webnovel

BAB 1 (Yang Dia Tahu Dia Memang Seperti Ini)

LANGKAH kakiku terus mengalir meninggalkan jejak di atas jalan dengan santai. Jika langkahku ini adalah jari-jemari dan jalanan ini adalah kumpulan tuts piano, mungkin saat ini aku sedang memainkan sebuah lagu yang berjudul, 'Gloomy Sunday'. Aku sangat terharu.

Sudah sekitar 15 menit sekiranya aku berjalan kaki dengan membosankan seperti ini. Hanya melihat pemandangan yang sama setiap harinya. Ya, tapi tak apa.Setidaknya aku masih bisa melihatnya dengan jelas, walaupun pikiranku masih tertinggal di kasur kesayanganku yang dihiasi Sapi betina dan selingkuhannya itu. Sapi jantannya terlalu banyak. Aku bisa melihatnya dengan jelas.

Tak ada yang berubah dari hari-hari sebelumnya. Seorang pemilik warung kelontong membuka tirai besinya. Begitu juga dengan pemilik toko-toko yang lain. Namun ada juga yang masih tertutup rapat. Para pejalan kaki yang berlalu lalang di pinggiran jalan yang tak seberapa dan kendaraan-kendaraan yang mengisi kekosongan di tengahnya.

Kumasukkan tanganku ke dalam saku celana karena kedinginan. Tubuhku terhentak setiap kali kulangkahkan kaki. Di seberang sana ku lihat jelas seorang anak laki-laki kecil sedang menangis dan tepat di hadapannya adalah seorang pria paruh baya. Dia sedang menggumamkan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang di katakannya. Tapi yang pasti ocehannya tidak membuat si anak itu berhenti menangis atau setidaknya mencoba untuk memelankan tangisannya.

Itu pasti ayahnya.

Yang bisa kutangkap, pria itu berkata pada anaknya,"Jangan menangis, ya. Nanti akan papa belikan permen." Untung saja pria itu memasang wajah yang bersahabat dan membungkuk sambil menangkup kedua pipi anak kecil itu. Makanya aku berpikir demikian. Jika sebaliknya, "Kau sama seperti ibumu. Sangat menjengkelkan. Aku akan mencari Istri baru." Itulah yang kupikirkan.

Aku hanya mencontohkan cara kerja dunia ini.

Mungkin saat ini menunjukkan pukul 07.00. Begitu sejuk dengan udara yang sepertinya menyukaiku apa adanya. Dan langit yang sedikit muram tanpa adanya cahaya pelangi yang menghias. Terlihat baik. Sangat Baik.

Di sudut jalan—di ujung persimpangan, kulihat seorang perempuan seumuran ku berdiri menengok ke kiri ke kanan seperti sedang tersesat.

Memangnya ini hutan apa tersesat segala!!!

Wajahnya seakan-akan menjadi pelangi di saat langit muram seperti sekarang ini. Aku terus berjalan mendekatinya—bukan untuk berkenalan dengannya—aku hanya meneruskan perjalananku. Lagi pula aku sudah berhenti bermimpi akan hal-hal yang membuatku terbuai.

Aku bukan lagi orang yang mengidap penyakit 'Bahagiakan Aku'.

Mimpi adalah suatu hal yang selalu kita angan-angankan untuk tercapai entah sebagai cita-cita ataupun imajinasi yang muncul di kepala orang-orang yang mengharapkannya. 'Semakin besar kau bermimpi, semakin besar pula harapan yang akan membuatmu tersungkur jika kau tak mampu merealisasikannya nanti'. Hmph... aku menyebutnya 'Hukum Michi'. Kajian yang kubuat sendiri dengan merenung dan berasaskan tentang kehidupan sosial—tidak, lebih tepatnya kesalahan dari lingkungan sosial. Keren bukan? Jika Harvard menemukan renunganku ini, aku yakin mereka akan berhenti mengkaji tentang teori relativitas, lubang cacing, Higgs Boson atau semacamnya, begitu juga dengan instansi lain.

