2 Escape - 2

Dunia benar-benar berputar cepat. Hari telah berganti, Emily merasa hari demi hari berlalu tanpa ia sadari. Semua seakan berlari dengan cepatnya. Emily dengan kesibukan di setiap harinya. Beberapa hari telah berlalu tanpa terasa. Bumi masih berputar di porosnya hingga musim telah berganti. Terasa hangat sehangat hatinya pagi ini.

Emily beranjak dari apartemennya dengan jadwal hari ini padat, rasanya sudah tak terbayangkan lagi baginya bagaimana ia akan melalui harinya. Hanya sepotong sandwich yang dapat ia temukan di lemari es untuk dipanaskan ulang.

"Hi," sapa seorang anak kecil yang cantik dengan mata bulat menatap Emily, membuatnya lepas dari lamunan. Emily terkejut dan berusaha untuk tersenyum, membalas senyuman tulus gadis kecil itu. Mereka berpapasan di anak tangga, saat ia menuruni anak tangga.

"Hi," balas Emily dengan sopan dan sedikit lambaian tangan. Emily menampilkan senyum sebaik yang ia bisa. Ia langsung berjalan menuruni tangga menuju pintu keluar dan tak lama kemudian sebuah taksi terlihat menepi, tanpa berpikir lagi Emily langsung membuka pintu belakang kemudian taksi melaju menembus hari yang masih sangat pagi.

***

"Selamat pagi, Vero," sapa seorang pria sambil berlalu masuk ke sebuah ruangan.

"Selamat pagi, Sir," balas sang sekretaris. Wanita cantik tinggi semampai dengan tampilan rambut dicepol, riasan wajah sederhana.

Terdengar pintu menutup di belakang langkahnya. Melaju ke meja kerja yang menampakan tumpukan dokumen yang menggunung. Pekerjaan yang sudah menanti, dokumen yang nyaris memenuhi meja kerjanya. Beberapa detik berlalu sebelum sebuah ketukan di pintu, terdengar sebanyak tiga kali.

"Ya masuk," ujarnya dengan tatapan mata yang tetap tertuju pada dokumen di hadapannya. Pria itu tampak serius, tak terpengaruh dengan suara tumit sepatu yang mengetuk-getuk lantai, langkah yang berjalan mendekat.

"Ini kopinya, Sir." Secangkir kopi hitam yang masih mengepul diletakan di atas meja. Lengkap dengan sebungkus kecil gula rendah kalori dan sendok teh serta selembar tissue.

"Terima kasih, Vero," ucap pria itu sambil mengangkat wajahnya sebentar sebelum kembali pada dokumen di tangannya.

"Oiya, Mr. Davis. Seseorang mencari Anda kemarin. Beberapa kali menelepon dan menanyakan Anda." Sang sekretaris menjelaskan panjang lebar dan berhasil membuat pandangan mata pria itu beralih.

"Siapa namanya?" tanya Ethan sambil memindahkan dokumen di tangannya sebelum meraih cangkir kopi di hadapannya. Vero tak langsung menjawab, ia mencoba mengingat.

"Tidak menyebutkan namanya. Dia ingin berbicara langsung dengan Anda, Sir," jawab Vero. Keduanya saling menatap satu sama lain. Ethan menganggukan kepala pelan lalu menyesap kopi di cangkir yang ada di hadapannya.

"Ada yang bisa saya lakukan untuk Anda lagi, Sir?"

Pertanyaan yang meluncur saat Ethan selesai menyesap kopinya. Ethan menoleh untuk menatap Vero yang menjulang di seberang mejanya. Vero tersenyum manis seperti biasanya.

"Tidak untuk saat ini, Vero," ujar Ethan dari tepian atas cangkirnya. "Kau bisa kembali ke mejamu. Terima kasih," imbuh Ethan ramah dengan seulas senyum. Veronica Steel, sang sekretaris beranjak pergi, meninggalkan sang Tuan di balik meja kerjanya.

Waktu berlalu, detik demi detik. Tik tok tik tok.

Ethan Davis. Seorang pria tampan, pekerja keras, mandiri dan sukses dalam bisnis yang dijalaninya. Bisnis dibidang keamanan. Ethan dan timnya banyak mendapatkan project yang berhubungan dengan keamanan, mulai dari kepentingan pribadi layaknya pesohor dunia hingga keamanan negara. Bisnis yang tak mudah, berliku dan banyak pengorbanan yang harus dipertaruhkan. Pembuktian bagi orang-orang yang memandangnya sebelah mata.

