4 BAB 3 –  Gilda wira (3)

Jora

Jora menguap lekas meneguk dari kantong air yang ada dipinggang juga memercikan sedikit ke wajahnya, berusaha sebisa mungkin mengenyahkan rasa kantuk yg ia rasa.

Diusap mata yang berair lalu mengawasi rombongan yang ia kawal dari gilda wira buana. Bukan hanya rombongan wira amatir yang diamanatkan padanya namun ia juga diberi tanggung jawab menjaga karavan pedagang yang mengangkut logistik ke perbatasan naraka zamrud

"Sebelas, dua belas..." dihitungnya kembali jumlah gerobak yang hadir, 'sekalian melatih kemampuan berhitungku, biar gak ditipu pedagang lagi',rutuknya dihati.

Belasan gerobak berbaris beriring-iringan, roda kayu berguling di atas jalan setapak berlumpur. Ada yang ditarik kuda ada pula didorong manusia, ada yang beroda satu adapun juga yang beroda empat. Seluruhnya berlomba membawa angkutan mereka untuk membangun peradaban manusia diwilayah perbatasan penuh konflik selama ratusan tahun antara ras manusia dengan monster.

"Kenapa juga aku harus membawa para amatiran ini menemui ajalnya..." bisiknya pada diri sendiri. Jora dapat melihat para anak baru itu sedang mengangkat peralatan mereka, baik itu zirah, senjata juga helm. Pandangannya tajam berusaha hati-hati agar mereka tidak mencuri peralatan mereka, namun yang segera mengalihkan pandangan karena sadar anak-anak baru menjadi gugup karena dipandang seolah pencuri.

Para petinggi gilda wira seenaknya berkata, 'kau kan yang paling kuat dan terampil, maka ajarilah mereka demi meluaskan wilayah kekaisaran kita', ingatannya memutar ulang kata-kata si gendut saat mereka berbincang lantai teratas gilda wira buana.

"Enak banget dia ngomong begitu, palingan juga dia membebani tugah berat karena marah padaku! Dasar gendut sialan!" kutuk Jora, yang memancing perhatian orang disekitar, ia mengabaikannya dan meminum wine mahal yang tadi ia curi dari ruangan si gendut.

Selesai meneguk cairan itu dan merasa hangat dikerongkongan, ia akhirnya sadar mereka telah sampai di sebuah desa paling utara dari kekaisaran Maghary.

Sepoi angin dari utara seolah membawa harum darah wira yang mati diarah sana, ia melihat matahari mulai kearah barat, 'Sepertinya masih sempat melakukan satu perburuan', ia tersenyum senang memikirkan hal itu.

Mereka berhenti dan Jora menerima koin sebagai wujud terima kasih dari seorang pedagang, ia menatap koin perunggu di telapak tangannya, "Hey Kim, kenapa uang ini terlalu sedikit tidak seperti biasanya?"

Anhakim pedagang langganannya, mereka berteman baik mungkin karena dia selalu memberinya pengawalan gratis saat ia mengantarkan pesanan ke daerah perbatasan dari Taraw ke perbatasan Naraka Zamrud.

"Maaf keuntungannku tidak banyak sebulan kebelakang, tapi aku janji akan menyisakan arak dari dari pohon aren untukmu, pasti kau suka." Ia hanya memberi tatapan tak puas, namun Anhakim segera mengalihkan pembicaraan.

"Itu kambing yang kau pilih untuk pengorbanan?" Raut kebingungan terlukis di wajah Anhakim si pedagang muda. Jora perkirakan sebenarnya dia masih semuda para amatir ini, namun beban pikiran sebagai pedagang tampaknya membuat wajahnya lebih seperti diatas dua puluhan.

"Ya" jawabnya singkat, tangan kurus Anhakim membelai kepala bertanduk dari kambing yang sama kurusnya lantas memberi tali kekang ke tangan Jora.

"Bagaimana mungkin kau mengorbankan kambing yang paling kurus pada dewa" tanya lawan bicaranya saat ia menangkap koin yang dilempari Jora.

"Tentu karena mereka menjualnya dengan murah tentunya" Jora tak paham kenapa hal logis seperti itu perlu ditanyakkan.