Sesekali aku memperhatikannya. Anak ini terus melirik-lirik sekitarnya dan sembari melirik potongan kertas kecil yang dipegang tangan kanannya. Tentu aku juga mencuri kesempatan untuk memperhatikan wajahnya.

Dan....

Aku ketahuan.

Dari pada disebut mesum atau penguntit atau malahan tampang yang ingin memerkosa, aku langsung memalingkan wajah ke arah yang lain. Dia tahu dia sedang diawasi, tapi aku harus tetap tenang agar tidak menambah kecurigaan.

Dan akhirnya aku melewatinya.

"Permisi, selamat pagi. Kamu tahu sekolah SMA 12?"

Apaan tuh? Kukira dia akan berteriak, 'Penguntit'.

Karena aku sadar di jalan setapak ini hanya ada kita berdua saja, terlebih toko di samping kiriku masih tutup, ya itu tidak penting sih. Spontan wajahku menghadap ke sumber suara.

"Huh?"

Wuuuush.... Apa-apaan senyumnya itu!?

Terlebih aku masih terngiang suaranya yang mengucapkan 'Selamat Pagi' yang begitu menggoda—maksudku memesona. Bayanganku sangat tergambar rapi. Terlebih senyumnya langsung menyapa dengan begitu hangatnya dan masih terukir jelas di wajahnya. Senyuman yang hanya bisa kudapatkan dari seorang gadis muda jika aku pergi ke minimarket atau gerai HP.

"Sekolah SMA 12 dimana, ya?"

Anak ini.....

[Ya tuhan, aku ingin melindungi senyumannya itu.]

"Oh... Um.... itu—ya.... ada disana." konyol. Kenapa malah nge-lag kayak komputer kena virus sih. Dan kenapa pula aku berpose kayak patung Pancoran!!?

"Aku punya alamatnya sih," tunjuknya dengan melirik kertas yang ia pegang."Tapi kamu bisa tolong beritahu dimana sekolahnya?"

Jam tangan cokelat di lengan kanannya. Rambut Layer–nya yang terurai. Sweter cokelatnya yang terbalut rapi di tubuhnya—anak ini membuat semuanya terlihat cocok untuknya.

"Kurang lebih 300 meter lagi dari sini. Lurus terus, persimpangan berikutnya belok kiri. Jalan saja terus sampai ketemu pertigaan, lalu belok kanan. Jalan saja terus, sekolahnya tak jauh dari sana."

Yosh. Walau aku menyebut 'Jalan saja terus' sampai 2 kali, tingkahku pasti tak terlihat aneh. Malah kupikir itu lugas dan tak bertele-tele. Pasti aku sudah menyelesaikan masalah orang ini.

"….oh, Terima kasih, ya."

Imanku dalam bahaya.

Dia tersenyum lagi. Tidak. Ini senyum yang berbeda, ia menambah adegan memiringkan kepalanya juga. Gadis ini seperti binatang langka. Harus dilindungi.

"Uh." jawabku mengangguk dan langsung melanjutkan perjalananku.

Walau hanya nilai setitik, setidaknya hari ini aku bukan hanya sekedar cuci mata. Ini seperti adegan di Anime yang pernah ku tonton waktu itu. Bertemu gadis Ideal dan berbincang-bincang dengannya. Ya, tepatnya berbincangnya hanya satu kali saja, sih. Tapi setidaknya aku punya cerita bagus untuk ku ceritakan—pada diriku sendiri.

@ @ @ @ @

Aku mendongakkan wajahku ke atas. Langit sepertinya makin tak sabar memberikan benihnya pada bumi. Bukan. 'Memberi Benih' terdengar vulgar. Membasahi sepertinya lebih pas. Tidak. Membasahi terdeng—ah terserahlah. Tak ada yang bisa ku lakukan kecuali melanjutkan sisa perjalananku ini. Apalagi hujan sepertinya akan turun.

Dalam perjalananku, aku tenggelam dalam lamunan. "Fuuuh." Dengusanku pasti terdengar sangat berwibawa. Seperti layaknya bos yang kecewa pada kinerja bawahannya tapi tetap mencoba bersabar.