Saat ini yang menguras semua pikiran dan perhatiannya adalah project mengamankan penyelenggaraan Olimpiade London yang tersisa beberapa bulan lagi. Semua sudah dipersiapkan. Memastikan semua teknologi keamanan berjalan baik.

Di balik ketampanan wajah dan tubuhnya yang atletis, tak banyak yang tahu jati diri di balik pria yang digilai banyak wanita. Mereka hanya tahu, Ethan seorang pria playboy. Berganti-ganti pasangan. Kehidupan yang mewah bergelimang harta. Tapi tak ada yang akan mengira dan percaya apa yang sebenarnya ia rasakan, ia pendam dan yang ia inginkan.

"DAVID WATSON," desis Ethan saat mendapati sebuah dokumen di antara tumpukan di atas mejanya. Ia tampak mengernyitkan kening sambil menatap dokumen di tangannya. Rasa penasaran membuat tangannya menyambar dokumen itu. Nama yang terasa asing baginya.

Ethan memisahkan dokumen itu dari dokumen lainnya, membukanya dan mulai membacanya dengan seksama. Tiap baris tak ada yang terlewatkan. Pikirannya melayang, jauh menembus batas. Dokumen yang diterimanya saat ini, yang sedang digenggamnya menjelaskannya banyak hal. Ada banyak yang harus ia pelajari hingga ada banyak tanya yang mengusik.

"Emily Watson. Hmmm...baiklah," ucapnya pelan penuh keyakinan.

Segurat wajah melintasi ingatannya. Senyum yang mengembang seraya menatap foto di hadapannya. Bagai glester dingin yang membekukan dirinya. Ethan beranjak dari duduk, berjalan menghampiri sang sekretaris. Vero langsung berdiri saat sosok Ethan berjalan mendekat.

"Vero, bisa kau bantu sambungkan aku ke nomor ini?" pinta Ethan sambil memberikan secarik kertas berisi deretan angka yang ditulis tangan. Vero menerima potongan kertas itu tanpa membantah.

"Baik, Sir," ucap Vero menerima tugas yang didapatnya.

Ethan mengangguk sambil tersenyum dan kembali ke ruangannya.

***

Teh hangat yang Emily tuang ke dalam mug yang ia genggam cukup mampu menghangatkan dirinya, usai terpapar angin dari blower sepanjang pengambilan gambar hari ini. Seorang diri ia duduk di sebuah kursi, ia telah membersihkan wajahnya dari serangkaian polesan kosmetik. Sementara menanti hasil kerjanya hari ini, hanya duduk sambil memperhatikan orang-orang di sekelilingnya yang masih tampak sibuk. Ia berusaha mencoba untuk membuat dirinya santai. Menikmati hari-hari sibuknya.

"Hi cantik," sapa Alex yang muncul dari sebuah ruangan. Suaranya yang mengejutkan membuat Emily terperanjat kaget. Nafasnya tersedak, dengan mata membulat mendapati Alex menjulang di hadapannya. "Kau---" ujar Olivia dengan ekspresi tegang. Alex tampak bingung, mengernyitkan kening menatap sahabat cantiknya.

"Kau kenapa?" tanya Alex sambil meraih sebuah kursi untuk didudukinya yang tak jauh dari keberadaan Emily. Jeda sesaat saat Emily menghela napas panjang. Bayangan beberapa malam lalu seakan melintasi kepalanya kembali.

Sekali lagi Emily menyeruput tehnya. Merasakan kehangatan membasahi tenggorokannya. Terasa menenangkan bagi setiap saraf di tubuhnya. Ia mencoba untuk menyingkirkan bayangan di kepalanya yang menyelinap masuk.

"Kau sangat mengagetkanku," kata Emily dengan nada protes. Alex terkekeh setelahnya. "Maafkan aku."

Emily mengangguk sambil tersenyum. Mencoba menepis keterkejutan pada dirinya, keduanya saling menatap sampai pandangan mata Emily mendapati sebuah kamera di tangan Alex dengan tali yang menggantung di lehernya. Emily memperbaiki posisi duduknya lalu mencondongkan tubuhnya untuk mendekat pada Alex.

"Bagaimana hasilnya?" tanya Emily penasaran, melirik Alex yang ada di sampingnya. Tampak Alex tersenyum puas meski ia belum mengatakan apapun membuat Emily menatap dengan menilai sampai ia bersuara. "Sangat mengagumkan. Kau terlihat seksi, Baby girl."