"Sigh... kalau nanti kalian kena sial maka itu bukan salahku"Anhakim lelah memprotes tindakannya namun iapun melanjutkan, "tapi biasanya juga walaupun kau tumbalkan kambing gemuk sekali pun juga sama saja hasilnya, gak salah juga kalau mending yang kurus saja agar mengurangi dana, sisa uangnya bisa kau belikan beberapa arak milikku" celotehnya panjang lebar.

Jora hanya terdiam, "Oke deh" jawabnya singkat.

Anhakim pun pergi mendorong gerobak beroda satunya yang terbebani oleh beberapa karung berisi jelai dan ikan asap, dan meninggalkan gentong tanah liat yang mengeluarkan bau miras yang menyengat mata.

"Cepat simpan gentong ini di warung biasanya, nanti kita buat perayaan setelah menang" pitahnya pada salah satu amatir yang terlihat babak belur akibat ujian tadi pagi.

"Ah- baik pak!" si cecunguk segera menurunkan tombaknya dan mengangkat gentong itu, sembari bertanya-tanya dimana warung yang dimaksud.

Kambing kecil itu kini ia bawa ke area pinggir desa, menanjak ke bukit kecil yang lebih tinggi dari rumah warga. Para wira yang lain mengikutinya dalam diam seolah sudah tau apa yang mau ia perbuat. Kambing itu pun seolah patuh saja di bawa ke tempat jagal nya, entah ia ikhlas ataupun ia tak sadar dibawa kemana.

Mereka berhenti didepan sebuah struktur dari batu bata yang disusun berbentuk menyerupai siluet manusia. Namun alih-alih kepala, bagian dari atas leher digantikan oleh bentuk matahari dengan lingkaran dalamnya dilapisi oleh perunggu, bertujuan untuk memantulkan sinar mentari.

"Nah walau kau masih terlalu muda dan umurmu masih panjang namun pengorbananmu sangatlah penting bagi kami, jadi jangan dendam kamu ya..." Ia elus kambing itu dan mengucapkan kata-kata seolah hewan itu paham, "setidaknya aku memberimu kematian yang lebih baik dari ratusan cara mati lainnya" diambilnya belati dipinggang.

"Yaitu kematian untuk dewa" dan bilah obsidian memotong leher hewan itu.

Darah menetes membasahi lubang di tanah, sengaja dibuat sebelumnya agar cairan kehidupan itu dapat langsung dihisap bumi.

"Semoga kita mendapatkan buruan yang baik-" Seorang anggotanya yang lebih relijius mengucapkan doa dan diikuti oleh yang lain, agak keras agar yang lain dengar.

Matanya kini mendekat agar bisa membaca baris kalimat yang terukir di berhala itu, ia perhatikan dibawah relief berupa lingkaran yang menggambarkan mentari terdapat ukiran sebuah desa yang para penduduknya memberi sesaji sembari mengelilingi siluet manusia.

Jora melihat sekelilingnya dan tersadar gambar di berhala tersebut seolah menggambarkan tindakan yang baru mereka lakukan dan bulu tengkuknya tiba-tiba ia merinding walaupun ini masih siang hari dan jauh dari hutan terkutuk.

"Masih lama lagi ya berburunya?"

"Sshh.. jangan berisik Guem, kita sedang berdoa"

Jora berbalik kebelakang karenaa mendengar pecakapan disela doa. Ia menoleh dan dibelakangnya ada dua orang yang paling menonjol di dalam ujian tadi pagi, ia bahkan sempat kagum pada semangat mereka saat menonton di atas balkon, walaupun sempat ketiduran di pidato awal.

Pemuda berambut hitam berantakan yang terlihat kurus namun otot-otot yang ia miliki terlihat sangat terlatih sampai bisa berlari secepat kilat. Jora mulai ragu kalau anak tersebut merupakan rakyat biasa, tubuh tersebut tak terlihat malnutrisi malah terlihat seperti orang yang makan daging setiap hari.

Dan seorang pemuda yang satunya yang berambut coklat sebahu berwajah feminim, mereka masing-masing sedang menenteng tas yang berisi tombak dan anak panah sedangkan yang satunya sedang membawa set zirah yang diikatkan masing-masing ujung tiang bambu.

"Kalian berdua, cepat berikan bawaan kalian pada para senior lalu berjalanlah didekatku saat kita masuk ke Naraka zamrud"

"Baik pak" jawab si jabrik.