Kutendang batu-batu kecil di depanku sekedarnya. Mungkin aku terlihat seperti menggiring bola tanpa tahu gawangnya ada dimana. Batu-batu itu selalu berhenti di depanku setelah ku tendang. Tapi pasti ada pula yang berbelok arah. Ini persis seperti kehidupan, bukan?

Tubuhku memang tidak di setting seperti Termometer. Tapi aku yakin cuacanya semakin dingin. Ya, tidak heran juga.

Ku langkahkan kedua kaki ini lebih cepat. Sesaat kemudian terlihat kilatan cahaya dan setelahnya terdengar suara guntur yang cukup keras. Jika aku anak bayi, pastilah aku sudah menangis.

Dalam kondisi seperti ini, aku punya firasat.

Samar-samar aku merasakan sesuatu. Di belakangku. Sepertinya ada sesuatu di belakangku. Apa ada yang sedang mengikutiku?

Tanpa memelankan langkahku, aku tetap berjalan seperti yang sedari tadi ku lakukan. Aku hanya sedikit menggerakkan 2 bola mataku ke ujung luar samping kanan. Melirik. Tapi bukan lirikan seperti orang yang mau mengutil. Ini adalah lirikan kecurigaan. Aku memiliki keahlian dalam bidang ini.

Gadis tadi.

Dia mengikutiku?

Perempuan tadi tepat berjalan di belakangku. Aku tahu anak ini mau ke mana. Wajar saja jika dia berjalan di belakangku, karena memang rutenya sudah benar. Tapi entah kenapa rasanya dia seperti penguntit. Aku seperti layaknya seorang suami yang dicurigai istrinya. Wuaah aku pasti sangat bersyukur dicurigai istri seperti dia.

Setelah aku tahu siapa yang membuat kecurigaanku, aku mengabaikannya. Aku tetap berjalan seperti biasa. Satu hal yang ingin kupertanyakan adalah mengapa ia berjalan mengikuti tempo berjalan ku? Padahal dia bisa saja berjalan mendahuluiku. Aku yakin para perempuan takut cuaca yang seperti ini. Kilat, guntur dan tentu hujannya sendiri. Aku sering mendengar para gadis sepertinya berteriak ketika suara guntur menghantam dan tergesa-gesa saat hujan akan turun—mungkin bukan takut hujannya—takut Make up mereka luntur. Kalau begitu mengapa gadis ini tidak melakukan itu? Mungkin ia tidak memakai Make up... ya, gadis itu memang terlihat natural. Tapi harusnya ia khawatir jika kehujanan nanti pakaiannya bisa-bisa tembus ke dalam dan terlihat. Walau atasannya dibalut sweter, tapi aku yakin dia memakai seragam sekolah berwarna putih di dalamnya—rok yang ia kenakan cukup memberi informasi.

Dan aku tidak khawatir sama sekali jika hal itu terjadi.

Kenapa ia tidak mendahuluiku? Apa karena ia merasa sungkan? Mengingat jaraknya tidak terlalu jauh lagi dan sepertinya hujan akan turun, harusnya ia berjalan lebih cepat.

Kasus ini harus ku pecahkan.

Untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku sedikit melakukan skenario kecil. Aku hanya memelankan langkah kakiku, itu saja. Dan alhasil... dugaanku sangatlah benar.

Gadis ini benar-benar menguntitku.

Ia memelankan langkah kakinya juga.

Hanya ada 2 kemungkinan untuk ini. Pertama, mungkin memang karena gadis ini sungkan, itu saja. Kedua, karena dia tahu dia itu cantik, dengan sengaja ia tidak mau mendahuluiku. Dengan pemikiran bahwa jika ia sampai berjalan berdampingan, aku akan menanyakan hal-hal yang sebenarnya tidak ingin ia jawab. Dia akan berpikir dimana aku akan menggunakan kejadian sebelumnya sebagai alasanku untuk melakukan modus terhadapnya. Alias, menghindar.

