18 Ngambek

Begitu kami memasuki mansion, Kakek menghadang Kami. Mansion? Nama itu baru aku ketahui dari Andra setelah aku bercerita tentang istana milik Kakek ini. Andra tertawa saat mendengarku menyebut mansion ini istana. Rasanya aku tak salah, mengingat bangunannya yang tinggi dan megah. Tapi kemudian Andra meralat, lalu menyebut bangunan indah ini sebagai mansion. Baiklah, katakanlah aku norak. Di saat orang-orang berlomba bikin rumah minimalis modern, kakek malah membuat bangunan luas dan megah yang memerlukan tanah berhektar-hektar. Mansion Kakek ini mengingatkanku pada Masjid Kubah Emas di daerah Depok. Jarak antara gerbang dan bangunan utama lumayan makan waktu kalau ditempuh dengan berjalan kaki.

"Satria!" suara Kakek menggelegar dari atas tangga. Apa lelaki tua itu marah?

"Bang, Kakek kenapa?" tanyaku berbisik pelan pada Satria di sebelahku.

"Nggak apa-apa, Rea."

Terlihat Kakek menuruni anak tangga. Kedua alisnya menukik, matanya menatap kami tajam, tepatnya pada Satria. Aku tidak pernah melihat Kakek semenyeramkan ini. Sebenarnya apa yang sudah Satria lakukan?

"Kamu lagi-lagi melakukan tindakan bodoh yang bisa merugikan perusahaan, Satria!" ucap Kakek menatap cucunya itu jengkel. Namun, Satria seolah menganggap kemarahan Kakek adalah hal yang biasa, dia sama sekali tidak merasa takut.

"Memangnya apa yang aku lakukan, Kek? Apa aku sudah menjual diam-diam aset perusahaan? Tidak kan?"

"Diam kamu! Kenapa kamu selalu main-main dengan urusan sebesar itu. Jika bukan karena Andra yang menggantikanmu, mungkin perusahaan akan kehilangan salah satu investor yang sangat berpengaruh."

Satria mengibaskan tangan. "Kakek jangan terlalu membesar-besarkan. Ada atau tidak adanya investor itu tidak akan mempengaruhi perusahaan kita."

Mata Kakek semakin mendelik mendengar penuturan Satria.

"Bisa-bisanya kamu meninggalkan rapat penting itu dan terbang ke Makassar. Apa aku harus selalu mengingatkanmu bahwa pekerjaanmu itu tidak main-main? Bagaimana aku bisa mempercayakan perusahaan itu kepadamu kalau kelakuanmu tidak pernah berubah? Suka seenaknya sendiri!"

"Kakek, rapat itu ada atau tidak ada aku, hasilnya akan sama, Kek. Mereka tidak mungkin begitu saja meninggalkan FI. Karena itu merugikan bagi mereka sendiri jika terjadi."

Kakek menyipitkan matanya. "Kamu jangan membela diri dengan alasan-alasan karangan kamu. Memang kamu tahu apa saja yang terjadi di rapat itu heh?!"

"Tentu saja, Kek. Makmur Sentosa seperti biasa memainkan dramanya."

"Satria!"

"Sudahlah, Kek. Aku capek, apa Kakek tidak tahu kalau perjalanan kami itu melelahkan? Ini juga gara-gara Kakek, yang meminta kami segera memberikan cucu. Ayo Rea, kita istirahat saja."

Mataku melebar, bisa-bisanya Satria meninggalkan Kakek yang sedang berang.

"Kek, maafkan Satria, sepertinya dia--"

"Ayo, Rea."

Aku belum selesai bicara pada Kakek, Satria sudah menarik paksa tanganku meninggalkan Kakek. Astaga, lelaki ini sangat tidak sopan. Bagaimana kalau nanti Kakek tambah marah?

"Bang, Kakek sedang menakutkan dan kamu ninggalin Kakek gitu aja?" tanyaku begitu memasuki kamar.

"Sudah biasa Rea. Kamu nggak perlu cemas." Satria melepas jaket dan menggantungnya.

"Tapi kalau Kakek tambah marah gimana?" tanyaku lagi mengikutinya.

"Itu nggak akan terjadi. Kamu bisa lihat nanti."

"Tapi yang kamu lakukan itu nggak sopan, Bang. Lagian kamu itu bukannya menghadiri rapat penting malah ke Makassar. Di sana pun kamu nggak melakukan hal penting selain menggangguku."

