webnovel

Chapter 1 : Putihnya Musim Dingin, Lembutnya Bulu-bulu burung, Indahnya Ilusi

Part 3

Mereka melanjutkan perjalanan seperti biasa. Penuh kehati-hatian dan perasaan ngeri yang masih menodai hati mereka. Tapi pancaran semangat itu membuat takut dapat kalah dengan mudah, setidaknya tidak membuat mereka jadi terlalu takut dan lari.

Di depan, persimpangan terakhir. Setidaknya memerlukan tiga puluh menit lagi sebelum sampai ke tempat yang dikatakan Max. Mereka berbelok ke kiri seperti arahannya.

Semakin ke dalam, semakin kuat perasaan aneh yang mencengkeram mereka

Satu jam mereka berjalan, dan belum ada tanda tanda dari palka yang dimaksudkan Maximillian. Mereka mulai takut, karena terpikir sihir ilusi yang pernah mereka dengar dari Archmage pembelot itu.

Sudah lebih dari satu setengah jam mereka berjalan, dan tidak ada satupun tanda-tanda dari palka itu. Zimmermann khawatir, seribu pasukan khusus yang bertempur di atas sudah sangat kewalahan dan Kaisar Wilhelm akan meluncurkan serangan total dengan empat ratus ribu prajurit yang sedang bersiaga.

Ini tidak benar. Seharusnya, hanya butuh satu jam untuk sampai pada palka itu. Kecuali jika memang ada salah perhitungan.

Zimmerman menoleh ke sampingnya. Karena tertutup masker gas, ia tidak bisa melihat ekspresi Max dan menebak apakah dia sedang menyembunyikan sesuatu atau tidak.

"Max, apakah kau berlari saat menjelajahi tempat ini, lama benar kita berjalan. Lebih dari satu jam, bahkan lebih dari dua jam!"

"Aku menghabiskan lebih dari lima jam menonaktifkan setiap jebakan yang ada, dari sudut ke sudut walaupun itu agak terdengar bodoh karena lorong tidak punya sudut." Kata Max dengan nada tenang.

"Ya...gitu sih..." Kata Zimmermann agak malu, biasanya ia yang memperlihatkan sisi pintar, bukan Max.

"Tapi aneh juga, kalau lancar mungkin kita bisa sampai dalam waktu satu jam."

"Lalu...apa yang terjadi di sini?" Tanya Zimmermann. Kini hatinya kembali diliputi ketakutan. Khususnya, jika ini memang sihir ilusi, ada kemungkinan tengkorak tadi terjebak di sini hingga mati karena pelindung ilusi yang ada di sini. Kematian dengan teror sedemikian hebat bukanlah pilihan terbaik untuk menyusul Torvar dan rekan-rekannya yang mati saat itu. Namun, ia tetap mempertahankan ketenangannya agar ia bisa berfikir jernih.

"Hihihi...hihihi..."

Zimmermann berhenti secara tiba-tiba. Suara itu, suara dari seorang gadis yang terdengar seperti suara yang bukan dari dunia ini. Suara yang aneh, seperti suara elektronik. Suara itu memiliki efek yang tidak biasa pada hatinya, seperti malaikat maut sendiri yang berbicara, ingin menerkam jiwanya.

"Siapa di sana?" Teriak Zimmermann. Kini senjatanya ia bidikkan ke arah kegelapan tak berujung yang ada di depannya.

"Fufufu...kau menyadariku...memang benar, adikku tidak pernah salah memilih..." suara itu terdengar semakin jelas.

"Zimmermann, kau berbicara dengan siapa? Halusinasi mu kambuh?" tanya Maximillian. Meskipun terdengar masih mencoba menenangkan suasana, ia sendiri merasa tidak enak dengan tingkah Zimmermann. Ia tidak memedulikannya, karena pikirannya tertuju pada sesuatu yang berbicara dengannya.

"Oh, diam sebentar Max. Kau beneran gak dengar apa-apa?" kini, ketakutan Zimmermann semakin meronta-ronta di dalam diri, layaknya serigala yang berusaha melolong meski di bungkam. Namun, ia tetap berusaha untuk tenang.

"Fufufu....kaulah yang dipilih adikku, bukan mereka. Kaulah yang bisa mendengarku, untuk menyelamatkan mereka...fufu..."