Jujur aku tidak akan melakukan hal-hal semacam itu sama sekali. Aku tidak mengidap penyakit 'Bahagiakan Aku'. Dia menguntitku itu bukanlah masalah. Aku tidak merepresentasikannya dengan apapun. Hal ini benar-benar tidak menggangguku sama sekali. Bahkan jika dia ingin, dia bisa menguntitku ke mana saja—asal jangan sampai ke dalam toilet—aku tidak akan mengizinkannya. Tidak akan.

Tapi jika situasinya seperti ini, saat ini aku tidak boleh melakukan hal-hal yang konyol lagi—seperti menendang-nendang batu. Aku harus bersikap dan berjalan bak model terkenal. Aku yakin aku bisa mengeluarkan aura hebat dari punggung dan betisku. Terlebih yang menguntitku adalah gadis cantik.

Situasi ini, situasi yang pernah kutonton sebelumnya di dalam Anime. 2 insan manusia berlawan jenis saling berjalan berjauhan. Dan menguntit. Rasanya ingin berteriak wuaaaah. Tapi aku tidak mungkin melakukan skandal dengan gadis yang baru ku temui. Tunggu. Sebenarnya Anime apa sih yang aku tonton waktu itu?

@ @ @ @ @

Sudah mulai gerimis.

Untung saja aku sampai tepat waktu. Jika tidak aku pasti akan terlihat seperti kucing yang takut kejatuhan air. Dan beginilah akhirnya, sampai juga di Taman Pendidikan. Tidak begitu menarik, bahkan aku tidak begitu peduli.

"Hei, terima kasih banyak, ya." ucapannya terdengar sangat elok dan ramah.

Aku menoleh ke belakang. Suara lembut itu berasal dari gadis yang dari tadi mengikutiku sampai ke aula sekolah ini.

Dia benar-benar membuatku bingung. Kupikir gadis ini tidak mau mendahuluiku dan terkesan menguntit karena takut. Tapi di ujung jalan ini dia malah berterima kasih. Baiklah. Pasti gadis ini tipe pemalu. Itu saja.

"Uh." anggukku sebagai jawaban.

Setelahnya, aku meneruskan jalanku ke arah kiri dan meninggalkan gadis itu di tempat sampai kehilangan senyumnya yang manis.

Aku tahu gadis itu anak SMA seperti ku. Aku yakin pula dia bukan siswi dari sekolah ini. Itulah alasannya ia menanyakan dimana lokasi Sekolah ini berada.

Semoga itu sedikit membantunya.

Kurasa tak ada yang lebih membosankan dari hidupku ini selain datang ke ruang isolasi ini. Bangun pagi, rapih-rapih lalu berangkat. Tak ada yang salah dari itu. Mungkin seluruh orang di dunia ini melakukan hal yang sama. Entah siapa dan dimana. Tapi bukan itu maksudku. Ketika aku masuk kelas, terlihat begitu menyenangkan. Bahkan aku bisa melihatnya dengan jelas, tapi entah apa.... aku tidak bisa merasakannya sama sekali. Bukan masalah, aku sudah terbiasa hal ini.

Tapi entah apa yang sebenarnya yang aku cemaskan, hmph.

Jika diumpamakan, terasa seperti kantong plastik yang terseret angin, lalu masuk melewati pintu dan terbawa masuk ke dalam ruangan. Dan benar, orang akan menyadarinya. Karena itu sampah, lebih baik dibuang saja. Hmph, pemikiran yang logis. Aku baru sadar.

"Lihat, itu Milky." jika aku adalah kantong plastik pasti orang ini sudah membuangnya.

[Asal kau tahu saja aku bukan pencinta susu dan namaku bukan Milky.]

Untung saja tuhan menciptakan suara hati. Dengan begitu aku leluasa membalas perkataan mereka. Kurasa setiap orang melakukan hal ini dengan baik.

"Kenapa ia tidak diberi nama roti, ya?"

Aku yakin jika kau orang tuaku kau akan memberiku nama panjang Roti Kadaluwarsa atau mungkin Sari Roti.]

"Walaupun dia sedikit telat, tapi dia beruntung tidak kehujanan."

[Karena itulah aku mencintai diriku sendiri.]