"Siap pak, laksanakan!" si muka feminim tampaknya orang yang berisik, Jora benci orang berisik namun ia akan menahan diri untuk saat ini, 'itupun kalau mereka bisa selamat diperburuan perdana mereka'.

Merekapun segera mengenakan perlengkapan berburu masing-masing. Dipakainya zirah hijaunya, ia dapat merasakan dinginnya pelat logam yang ada diantara dua lapis kulit keras, terdapat tonjolan bos logam dipermukaan depannya sebagai tanda kalau lempeng baja tersebut terpaku dengan kuat.

Kini kepala bersurai hijaunya telah seluruhnya tertutup oleh helm yang terbuat dari kulit dengan taring babi yang ditempelkan ke permukaan luarnya. Helm ini ringan namun terasa sesak dikepala, 'kalau bisa pun aku ingin memakainnya hanya saat sudah berhadapah dengan ghuast'.

Semua merupakan perlengkapan yang nampak murahan namun sangat sungguh cocok untuk mereka yang pada dasarnya berdompet tipis. Ia perhatikan yang lainnya, dan seperti dugaannya hanya sesama wira senior yang punya cukup uang untuk membeli peralatan dari perunggu.

Yang lain hanya menggunakan peralatan dari kulit, kayu maupun batu asah. Dan hampir semuanya tak ada yang memiliki helm, 'lain kali akan kuajari mereka betapa pentingnya benda itu untuk menjaga kepala mereka', dia hanya mendesah tak peduli.

"Yak! Baiklah, saya tidak butuh banyak bicara karena sudah diwakilkan oleh si gendut berpangkat ketua gilda" beberapa di antara mereka terkikih geli, yang tertawa paling keras adalah sih pemuda berwajah feminim.

"Ayo kita masuk!" teriaknya sambil mempersiapkan kapak, satu di pinggul kanan, satu dikiri dan satu di belakang punggung. Banyak yang bilang bahwa ia terlalu paranoid saat masuk ke neraka zamrud dengan tiga kapak sekaligus namun mereka tidak mengetahui seberbahaya apa ghuast itu dan iapun memilih mencari aman dengan memiliki banyak senjata cadangan.

-EoG-

Rombongan berjumlah mereka bergerak menembus hutan, menginjakkan kaki di tanah para monster membuat mereka sedikit gemetar. Sang pelacak kepercayaannya sedang menatap lekat-lekat jejak manusia sebelum mereka, mencari arah keberadaan ghuast dan piringnyaya yang dipenuhi belulang manusia.

Melewati hutan ini ya kadang menorehkan rasa heran dihati, 'bagaimana hutan seindah ini dapat dihuni banyak dapat menjadi rumah bagi master monster aneh-aneh'

Namun semakin kakinya menginjak masuk barulah keadaan mulai hening. Sepi menusuk telinga meski mereka ramai dan gelap mengaburkan pandangan walaupun ini masih siang hari, seolah tak seolah-olah hutan ini menolak sinar kehidupan dari angkasa dan mencoba menjauhkan mentari dari menyentuh tanahnya.

"Hai ketua lihatlah, bukannya ini jejak dari kelompok yang gagal dalam perburuan kemarin?" Si pelacak adalah satu dari lima anggota senior dari gilda dikelompok ini, sisanya hanyalah anak ingusan amatir yang kemungkinan berakhir mengenaskan.

"Kemarin ya..." Jora sekarang ingat kalau kemarin sudah ada yang mengincar guast di lokasi ini, namun sayang hanya satu yang selamat sisanya terbantai, 'darah mereka kini meresap ke dalam tanah terkutuk' Jora bergidik akibat pikirannya sendiri.

"Yah tidak penting lagi, mayat mereka sudah dimakan cacing pastinya. Apa kau sudah tau kemana makhluk ini pergi?"

"Tergantung, makhluk seperti apa yang kita cari kali ini?" katanya tanpa mengalihkan mata dari tanah.

"Mereka dia ada satu yang berhasil kabur dari perburuan kemarin. Terluka parah dengan banyak darah keluar dari sobekan yang dalam, seorang tabib bilang kalau bekasnya serupa cakaran kucing besar"

"Berarti tinggal kucari jejak kucing yang lebih besar dari biasanya," kata si pelacak singkat, "Ada petunjuk lain?"

