webnovel

1 - The Decision

Adrian duduk bersandar di ranjangnya, kedua matanya dengan kosong melihat ke satu titik di salah satu sudut ranjangnya. Tirai jendela kamar terbuka dan dia bisa melihat suasana daerah tempat tinggalnya dari posisi dia duduk. Tapi dia sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Keadaan di luar masih terang, tidak perlu untuk menyalakan lampu. Sebuah kamar dengan suasana yang tenang, yang sangat berkebalikan dengan apa yang sedang dirasakan si pemilik kamar.

Sudah lebih dari satu jam dia duduk dengan posisi seperti itu, diam dan tidak bergerak. Pikirannya terus mengulang kejadian yang baru saja terjadi satu jam sebelumnya.

Selama satu jam yang sudah berlalu, kepalanya berdenyut tidak henti, serasa seperti ada yang terus menerus memukul tanpa istirahat. Rasa sakitnya kian menjadi seiring berjalannya waktu. Dia mengernyit dalam, tidak tahan dengan setiap pukulan di dalam kepalanya yang membuatnya semakin sakit dan sakit.

Semua itu hanya imajinasi dalam kepalanya, tapi rasa sakit yang dia rasakan senyata rasa tertekan dan menusuk yang sekarang menekan dadanya.

Adrian berusaha mengatur nafasnya, mengingatkan dirinya kalau dia masih harus bernafas dan semuanya belumlah berakhir. Sementara yang dia rasakan dan kenyataan yang ada adalah kebalikan dari yang dia pikirkan.

Berakhir. Sudah berakhir.

Itulah keputusan yang mereka berdua sepakati. Mereka tidak saling bertengkar, tidak saling marah, tidak saling menyalahkan.

Tidak ada alasan untuk mereka merasa marah ataupun bertengkar antara satu sama lain. Dan yang pasti ini bukanlah kesalahan mereka. Kesepakatan ini diambil karena untuk sekarang ini, mungkin ini adalah jalan yang terbaik.

Di usia mereka yang menginjak pertengahan 20, banyak orang mengatakan mereka belum dewasa dengan matang. Tidak salah ada orang yang berpendapat seperti itu karena nyatanya, mereka memang baru saja mulai untuk memasuki 'dunia orang dewasa'.

Bahkan ada yang mengatakan kalau mereka adalah anak-anak yang dipaksa untuk dewasa lebih cepat karena tuntutan dari karir yang sudah mereka ambil. Tapi, siapa bilang menjadi dewasa harus ditentukan dari umur saja? Anak-anak pun bisa menjadi dewasa yang tidak kalah dengan bagaimana orang dewasa itu sendiri.

Kalau boleh jujur, Adrian adalah orang yang cukup peka dengan hal-hal seperti ini. Karena itu dia berusaha yang terbaik agar tidak terjadi konflik dan berharap semuanya akan bisa diatasi. Dan nyatanya, itu adalah sebuah harapan belaka.

Melihat orang yang kita sayangi selalu 'diserang', dan yang lebih parah adalah dia tidak pantas untuk diperlakukan seperti itu...

---

"Kita..."

"Kita...?"

"Kita... apa akan terus seperti ini?"

"...Apa yang kau pikirkan?"

"Banyak yang kupikirkan. Tapi yang paling menyita pikiranku adalah tentang apa kata 'kita' bisa menjadi milik kita untuk saat ini."

"Alora..."

"Adrian, aku rasa kata 'kita' itu tidak bisa menjadi milik kita sekarang. Kita sudah berusaha. Bukannya kita tidak melakukan apa-apa."

"Alora-"

"Aku tahu kau sudah berusaha sebisamu. Dan aku juga tahu kalau kau juga sama tidak berdayanya sepertiku. Dan aku mengerti itu."

"Apa sekarang akhirnya kau merasa berat untuk bersama denganku?"

"Kapan aku pernah bilang kalau aku tidak pernah merasa berat? Kau itu jauh lebih tinggi dariku dan waktu kau bersandar padaku, tubuhmu itu beratnya minta ampun. Sudah pernah kubilang kan?"

"Kau ini, masih bisa bercanda dalam percakapan serius."

"Apa kau mau aku bersikap depresi kalau begitu? Bukannya rasa humorku juga salah satu yang kau suka dariku?"

"Oke, oke. Aku memang tidak bisa menang darimu."

"Membicarakan hal ini, aku tidak mau akhirnya malah membuat depresi."

"Bagaimana mungkin aku tidak depresi? Kau menyiratkan kalau kita akan... putus."

"...Aku memang mau kita putus."

"Putus...?"