Tunggu.

Rasanya perkataannya barusan cukup enak didengar. Tak kusangka akan mendengar komentar seperti itu dari mulut gadis ini. Ya, walaupun bukan memuji setidaknya ia tidak berkata, "Kenapa anak itu tidak tersambar petir saja!?". Mungkin hari ini benar-benar waktu yang pas untukku menguasai dunia.

Dan aku tidak datang telat!

Situasi ini hanya gambar siluet saja. Pada nyatanya, bagiku tempat ini seperti kuburan di tengah pasar malam. Ini hanya wallpaper semata. Tak lebih. Mungkin malah kurang.

3 menit setelah diriku masuk kelas dan duduk,

Kring, kriiing, kriiiiing.

Suara bom itu pun terdengar. Sebenarnya itu adalah aib bagi para siswa. Dengan begitu mereka digiring masuk ke kelas seperti domba. Aku sangat menyadarinya.

Aku sangat yakin pelajaran pertama adalah Ilmu Pengetahuan Sosial. Itu pun jika jadwalnya tidak diubah tanpa memberitahukanku. Mata pelajaran yang paling ku benci—tapi entah kenapa justru yang paling aku mengerti. Jika ia memiliki sosok nyata, semoga saja ia dikutuk. Dan entah kenapa mereka menamainya seperti itu!? Kenapa tidak dinamai 'Salahkan Lingkungan Sosial' atau 'Jangan Pernah Percaya Pada Ilmu Sosial'? Ya, kurasa hanya karena itu terlalu panjang dan terdengar jujur. Aku yakin.

Tak beberapa lama kemudian, seorang pria paruh baya masuk ke dalam kelas. Aku kenal orang ini. Itu wajar karena memang dia guru mata pelajaran IPS ku. Dia datang dengan mimik wajah seperti biasanya. Aku tak tahu dia memang memiliki wajah yang memberengut—atau karena sedang cekcok dengan istrinya.

Seperti hal-hal umum yang dilakukan para guru kebanyakan. Datang, duduk, berdoa lalu absensi. Aku pikir hal-hal tersebut memang mutlak untuk dilakukan. Terkecuali jika guru tersebut berhalangan untuk hadir. Hal mutlak yang akan terjadi adalah bersorak, berdiri, lalu pergi ke kantin. Jam kosong adalah surga bagi para siswa. Setidaknya mereka akan mengobrol sampai gaduh jika itu terjadi. Aku tahu itu. Karena aku memperhatikannya dari belakang.

Beliau membacakan daftar hadir siswa dengan melantangkannya dengan cukup keras. Beliau memanggil puluhan siswa kelas ini dan menjentikkan pulpennya pada daftar absensi tersebut. Walau setiap hari seperti itu, aku tidak begitu yakin tahu siapa-siapa saja nama-nama itu dan pemiliknya. Aku hanya akan memfokuskan pada abjad namaku saja.

Setiap kali ritual ini dilakukan, yang ku lakukan adalah melihat ke luar jendela. Karena kelasku ini cukup strategis untuk melihat pemandangan di luar kelas. Terkadang aku bisa melihat siswi-siswi sedang berolahraga. Aku bisa melihat penampilan dan apa yang sedang mereka lakukan. Karena ini SMA, cukup banyak yang bisa diharapkan. Tapi itu hanya tak kesengajaan. Tak lebih. Lagi pula jaraknya agak sedikit mengganggu. Lagi pula siapa juga yang menyuruh mereka berolahraga saat aku memandang ke luar? Dan dari pada melihat sisi mereka yang seperti itu, aku lebih tertarik melihat konflik yang terjadi di saat mereka berolahraga.

Pernah suatu saat, aku melihat 2 siswa saling bertengkar saat jam pelajaran olahraga mereka berlangsung di luar sana. Mungkin mereka berdua tak sampai saling menumpahkan darah, tapi setidaknya itu cukup untuk menambah berita hangat di lingkungan sekolah ini. Sampai jam istirahat selesai, barulah aku mengetahui bahwa sebab mereka bertengkar hanyalah karena seorang perempuan. Orang-orang di kelas ini yang membicarakannya waktu itu. Aku hanya mendapat kabar burung secara tak langsung. Alias menguping.