"Siapa kau sebenarnya? Jawab! Apa yang kau lakukan pada kami?"

Suara tawa itu semakin keras dan terasa menggema di telinganya. Otak Zimmermann sudah terlalu sulit untuk diajak berfikir. Perasaan yang tidak jelas di hatinya membuatnya kebingungan sendiri. Sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Perasaan yang timbul akibat suara itu.

"Aku bisa gila..." kata Max dengan tatapan yang kini sudah kosong. "A..apa yang harus kulakukan...?"

Tiba-tiba, seluruh gorong-gorong seakan-akan berubah dengan sendirinya. Yang awalnya hanyalah terowongan batu yang lembab dan penuh dengan lumut yang tumbuh secara tidak wajar, menjadi sesuatu yang terlihat seperti...organ dalam, usus terutama. Seluruh dinding dan langit-langit terowongan menjadi gumpalan berwarna merah muda dengan cairan berwarna merah yang nampak seperti darah. Ini jelas seperti struktur dari daging. Zimmermann pernah melihatnya, sesuatu yang ada pada video game horor yang sangat ia benci.

Tentunya, ini membuat jantungnya semakin cepat berdetak. Kini tubuhnya penuh dengan keringat dingin, seperti orang yang terkena stroke. Dan ternyata, pasukannya juga merasa demikian. Bahkan, Ingrid berteriak dengan keras. Tentunya ini bisa mempengaruhi misi diam-diamnya.

"I...ini nggak bagus..." kata Zimmermann dalam hati.

"Gampang...hihi. Aku akan memberikanmu sedikit petunjuk. Jika kau mampu memecahkannya, kau dan…orang-orang dibelakangmu itu akan selamat." Kata suara itu, suaranya terdengar seperti seorang pembunuh berantai yang berbicara dengan mangsanya. Penuh dengan hawa mengerikan, meskipun suaranya terdengar seperti menyenangkan dan seakan-akan mengajak untuk bermain.

Tanpa pikir panjang, Zimmermann langsung menerima tawaran itu. Ia memprioritaskan teman-temannya, karena ia menanggung nyawa mereka di pundaknya.

"Fufu...bagus sekali. Ada sebuah puisi yang bagus. Kudengar kau suka membaca dan membuat puisi, meskipun kurasa tidak begitu cocok denganku."

"Ya, darimana kau tahu??"

"Puisi ini, di dalamnya terdapat sesuatu yang membuka pintu untukmu keluar dari ilusi ini."

Selama ini dugaannya benar, musuh tidak akan membuka gorong-gorong besar ini hanya dengan sedikit jebakan biasa yang bisa diatasi unit-unit pioneer.

"Baiklah, katakan puisi itu dengan bahasa yang aku fahami. Jangan pakai bahasa lain." Zimmermann mencoba untuk membangkitkan kepercayaan dirinya yang telah tenggelam dalam perasaan yang aneh itu.

Suara wanita itu, tiba-tiba terdiam setelah tertawa kecil yang entah kenapa selalu menambah ketakutan di dalam hati Zimmermann dan pasukannya.

"Manusia dipengaruhi pikiran, dan pikiran dipengaruhi oleh titik paling atas.

Dunia dalam genggaman, hati tempat kekuatan tak terbatas.

Manusia ada, dengan hati yang kuat serta keyakinan yang keras.

Dunia milik Manusia sendiri, tidak ada yang melampaui.

Dengan keyakinan kepada Pencipta, Hati akan terampuni.

Satu hantaman keras, pintu dunia terbuka.

Dan semua dosa sirna, dengan pandangan menjadi cahaya.

Kebersamaan seluruh dunia, menciptakan hal yang takkan diduga.

Sementara kematian tertunda, dan dunia jauh dari petaka."

Selesai suara itu menyanyikan puisinya, hati yang awalnya bagai disinari keindahan dan ketenangan mulai jatuh ke dalam jurang ketakutan lagi. Ini pertama kalinya, Zimmermann merasakan naik turunnya keberanian, ketenangan, dan ketakutan dengan tempo yang begitu cepat. Jelas ini tidak biasa baginya. Sangat aneh, bahkan ia tak pernah mendengar cerita dalam sejarah dan legenda mengenai seseorang yang pernah mengalami hal seperti ini, kecuali jika orang itu sudah gila.