"Ya, untuk saat ini."

"Setelah selama ini kita berusaha memperjuangkan... kau mau kita... putus."

"Adrian..."

"Kenapa akhirnya kau memilih untuk, putus denganku?"

"Kau tahu aku mencintaimu kan?"

"Lebih dari tahu."

"Sama juga denganku. Kita masih saling menyukai dan saling sayang. Dan kau adalah pria pertama yang jadi pacarku. Kau yang sudah membuatku merasakan cinta untuk pertama kali."

"Alora, aku benar-benar serius dengan hubungan kita. Kau pun juga sudah bertemu dengan orang tuaku. Aku benar-benar ingin hubungan ini bisa bertahan sampai kita nantinya bisa bersama tanpa harus sembunyi-sembunyi."

"Memangnya aku tidak?"

"Lalu... kenapa?"

"Kau tahu kenapa."

"Alora-!"

"Adrian."

"...Aku berusaha supaya kita tidak akan pernah harus untuk mengambil jalan ini."

"...Ini bukan yang terbaik dan juga bukan yang terburuk. Ini hanya satu jalan yang bisa kita ambil dan tampaknya satu jalan yang paling mungkin untuk dijalani sekarang."

"...Kau yakin?"

"Tidak dan iya."

"Maksudmu?"

"Aku tidak yakin dengan keadaan. Tapi aku yakin dengan kau dan aku. Dengan kita berdua."

"...Kau sedang ada di mana?"

"Di apartemenku. Dengan wabah virus yang sedang menggila di luar, siapa yang berani untuk keluar rumah. Dan bukannya semua produksi film juga sedang dihentikan sampai pemberitahuan lebih lanjut? Aku yakin kau juga pasti ada di apartemenmu."

"Apa aku boleh ke sana?"

"Tidak."

"...Aku ingin memelukmu sekarang."

"Meski kau ada di depan pintu rumahku sekarang, aku tidak akan membuka pintu. Penggemarmu juga tidak akan membiarkannya."

"Mereka pasti tidak sayang nyawa kalau sekarang mereka masih terus mengikutiku. Wabah virus ini setahuku sangat mematikan dan menular."

"Maka itu kau juga lebih baik diam di apartemenmu."

"...Alora, setelah telepon ini putus, berarti kita resmi untuk berpisah?"

"Kita tidak pernah resmi mengatakan di depan orang-orang kalau kita pacaran. Resmi atau tidak, kita tetap tidak berubah."

"Apa status kita setelah ini?"

"Teman. Teman kerja. Teman satu agensi. Teman sesama artis dan aktor. Teman yang bermain di film yang sama. Pilih salah satu."

"Teman..."

"Ya teman. Dan asal kau tahu, menjadi temanku adalah suatu hal yang bisa kau banggakan. Aku terkenal ramah dan banyak teman-teman artis yang mengantri untuk jadi temanku."

"Kau memang seorang teman material. Aku juga tertarik padamu karena karaktermu yang seperti ini."

"Tidak ada ruginya untuk menjadi teman. Karena aku bisa mengandalkan dan minta tolong kepada temanku tanpa dikritik atau dibilang kalau aku mencari kesempatan."

"Alora-"

"Aku tahu apa yang mereka bicarakan tentangku. Tentu saja aku berhak marah dan membela diri untuk semua omongan bohong yang mereka katakan tentangku."

"Dan semua itu karena aku..."

"Aku tidak menyalahkanmu, tidak sepenuhnya. Dan semua itu sudah terjadi. Tidak usah dibahas lagi."

"Oke... teman."

"Benar, teman."

"...Teman baik?"

"...Teman baik."

"..."

"..."

"..."

"Aku akan tutup teleponnya. See you, friend."

"Bye... friend."

---

Hubungan mereka berakhir.

Bukan. Hubungan mereka berubah menjadi teman.

Dada Adrian terasa sesak dan tangannya meremas bantal yang berada di sebelahnya.

Situasi ini... benar-benar sangat tidak masuk akal. Meski begitu, dia juga tidak punya kekuatan untuk membuat semuanya jadi masuk akal dan bisa diterima.

Mulutnya mengeluarkan erangan kecil dan emosi yang sedari tadi dia tahan, perlahan mulai muncul ke permukaan. Dia sudah tidak bisa menahannya lagi.

Satu nama terus terlintas di pikirannya.

'Alora... Alora... Alora...'

Di titik puncak Adrian tidak bisa menahan perasaannya lagi, dia meluapkannya dengan berteriak kesal sambil melempar bantal ke sudut ruangan.

"SIAL!"

Next chapter