Jora merogoh bagian leher zirahnya dan mengambil sesuatu, "Ini ditemukan disamping korban, indah namun berlumur darah."

Ia memeriksa selembar bulu berwarna biru, lalu diserahkan pada pelacak yang memandangi benda itu yang terlihat eksotis dengan campuran warna hijau dan biru terlihat sangat elegan "Tak bisa aku bayangkan jika corak seperti ini dimiliki oleh monster"

"Hei itu bulu merak kan?" tanya seorang dibelakangnya, mereka berdua yang sedang bicara serius tentu kaget karena diajak bicara tiba-tiba.

"Guem! Jangan ganggu ketua kita!" lalu seketika sang pemuda ditarik oleh temannya yang wajahnya penuh memar, Jora mengingatnya sebagai orang yang mengangkat gentong wine di desa.

"Oh ternyata cuman si wajah femin-"

"Panggil saja aku Guemwyn, bos." Guemwyn melepaskan diri dari genggaman kawannya.

"Kau yakin ini bulu merak?" saat menyadari siapa yang mengejutkannya di belakang pemuda itu ada dua pemuda lain satu yang tampak bapak belur parah dan satunya yang berotot kekuatan di

"Iya benar bos aku yakin kalau bulu ini adalah burung merak, hewan yang tinggal di wilayah timur Agmus." Dia mengangguk mantap, "walaupun aku tidak yakin kenapa merak menghuni wilayah Naraka zamrud".

"Karena bulu itu bukan dari merak" timpal temannya yang berambut jabrik, "iyakan ketua?"

"Huh, pintar juga kau...?" Daya analisanya yang tajam membuat Jora agak tertegun, "yap benar sekali, itu adalah bulu ghuast"

"Killa, panggil aku saja Killa... ketua" si jabrik memperkenalkan diri sebelum lanjut bicara, "Jadi buruan kita memiliki kaki seperti singa dengan bulu merak?"

"Benar, biasa disebt sebagai hibrida" sang pelacak ikut nimbrung.

Ghuast dapat muncul dalam banayk rupa, namun hibrida adalah yang paling umum diantara banayak variannya. 'Dan bangsawan mau membeli kulit dari ghuast jenis ini dengan harga tertiggi.

"Yah, kita harus membunuhnya dahulu kalau mau mengambil kulit mahal it-"

Seketika perbincangan mereka pecah oleh sebuah suara raungan.

"Tenanglah, kalian berisik!" teriak jora berusaha menenangkan bawahannya, sadar kalau dalam ketakutan mereka akan gampang terbunuh, 'dan aku akan berusaha membuat mereka lebih takut pada perintahku' daripada takut akan melakukan makhluk barusan

Tampak dihadapan mereka makhluk agung dalam wujud serupa raja hutan dengan bulu keemasan menutupi seluruh tubuhnya, entah mengapa di kegelapan ini bulu tersebut seolah memancarkan cahayanya sendiei.

Hewan itu tadinya dalam posisi tidur namun ketika matanya menatap santapan yang berbaris rapi didepannya, pandangan mata yang tadinya heran berubah menjadi pandangan lapar dia ia bangkit berdiri.

Ghuast itu membuka rahang lebar-lebar dan bersamaan dengan itu surai di sekitar lehernya mengembang. Diantara bulu cokelat itu muncullah bulu merak seolah pohon kering yang tiba-tiba menumbuhkan daun dari dahannya.

"Groahh!!"

Saat ia mengaum keras beberapa bulu tersebut gugur dan terbang dibawa angin bersama dengan daun lainnya.

Saat yang lain tak bergeming mendenga auman makhluk itu, Jora hanya menatap balik dengan tajam dan mulai mempersiapkan kapak di kedua tangannya.

"Baiklah para amatir sekalian itu dia buruan kita hari ini, buat formasi bertarung sekarang!" pitahnya segera ditanggapi mereka yang ada dibelakangnnya.

Jora menyadari kalau mereka sangat tangap, berbeda dari bawahan lamanya, 'harus kuakui kalau pelatihan dari si ketua gilda rupanya membuahkan hasil'.

avataravatar
Next chapter