"Su-sudah? Hanya itu? Sepertinya tidak sulit dan juga tidak mudah..."

Maximillian yang cemas langsung mengguncang-guncangkan badan Zimmermann.

"Zimi..,jangan gila dulu sebelum kita keluar dari lubang teror ini! Sadarlah, tidak ada yang berbicara padamu!"

"Diam, Max! Aku lebih tahu darimu jika tentang ini. Biarkan aku berfikir sejenak, tidak akan lama. Dan aku janji kita akan segera melanjutkan perjalanan dan keluar dari sini. Percayalah!"

Max langsung terdiam. Ia memang sedikit tidak percaya pada orang yang sedari tadi melantur pada sesuatu yang bahkan tidak terdengar suaranya oleh ia sendiri dan prajurit lainnya. Hanya saja, kepercayaan diri Zimmermann bukan sesuatu yang biasa ditunjukkan oleh orang yang tidak waras jiwanya. Jadi, ia hanya membiarkan Zimmermann dengan apapun yang ia lakukan.

Ia mencoba memasang-masangkan teori, logika, dan unsur-unsur sastra yang ia ketahui. Diantara semua itu, pastinya ada yang bukan merupakan petunjuk, melainkan penghias saja.

"Manusia dipengaruhi pikiran, benar. Kita jelas dipengaruhi oleh pemikiran kita sebelum bertindak, meskipun ada orang yang 'bertindak sebelum berfikir', jelas tetap terbesit di dalam pikiran, yang membuatnya bergerak dengan spontan tanpa pikir panjang. Dan pikiran terdapat pada kepala, otak, titik paling atas. Sejauh ini gampang saja."

Zimmermann kembali memikirkan baris berikutnya. Untungnya ia tidak lupa dengan bait panjang tadi, karena keindahan puisi tadi langsung tertancap pada otaknya.

"Dunia dalam genggaman...berhubungan dengan tangan? Tapi untuk apa? Tidak masuk akal...mungkin, hati tempat kekuatan yang tak terbatas, jelas harus memiliki kepercayaan diri untuk melakukan suatu hal, bait berikutnya hanya sebagai pelengkap jelasnya. Dunia milik manusia sendiri....hmm..."

Lima belas menit Zimmermann mondar-mandir, mencoba memecahkan teka-teki ini. Ia tidak menyangka jika puisi ini agak sedikit rumit.

"Hihi, semakin lama kalian berfikir, kalian bisa hilang di dimensi ini loh! Orang yang- bukan, sisa-sisa manusia yang tadi kalian lihat lihat adalah hasil dari ilusi ini loh...hihi, jika kau tidak bisa menebaknya, maka jiwa kalian akan aku makan. Fufufu..."

Tertawanya keras sekali, seperti menusuk-nusuk gendang telinga dan hampir saja memecahnya.

Zimmermann mencoba berfikir keras, ada banyak kemungkinan yang dapat ia simpulkan, tapi beberapa seperti tidak akurat dengan petunjuk lainnya dan juga sangat rumit untuk dilakukan. Kecuali satu hal yang sedikit bodoh, tapi tiba-tiba muncul di pikirannya.

"A..ha!?" teriaknya dengan sedikit ragu. "Sebentar, ini agak...tapi apa benar? Mungkin sebaiknya kucoba dulu..."

Ia mencoba mengusir rasa takut dan pesimisme di dalam hatinya. Ia mencoba membangkitkan optimisme, keberanian, dan keyakinannya akan kehidupan dan Illuvatar. Saat dia sudah mantap, ia membuka mata dan mencoba menampar dirinya sendiri.

Awalnya tidak bisa, lalu ia membuka masker gas dan melakukannya lagi. Menampar dirinya dengan keras, hingga pipinya terlihat memerah.

Tiba-tiba, gumpalan-gumpalan daging tadi berubah dengan sendirinya. Layaknya sebuah film yang rusak, dunia seperti sedang terkena distorsi sebelum akhirnya ia dapat melihat sesuatu yang sangat ia inginkan. Gorong-gorong tempat ia berada tadi.