Entah apa yang merasuki pikiran mereka berdua sampai-sampai bertengkar hanya karena itu. Tapi yang kutahu, selama 2 Minggu berita tentang itu barulah lenyap. Dan berganti topik pada kenyataan yang lebih miris lagi. Kenyataan bahwa gadis itu tidak memilih di antara keduanya dan memilih berpacaran dengan ketua OSIS yang populer dan lebih sempurna dalam segalanya.

Keren kan!!

Itu juga tak ada yang memberi tahuku. Aku hanya mendengar desas-desus dari mulut-mulut yang lantang mengatakannya—walaupun tidak sepenuhnya.

Sebenarnya ini hal yang wajar terjadi di kehidupan manusia. Semakin seseorang memiliki banyak pilihan, semakin besar pula pilihan tersebut dapat mengubah seseorang menjadi sombong. Semakin ia sempurna, semakin ia arogan. Aku tidak bisa menyebutnya mutlak, tapi hanya saja ini sering kali terjadi. Tapi jika seseorang tak memiliki satu pun pilihan, ia akan dengan senang hati menerimanya begitu saja jika ditawarkan. Ini juga bukan hal yang mutlak, tapi kebanyakan memang seperti itu. Memang wajar jika manusia menginginkan hal-hal yang paling bagus di antara yang lainnya. Tapi bukan berarti orang itu harus membuang sisanya dengan begitu saja karena berpikir dia sudah memiliki apa yang dia mau. Bagiku ini hanyalah konflik sosial. Penilaian tergantung dari kacamata dan pola pikir masing-masing. Aku tidak tahu siapa yang patut disalahkan dan siapa yang patut menyalahkan dalam kasus ini. Bagiku hanya waktunya saja yang tidak tepat.

Tapi karena itu hidup mereka, lakukan saja apa yang mereka mau. Lagi pula aku tidak termasuk di dalamnya.

" Haika Michi."

"Hadir."

"Jenella Nyla."

"Hadir."

"Jota Paris Angga."

"Ooooy, Hadir dong pak. Saya 'kan murid teladan."

Apaan tuh?

Tak kukira ocehannya pagi hari ini dapat menghidupkan suasana yang hening. Tapi inilah perbedaan sosial. Jika memang populer, mereka akan tertawa, setidaknya akan menghargaimu. Tapi jika tidak, mereka akan mengumpat : Mati saja sana.

Salahkan Lingkungan Sosial.

Jangan Pernah Percaya Pada Ilmu Sosial.

@ @ @ @ @

Mmmmmm~

Ada bagusnya juga pagi tadi hujan. Karena itu acara makan siangku kali ini memiliki suasana yang berbeda. Tentunya aku tidak berharap ada gadis manis berambut cokelat yang akan datang dan menemuiku susah payah lalu berkata, "Kau di sini rupanya. Aku dari tadi mencarimu ke mana-mana tahu!" atau semisal lain "Kau menungguku ya? Ayo kita makan bersama."

Cih.

Sebenarnya suasana saat ini tak terlalu jauh berbeda dengan suasana saat pagi tadi. Hanya saja kali ini hujan sudah membasahi dan tercium aroma khas dari tanah. Langit pun masih tak ada bedanya pula. Mungkin hujannya akan datang lagi nanti.

Ritual yang ku lakukan saat jam istirahat tiba adalah pergi ke belakang gedung sekolah untuk menikmati makanan yang sudah ku beli sebelumnya dari kantin. Seperti yang saat ini ku lakukan.

Roti cokelat buatan pabrik dan makanan rumahan yang dibungkus plastik Mika. Untuk minumnya sendiri aku lupa membelinya. Semoga saja aku tidak tersedak. Kalau tidak, bisa-bisa besok pagi namaku muncul di koran dengan Headline; Bocah Idiot Meninggal Karena Tersedak Roti di Belakang Sekolah, Sendirian. Percuma saja aku terkenal kalau aku mati.