Tiba-tiba Satria menghentikan langkah membuat aku yang tepat berada di belakangnya membentur punggungnya. Keras euy! Sakit. Satria berbalik dan menatapku tajam. Eh? Dia kenapa?

"Jadi, kamu merasa terganggu?"

Raut muka Satria berubah serius dan seram. Tidak ada seringai yang sering ia tampakan. Pandangannya lurus dan tajam membuat nyaliku menciut seketika.

Aku gelagapan, padahal bisa saja aku menjawabnya langsung seperti biasanya. Apa Satria tersinggung dengan ucapanku?

"Bang, itu--"

"Dengar, Rea. Menyusul istri yang sedang bepergian jauh bersama laki-laki lain di luar kota bahkan pulau, itu lebih penting buatku daripada menghadiri rapat. Terserah pendapatmu kalau memang itu nggak penting."

Aku dibuat tak berkutik oleh kata-katanya. Setelah mengatakan itu, Satria beranjak menuju kamar mandi. Tadi itu? Satria menyeramkan, lebih menyeramkan daripada saat dia marah-marah di Jogja waktu itu. Mendadak ludahku, terasa pahit. Aku pikir Satria nggak akan menaggapi seserius itu.

***

Meja makan hening. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang terdengar. Kakek nggak berniat membuka percakapan, apa lagi Satria. Sepertinya ketegangan mereka masih berlanjut.

"Kakek, Kakek mau nambah nasi lagi?" tanyaku mengisi kekosongan suasana.

"Tidak, Rea. Ini cukup, Kakek sudah kenyang."

"Baiklah." Aku menoleh pada Satria yang menunduk menekuri piringnya. "Bang, mau capcay?"

"Nggak usah, makasih," tolak Satria tanpa mau membalas tatapanku. Haduh kenapa jadi seperti ini? Andra nggak ada. Om Fred dan Tante Martha juga nggak ada. Sebenarnya orang-orang kemana?

"Mmm, Kek? Andra dan Om Fred kemana ya? Kok nggak kelihatan?" tanyaku pelan, takut menganggu Kakek.

"Fred dan keluarganya sudah kembali ke rumahnya. Kalau Andra, mungkin di apartemennya. Biasanya dia akan tinggal kalau Kakek yang meminta."

Oh, jadi mereka sebenarnya punya tempat tinggal masing-masing. Apa? Jadi artinya mansion ini cuma Kakekk dan Satria saja yang menempati bersama para pelayan-pelayan itu sebelum aku datang? Astaga, tempat sebesar ini?

Kalau cuma dua orang yang mengisi, ngapain bikin tempat sebesar ini ya? Buang - buang uang saja. Lagi pula seandainya Kakek nggak punya pelayan yang membantu merawat rumah ini, sebagai menantu dan perempuan satu-satunya di mansion, rasanya aku nggak akan sanggup jika harus membersihkan ruangan yang ada di sini seorang diri. Mendadak ini lucu, membayangkan aku pontang-panting lari ke sana ke mari membersihkan setiap sudut ruangan ini yang nggak ada habisnya. Aku terkikik sendiri, membuat Satria di sampingku menoleh.

"Kenapa kamu tertawa? Apa ada yang lucu?" tanya Satria dingin.

Aku langsung menegakkan punggung. "Nggak ada, Bang. Silahkan lanjut makan saja."

Tanpa peduli denganku lagi, Satria kembali menekuri piringnya.

"Kek," panggilku lagi. Kakek menatapku dengan mata teduhnya. "Kalau Kakek nggak punya pelayan sebanyak ini, sebagai menantu, apa Kakek akan menyuruh Rea membersihkan mansion ini sendiri?"

"Tentu tidak, Rea. Kenapa kamu bertanya begitu?"

"Mansion Kakek sangat luas. Rasanya, Rea nggak sanggup buat membersihkannya," jawabku dengan raut wajah yang kubuat tampak menyesal.

"Nggak akan ada yang nyuruh kamu buat bersihin mansion ini, Rea. Memangnya kamu mau encok di usia muda?" ucap Satria sinis. Tapi anehnya, itu membuat Kakek mengulum senyum dan pelayan di belakangnya menutup mulut dengan tangan agar tidak meledakkan tawa.

Aku mencebik. "Kan cuma seandainya, Bang."

"Kakek nggak akan menyuruhmu membersihkan tempat ini. Kakek hanya ingin kamu fokus untuk memberikan Kakek cucu," ujar Kakek diplomatis namun sanggup membuatku keselek nasi yang sedang aku kunyah.

Cucu lagi? Astaga!

avataravatar
Next chapter