Zimmermann kembali mendengar cekikikan yang sangat mengganggu itu.

"Adikku tidak pernah salah pilih..." Suara itu menghilang dan perasaan takutnya sirna sama sekali,

Ia melihat ke arah Maximillian, dan membuka topengnya. Betapa terkejut dan tidak terkejutnya Zimmermann melihat wajah Maximillian yang terlihat kaku, seperti membeku. Bola matanya memandang ke satu arah tanpa sedikitpun merespon lambaian tangan Zimmermann. Tatapan kosong, seperti beberapa prajurit yang ia lihat setelah kejadian besar dua bulan lalu. Tatapan seseorang yang terkena PTSD.

Ia terkejut karena wajahnya yang biasanya santai dan menjengkelkan, dapat berubah se-drastis ini. Tidak terkejut juga karena wajar orang takut secara tidak normal di saat seperti itu.

Zimmermann menarik nafas dalam, lalu menampar keras-keras Maximillian. Pertama kalinya ia menamparnya, meskipun hanya senang-senang saja. Ketika ada masalah, mereka selalu berbaikan tak lama setelahnya. Dan kemarahan hanya ditunjukkan lewat sikap seperti orang biasa yang sedang bermusuhan; cuek dan tidak pedulian kepada sesama sampai mereda pada suatu titik.

Maximillian tersadar, matanya kembali menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Wajahnya yang tegang kini mulai kembali tenang. Wajahnya kembali menjadi seseorang yang selalu ia tahu dan kenal.

"Apa yang..." kata Maximillian sembari menggerak-gerakkan kedua tangannya. Ia seperti orang yang baru saja tersadar dari pingsan selama berhari-hari. Wajahnya memang agak pucat, mungkin karena transisi dari ilusi ke realita agak membingungkannya.

"Jangan protes, tampar yang lainnya, dan cari tangga yang kau bilang kau sembunyikan di sini. Jangan sampai hilang, aku malas harus menaikkan kau dan lainnya satu persatu." Katanya sembari mendongak ke atas, tampak palka yang tersinari cahaya lampu redup senter.

Maximillian mengangguk, meskipun ekspresinya terlihat sangat kebingungan. Satu prajurit ia tampar, lalu prajurit yang sudah tersadar menampar yang lainnya. Semua hingga seluruh delapan puluh empat orang tersadar kembali.

Setelah itu, Max meraba-raba area dasar gorong-gorong yang ia yakini adalah lokasi ia menjatuhkan tangga itu.

"Ketemu!" ia langsung mengangkatnya dan menaruhnya di dinding yang dekat dengan palka.

Sebelum dimulai, Zimmermann berdiri menghadap prajurit-prajuritnya. Kini wajah mereka kembali penuh semangat yang berapi-api. Fakta bahwa komandan mereka lebih pintar dari yang mereka duga, membangkitkan keyakinan mereka untuk mengakhiri perang sebelum nyawa mereka yang berakhir dalam perang.

"Baiklah, semuanya, apa kalian sudah mengisi senjata dengan peluru Mithrillium seperti yang sudah kukatakan?"

"Jawohl, Herr Hauptmann!"

"Baiklah, kita mulai! Aku akan bergerak duluan, kalian menyusul."

Sebelum menyentuh tangga, Maximillian berdiri di sampingnya, dengan senyuman yang...bisa dibilang sangat 'tulus'

"Tadi itu hebat ya, tamparanmu lebih sakit dari Theodred dan Angela." Senyumannya semakin lebar dan semakin sadis.

"Ayolah, masker gas itu nggak akan merusak wajah tampanmu..." Katanya sambil menepuk pundak temannya itu.

"Aku tahu kok...itu hutang, oke?"

Sambil menelan ludah, tidak hanya sekali tapi berkali-kali hingga sampai ke puncak palka. Kini, perang akan berakhir saat ini juga, setelah ratusan tahun dilanda perang, akhirnya Nordland bisa kembali aman. Dan ia dapat merasakan hangatnya ruangan dengan perapian, dan empuknya kasur barak perwira.

Atau itu hanya harapannya saja, perang mungkin berakhir saat ini juga atau mungkin tidak, semua tergantung dari takdir yang membawa mereka, seperti bulu yang perlahan tertiup angin...

Next chapter