"Alex." Emily mendengus dan saling melirik jail sebelum Emily mendorong bahunya dengan bahu Alex, kemudian keduanya tertawa bersama untuk beberapa detik.

"Ok. Saatnya untuk serius. Kau bisa lihat hasilnya, Em sayang."

Alex menunjukan hasil kerjanya kali ini. Ada 150 foto yang Emily hasilkan hari ini. Satu persatu Alex menjelaskannya secara detail, mulai dari kekurangan dan kelebihan dari setiap foto yang berhasil dihasilkan. Emily menyimak sebaik biasanya. Komentar demi komentar yang meluncur dari Alex usai pemotretan sungguh amat sangat ia perlukan. Alex lah yang telah mengubah seorang Emily Watson di depan kamera. Emily merasa hidup di antara teriakan Alex selama sesi.

"Aku rasa mereka akan bingung memilihnya," celoteh Alex bersamaan saat Emily meletakan mug di tangannya. Menghela napas panjang, menghembuskannya perlahan sebelum Emily kembali menatap Alex dan mendapati tatapannya yang menilai untuknya.

"Kau kenapa?" tanya Alex penasaran. Ia mengamati Emily dengan seksama, hingga membuat Emily merasa Alex sedang mencoba mencari hal yang mungkin saja ia sembunyikan darinya. Emily tersenyum masam ke arah Alex sambil menjawab pendek. "Tidak apa-apa."

Emily meraih raih tasnya, memasukkan semua peralatan miliknya kembali ke tempatnya. Tak lupa untuk mengganti sepatu yang dikenakannya. Emily menanggalkan sepatu heels berganti dengan sepatu kets yang membuatnya merasa nyaman dan aman lebih tepatnya. Emily tak akan melakukan kesalahan yang sama, itu yang ia pikirkan sekarang.

"Kau akan langsung pulang?" Pertanyaan Alex yang membuat Emily menoleh lalu ia menggelengkan kepala sambil beranjak dari duduk untuk meraih tas miliknya. Emily menjulang di hadapan Alex sebelum ia ikut beranjak dari kursinya.

"Tidak, aku akan mampir ke supermarket terlebih dahulu. Kulkasku sudah kosong," ujar Emily sambil tersenyum.

"Kau ingin aku mengantarmu?" tanya Alex menawarkan diri. Emily sungguh suka terhadap Alex, perlakuannya selama ini sungguh manis. Emily menepuk bahu Alex sambil tersenyum semanis yang ia bisa. "Tidak perlu teman. Kau pasti sedang sibuk. Aku akan meneleponmu nanti. Bye, Alex sayang," kata Emily sambil mengecup pipi Alex.

"Take care, Darling," balas Alex disusul dengan pelukan hangat dan Alex mengecup kedua belah pipi Emily sebelum ia beranjak pergi dan menghilang di balik lift.

***

"Ben, aku ingin kau yang pegang kendali untuk project Olimpiade."

Mata Ben melebar. Seakan kedua bola matanya akan meloncat keluar.

"Saya? Maksud Anda, Sir?" tanyanya bingung. Pria tegap dengan setelan jas hitam yang membalut kemeja putihnya. Ethan hanya menatapnya lurus, tersenyum melihat kebingungan Ben. Mereka duduk berhadapan. Ethan tampak tenang, sesekali ia memainkan pulpen yang terselip di antara jarinya.

"Ada project lain yang lebih membutuhkanku. Yang perlu kau lakukan hanyalah memastikan semua berjalan baik sesuai dengan jadwal. Aku hanya perlu update darimu," Ethan coba menjelaskan dengan bahasa sederhana untuk mudah dipahami.

"Tapi… Mr. Davis..." Ben tampak ragu, jelas terdengar dari suaranya dan kalimatnya yang menggantung. Ethan mengangkat tangan kanannya ke hadapan Ben. Menghentikan argument Ben yang membuat raut wajah Ethan berubah dingin.

"Aku tak menerima penolakan. Aku memutuskan hal ini karena aku tahu kau mampu, Ben," ucap Ethan tegas.

"Tapi Sir--"

"Tidak ada tapi-tapian kau mengerti," selak Ethan cepat dan tegas.

Rahang Ethan menegang dengan tatapan lurus. Hening untuk beberapa saat. "Kau bisa hubungi Sophia untuk project ini," sambung Ethan setelah terdiam. Ben hanya mengangguk tanpa membantah. "Ini file terakhir yang bisa kau pelajari mengenai project Olimpiade." Ethan memberikan sebuah file kepada Ben. File yang cukup tebal.