Aku harus memakannya pelan-pelan.

Dari banyak cerita yang ku ketahui, seharusnya belakang gedung sekolah adalah tempat favorit para siswa untuk menghabiskan waktu. Alias, tempat berkumpul. Dengan begitu harusnya tempat ini adalah tempat yang ramai. Tapi entah apa yang salah, di sekolah ini, bagian tempat ini hanya ada aku saja—setiap harinya. Padahal tempat ini cukup bagus untuk bersantai-santai.

Dan di sini juga suasananya hening.

Gudang sekolah yang lumayan besar berdiri tegak tidak terlalu jauh dari samping kiriku yang sedang duduk di trotoar sekolah. Aku pernah masuk ke dalamnya, kebetulan pintunya tak terkunci. Selain kursi, meja, papan tulis dan barang rongsok lain, tempat itu mungkin diisi oleh tikus dan kawanannya. Gudang itu menghadap ke arahku yang sedang memandang ke luar. Paparan dunia luar terhalang oleh besi pembatas sekolah yang berpola yang langsung terhubung dengan bukit-bukit kecil yang ditumbuhi pohon-pohon yang cukup menjulang tinggi.

Tepat di belakangku adalah gedung perpustakaan sekolah ini, dan yang berjejer di sekitarnya adalah alokasi panel listrik untuk sekolah dan beberapa ruang yang bisa di kondisikan. Jadi wajar saja jika tidak ada suara pula yang terdengar dari gedung yang ada di belakangku—terkecuali suara gaduh yang ku buat sendiri ketika aku tahu ada semut yang menggigitku. Hanya itu yang ku temukan.

Sebenarnya aku juga penasaran mengapa halaman belakang sekolah ini selalu dalam keadaan sepi. Tapi aku juga tidak begitu peduli dengan hal sekecil itu—karena itu aku jadi memiliki tempat dan tak perlu mencari tempat lain.

Mungkin yang menyebabkan area ini sepi adalah rumor tentang hantu. Aku hanya menebak saja, siapa tahu benar. Tapi jika yang mereka maksud hantu itu adalah sesosok laki-laki yang berseragam dan mengemil roti, itu bukan hantu.... tapi aku.

Ya, ampun.

Saat menikmati makan siangku di sini, terkadang ada beberapa orang juga yang sesekali datang ke sini walau sekedar untuk memindahkan barang. Tahu apa artinya??? Itu berarti tempat ini bukan tempat mistis, karena siapa saja bisa datang, yang bisa datang bukan hanya orang-orang yang sudah dikutuk atau semacamnya. Lalu aku ini apa kalau memang begitu?

Aku belum berminat berprofesi sebagai hantu dalam waktu dekat.

Tapi tidak bisa dipungkiri, kalau di sini memang hening.

Tidak seperti kantin, lapangan, atau ruang kelas. Di sini bukanlah tempatnya. Di sini bukanlah tempat favorit. Yang bisa ku temukan di sini hanyalah diriku sendiri saja.

Terkecuali waktu itu.

Sampai suatu saat, kurang lebih 1 bulan yang lalu, di tempat ini pernah ada yang menyatakan perasaannya. Walaupun aku mengabaikannya,

Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.

"Ternyata ini memang tempat favoritmu, ya?"

Suara ini….

Angin yang sejuk ikut membawa kalimat barusan dan menerpaku.

Lirikku sesaat, "Tidak juga." lalu kembali menatap lurus ke depan.

Tak ku sadari, makanan yang baru ku masukkan ke dalam mulutku barusan adalah gigitan yang terakhir.

"Begitu ya."

"...."

Aku pun beranjak berdiri. Ku seka celana bagian belakangku dengan tangan kiri untuk menghilangkan debu. Lalu memasukkannya ke dalam saku celana setelahnya.

"Namamu Haika Michi, bukan?"

Ya terserahlah.

"Aku akan membuang sampah makananku. Jadi kau tidak perlu menurunkan poinku."

"Bukan, bukan itu maksud kedatanganku. Bahkan aku akan dengan senang hati membuangkannya jika perlu."

