengetahui tentangnya, karena Asta jarang menampakan dirinya ke publik sejak menginjak masa remaja, dan tidak pernah mengikuti kegiatan Istana seperti kakaknya. Asta lebih suka kebebasan, menjelajah hal yang menarik, sampai mejadi petarung. Kegiatan yang Asta sering lakukan adalah,menyusup di antara banyak rakyat baik di Castaro maupun di luar kerajaan. Hal tersebut yang sering memicu pertengkaran antara dirinya dengan Ayahnya. Karena pada dasarnya Asta adalah pangeran yang semaunya sendiri dan keras kepala.

Asta duduk di kasur kecilnya, kemudian merogoh sesuatu dari kantong celananya, seutas rambut merah tembaga bersinar di lampu yang temaram. Asta mengendus rambut itu sambil memejamkan mata, "Lavender, wangimu sungguh menarik perhatianku,"seringai muncul di sudut bibirnya. Pertama kalinya ia memiliki suatu hasrat kepada seorang wanita selama 22 tahun ini.

Asta masih memandang tajam rambut merah tembaga yang ia genggam,Ada geleyar aneh ketika tubuhnya bersentuhan dengan pemilik rambut merah ini. Setelah sadar dari lamunanya, Asta meletakan rambut itu di sebuah kotak persegi dan menyimpan kotak itu di lemari. Setelah itu ia bersiap untuk mengganti bajunya dan menuju istana, karena hari sudah menjelang malam.

----

Bulan sudah menerangi gelapnya malam, tampak Indira masih berbaring lemah di ranjang. Liara masih setia menemani Putri dengan duduk di meja kerja Putri, namun sesekali ia pergi keluar kamar untuk mengambil makan malam.

"Emmmgh" Indira menggeliat, kemudian membuka matanya perlahan. Sudah berapa lama ia tertidur atau mungkin tidak sadar?. Suara decitan pintu yang ternyata Liara yang membawakan makan malam Indira. "Putri, anda sudah bangun?" tanya Liara dengan wajah lega, setelah itu menaruh nampan di meja. "Hmm, aku ingin mandi." Hanya itu tanggapan Indira. Ia masih merasakan aroma cengkeh bercampur hutan, aroma milik pria tadi yang masih meliputi di pikiranya.

"Sudah kusiapkan air hangat Putri," sambung Liara mempersilahkan Indira masuk ke kamar mandi. Indira mengangguk kemudian segera ia membersihkan diri.

Setelah merasa segar Indira langsung menyesap coklat panas yang Liara sajikan tadi, sejenak ia merasa lumayan tenang. Indira masih penasaran dengan pria yang bertarung denganya tadi, siapakah pria itu? Apakah salah satu anggota kerajaan Castaro? Ataukah penyusup? Berbagai spekulasi berkecambuk di otaknya.

"Oh, sayang. Bagaimana keadaanmu?" suara panik sang Ratu membuyarkan lamunanya.

"Ibu. Apa ibu baik-baik saja?"tanya Indira kemudian memeluk sang Ratu.

"Aku baik-baik saja nak. Bagaimana keadanmu? Liara mengatakan padaku bahwa kau pingsan," ujar Ratu dengan nada tidak sabar.

Indira hanya tersenyum melihat wajah sang Ratu. "Seperti yang ibu lihat kan. Aku sangat baik dan merasa segar sekarang."

Ratu terlihat menghela napas lega. "Kau tadi kemana, tiba-tiba menghilang? Kami semua panik." Sang Ratu bertanya dengan nada cemas raut wajah cantiknya berubah menjadi sepucat bulan purnama.

"Aku hanya pergi untuk memastikan sesuatu saja Ibu, jadi tidak perlu cemas," jawab Indira berusaha menenangkan sambil mengusap tangan Ratu.

"Baiklah sebaiknya kau istirahat lagi ya," tukas Ratu lalu mengecup kening Indira.

"Selamat malam bu. Mimpi indah." Indira mengantar sang Ratu keluar kamar.

Indira tak langsung tidur, namun ia membuka jendela kamarnya. Memandang luar yang disuguhi taman dan air mancur dengan patung burung Elang ditengahnya.

Tak lama suara ketukan terdengar.

"Masuk Liara," ujar Indira, namun ia masih berdiri di tempat itu menikmati angin malam.

"Putri, anda butuh sesuatu?" tanya Liara yang sudah berdiri, di belakang Indira.

"Liara, apa kau tahu tentang anggota kerajaan Castaro?" Indira mengabaikan pertanyaan Liara, dengan bertanya topik lain.

Liara berdeham. "Setau saya, Raja Gennady memiliki dua putra Mahkota. Namun berdasarkan informasi hanya Pangeran Nash yang sering muncul di publik. Namun untuk pangeran ke dua yang saya tidak tahu namanya, sepertinya ia pria yang cukup misterius."

"Saya juga mendengar rumor, jika pangeran ke dua adalah petarung. Dia adalah pria yang tangguh, dingin dan bahaya. Namun rumor itu sepertinya kabar burung saja," sambung Liara.

Indira hanya diam, masih sibuk dengan pemikiranya tentang pria tadi siang yang menyerangnya. Apakah ia pangeran ke dua Castaro? Namun apakah mungkin ? Indira tidak tahu jawabanya, dan ia akan mencari tahu siapa pria itu.

"Hmm, begitu ya. Baiklah terima kasih Liara. Kau boleh istirahat," balasnya dengan menatap Liara.

Liara mengganguk kemudian meninggalkan kamar Indira. Setelah Liara keluar, Indira menutup jendela kemudian, naik ke atas tempat tidur. Sejenak Indira menatap langit-langit kamarnya "sepertinya ini akan sulit, dan merepotkan," monolognya.

---

Cerita ini murni imajinasi penulis.

Visual- instagram- penikmatkopi_fiksi

avataravatar
Next chapter