"Aku yakin kau mampu, Ben." Ethan mengemukakan penilaiannya. "Aku tidak akan pergi. Jika ada yang kau tidak mengerti, kau boleh bertanya langsung padaku," ucap Ethan menambahkan. Ben menerima file itu, mengangguk cepat dan mendapati tatapan Ethan yang menyiratkan kepercayaan pada dirinya.

"Saya...Saya berterima kasih untuk kepercayaan ini, Sir," kata Ben dengan ekspresi tak yakin akan dirinya.

"Sudahlah Ben. Aku sudah mengatakan hal ini kepada Sophia. Dan besok kalian akan menghadiri pertemuan dengan Perdana Menteri."

Ben sekali lagi terbelalak kaget. Ethan hanya tersenyum dengan reaksi Ben.

"Manfaatkan kesempatan ini, Ben." pesan Ethan sambil menepuk bahu Ben mantap, seakan menyalurkan energi semangat.

***

Emily tak mengira pekerjaan rumahnya begitu banyakn. Kesibukan telah membuat dirinya mengacuhkan isi apartemennya. Begitu banyak pakaian kotor, lemari es yang juga kosong. Menggunungnya piring kotor. Ia harus menyelesaikan semua ini sendirian.

Emily mencoba menghidupkan kompor untuk merebus makaroni. Mengocok adonan bolu spons, berbarengan dengan mesin cuci yang sedang menggiling pakaian-pakaian miliknya.

Semua bumbu sudah ia persiapkan. Kopi panas pun sudah tersedia. Andai ia bisa menjadi lebih dari satu. Astaga, pikiran konyol yang melintasi isi kepala seorang Emily Watson. Setelah adonan mengembang, ia masukan dalam oven berbentuk lingkaran.

Sambil menanti masakannya matang, Emily beranjak ke arah jendela, duduk di atas sofa sambil tampak senja yang memerah. Angin berhembus pelan menerpa wajahkunya sari jendela yang dibiarkan terbuka. Terasa hangat yang menyusup sebelum dering telepon terdengar memecah keheningan dirinya yang larut dalam lamunan. Dengan sigap Emily menyambar ponsel miliknya yang terus menderu.

"Hallo," sapa Emily membuka percakapan.

"Hallo, Sayang. Ini Ayah," jawaban dari ujung ponselnya.

Emily terperangah, terkejut hingga hanya mampu menutup mulutnya. Menatap layar ponselnya, nomor yang berbeda, ia terduduk tegak di atas sofa.

"Ayah? Oh Tuhan, betapa aku merindukanmu, Ayah," kata Emily dengan suara gembira dan penuh antusias. Ia tak menyangka akan mendengar suara sang ayah.

"Bagaimana kabarmu, Sayang?" Pertanyaan yang membuat Emily menghela napas panjang lalu menghembuskannya dengan keras lalu menelan ludah.

"Aku baik-baik saja Ayah. Bagaimana denganmu?" tanya Emily sebelum terdengar sang ayah yang tiba-tiba terbatuk-batuk tiada henti. Terdengar seperti rasa gatal yang menggelitik. Menerjang kerongkongan hingga terdengar napas yang sesak, seketika Emily dibekap rasa cemas.

"Ayah, apa kau sakit?" tanya Emily khawatir. Ayahnya takmenjawab, ia masih terbatuk-batuk. Jantung Emily berdegup kencang. Ada rasa takut mendesir di dalam benaknya. Ia terduduk tegang di sofa.

"Ayah tidak apa-apa, Sayang."

David Watson, pria berusia enam puluh tahun pada akhirnya menjawab pertanyaan dari Emily, meski terdengar disela napasnya yang masih tak beraturan. Emily bahkan merasa ikut sesak. "Tapi ayah-- "

"Tidak, Nak," selanya.

"Ayah baik-baik saja. Hanya kelelahan saja," imbuh David. Segumpal kebohongan seorang ayah yang tak ingin membuat buah hatinya cemas dan sedih. Emily hanya menelan ludah. Mencoba untuk memahami kondisi sang ayah.

"Kau yakin, Ayah? Batukmu tidak membuatku percaya dengan perkataanmu, Ayah," ujar Emily terus terang tanpa ada yang ia sembunyikan. Napasnya terdengar lebih tenang sebelum ayahnya terkekeh pelan. Ia mengerti maksud sang putri.

"Aku merindukanmu, Nak," ucap David usai tarikan napas dan Emily membalasnya. "Aku juga, Ayah. Aku sangat merindukanmu."

***

avataravatar
Next chapter