Apa? Dia datang ke sini hanya untuk itu? Aku terharu.

"Tidak-tidak, tidak perlu. Aku akan membuangnya dengan gaya 3 points ku sendiri."

Terlihat seulas senyum terpancar. "Aku hanya ingin berbicara sebentar saja." aku yakin dia tidak memiliki niatan buruk. "Ini soal yang waktu itu,"

Kami berdiri berhadapan dan berjarak. Dia memberikan tatapan cukup tajam.

"Aku tak mendengar berita buruk apa-apa lagi selain berita buruk tentang itu. Aku yakin kau juga tahu tentang kabar itu. Tapi aku juga tidak bermaksud menyalahkan seseorang jika pun berita lain akhirnya menyeruak ke permukaan. Tapi aku juga tak bisa bohong kalau sebenarnya aku begitu khawatir. Jadi aku mohon—"

Kring Kriing Kriiiing

".... aku hanya ingin berterima kasih. Terima kasih." kalimatnya barusan mengekor setelah dering bel berbunyi.

Aku tidak begitu mengerti apa maksudnya. Tapi sepertinya dia melakukannya cukup tulus.

"Aku tidak begitu paham apa maksudmu, jadi sebaiknya kau simpan saja terima kasih itu untukmu sendiri."

Dia sedikit tertawa. "Ternyata kau orangnya seperti ini, ya?"

Apa maksudnya 'Seperti ini'? Apa itu kalimat halus dari 'Ternyata kau bodoh ya'? Ditambah wajahnya yang tanpa kepura-puraan itu. Semoga saja bukan.

Kakiku mulai melangkah perlahan meninggalkan tempatku berdiri. "Aku tidak mengerti perasaanmu, tujuan atau apapun yang kau pikirkan. Aku hanya bisa mengerti bahwa kau adalah ketua OSIS yang berbakat, sosok laki-laki yang begitu di cintai," kakiku pun terhenti dan berdiri sejajar dengannya. "Jadi kau tak perlu khawatir. Aku tidak punya hak untuk mengganggu hidupmu. Anggap saja aku ini adalah kantung plastik." lalu mulai meninggalkannya.

"Aku yakin kau lebih hebat dari pada itu,"

Sebelum berbelok, tukasannya membuat diriku berhenti mematung sejenak.

"Sekali lagi terima kasih." lagi-lagi kalimat yang tak ku tahu maksudnya itu.

Aku hanya menyunggingkan sedikit senyum ketus.... dan berlalu.

Ya ampun.

Aku masih lapar. Harusnya tadi aku membeli nasi goreng. Kukira waktu istirahat masih 15 menit lagi. Ya, itu hanya harapanku saja, sih. Kalau pun menjadi kenyataan, siapa juga yang menjual nasi goreng di sini? Aku harap sebelum lulus nanti, ada yang menjual nasi goreng di kantin.

Oh, iya.

Aku lupa belum minum. Ku harap aku masih punya waktu untuk membeli minum dahulu sebelum kembali ke kelas. Karena kursiku ada di pojok kanan belakang—dan sendirian, aku bisa mengendap-endap meminumnya di sana—ya walaupun bisa menghabiskannya dalam perjalanan, sensasi meminum minuman dari kantin di kelas sewaktu ada guru yang mengajar jauh lebih hebat.

Benar-benar memacu darahku hingga mendidih.

Dan soal laki-laki tadi,

Dia berada satu tingkat di atasku. Aku mengenalnya hanya sekedarnya saja. Walaupun dia memiliki segalanya, sebenarnya justru dia melewati banyak hal karena unsur tersebut. Ya, tapi mau bagaimanapun dia adalah sosok yang telah berhasil menancapkan bendera kemenangan di puncak Everest.

Dan semoga saja dia tidak membuat badai yang akan menerjang dirinya sendiri.

End.

*****

Terima kasih yang sudah menyempatkan diri untuk membaca.

Terus pantengin untuk kelanjutan bab-bab berikutnya, yaw.

Berikan komentar dan vote kalian sebagai bentuk dukungan untuk novel ini.

Salam.

Next chapter