17 Nicko dan Anak Domba

Rumput-rumput tumbuh subur dan sehat. Hijau menghampar laksana permadani. Di tengah padang rumput itu ada sebuah danau buatan. Beberapa pohon besar juga menancap di tanahnya. Langit cerah dengan awan berarak membuat hari ini nampak indah.

Nicko tersenyum senang saat melihat anak-anak domba dan sapinya tampak lahap memakan rumput-rumput itu. Sesekali dia melihat mereka saling berlarian mengejar satu sama lain. Nicko akan tertawa senang demi melihat tingkah hewan-hewan peliharaannya itu.

"Gue nggak paham, ada cowok sekeren lo malah lebih asyik main sama domba dan sapi," komentar seseorang membuat tawa Nicko terhenti.

Dia melirik ke sumber suara, dan kontan berdecak melihat seorang cewek berdiri bersandar pada pohon besar tidak jauh dari posisinya. Cewek itu mendekat, lalu duduk di sebelah Nicko. Mata dengan bulu lentik itu bergerak, mengarahkan pandangan ke arah sapi dan domba di rerumputan.

"Gue nggak nyangka bakal dikalahin sama domba." Cewek itu bersuara lagi.

"Lo ngomong apa, sih, Kar?" tanya Nicko merespons.

"Gue lagi protes karena setiap minta kencan lo bawa gue ke peternakan domba lo," ujar cewek itu sedikit kesal.

Nicko menggeleng. "Gue nggak ada waktu buat kencan. Lagi pula, apa itu kencan? Itu bahasa yang digunakan orang-orang dewasa. Kenapa kita harus ikut-ikutan?"

Cewek itu menggoyangkan rambut panjangnya yang dipasang bando lucu berwarna pink. "Nicko, kita itu udah lima belas tahun. Sah-sah aja kalau mau gunain bahasa dewasa gitu. Cuma butuh waktu dua tahun buat berubah ke angka tujuh belas."

Nicko tidak tertarik dengan ocehan cewek itu. Bahkan sepupunya, Cia, yang usianya di atas mereka tidak secentil dia.

"Dan remaja seumuran kita banyak kok yang pacaran. Jadi, kita bisa pacaran, Nick."

Nicko menggeleng lagi. Cewek bermata biru dengan rambut lurus itu adalah anak teman daddy-nya, Karla. Cewek yang ke mana-mana selalu ngintilin Nicko. Sekolah pun di tempat yang sama. Di mana ada Nicko, maka Karla akan mengiringinya. Karla selalu bilang bahwa kalau dia sudah besar nanti hanya akan menikah dengan Nicko. Itu sangat konyol bukan?

Sebenarnya Nicko jengah selalu diikuti cewek itu, tapi dia juga tidak bisa serta merta menolak. Daddy nggak suka jika dia membuat cewek menangis. Itu menyebalkan. Tapi Karla sangat pintar bermain drama di depan daddy, dan cewek itu tentu saja akan mendapatkan pembelaan.

"Gue nggak mau pacaran. Pikirin aja sekolah elo." Nicko mendebas. Capek memberi pengertian Karla yang keras kepala.

Mata Nicko berbinar saat melihat cewek seusianya sedang memberi susu pada anak-anak domba. Dia itu Maya, anak pekerja di peternakan ini. Jika Nicko datang bersama Serra, biasanya adiknya itu akan bermain bersama Maya. Gadis berkepang dua yang suka menari-nari dengan anak domba.

"Lo tunggu di sini dulu." Nicko yang hendak beranjak langsung ditahan Karla.

"Lo mau ke mana?"

"Mau nyamperin anak-anak domba."

"Lo mau nyamperin anak domba, atau cewek kampungan itu?"

Satu lagi yang Nicko tidak suka dari Karla, mulutnya suka ngatain orang sembarangan.

"Dia Maya, dia bukan cewek kampung." Nicko tidak suka Maya disebut cewek kampung. Dia bergegas menuju anak-anak domba itu.

"Maya!" seru Nicko memanggil.

Gadis itu menoleh, seraya masih sibuk dengan botol-botol susu di tangannya.

"Kak Nicko ada di sini?"

"Ya, aku baru sampai. Sini, aku bantu." Nicko menengadahkan tangan.

Maya tersenyum, dan menyerahkan dua botol susu. Kemudian, dia kembali ke aktivitasnya lagi. Mereka jadi dikerumuni anak-anak domba yang meminta susu.

"Sabar, ya, sabar. Kalian semua pasti kebagian," ucap Maya membuat Nicko tersenyum.

Nicko bisa melihat Maya begitu sayang sama domba-domba di sini. Dia tidak takut kotor. Bermain dengan domba adalah kegiatan sehari-harinya.

"Nick! Kenapa lo ninggalin gue, sih?!"

Suara Karla terdengar begitu dekat. Cewek itu menyusulnya.

"Astaga, kenapa domba-domba ini mendekat ke gue?!" jerit Karla ketakutan.

"Dia minta susu, Kar," jawab Nicko menahan tawa.

"Nicko, please, tolongin gue!" teriak Karla saat domba-domba mulai mengerubunginya.

"Kalau lo teriak gitu, mereka bakal terus deketin lo."

"Apa?"

"Lagian lo kenapa, sih, nyusul gue ke sini. Udah bener lo duduk di sana tadi."

"Gue nggak mau sendirian dan ngebiarin lo berduaan sama cewek kampung itu."

Nicko memutar bola mata. Sementara Karla masih saja jejeritan karena domba-domba itu terus menggodanya.

***

"Gila! Gue nggak mau ke peternakan itu lagi, Nick. Baju gue semua bau domba. Iyuew!"

Di dalam mobil saat mereka pulang, Karla masih saja terus mengomel.

"Apa enaknya sih main sama domba? Mending kita ke mal atau kafe. Lo itu beneran aneh, Nick."

Nicko mengembuskan napas. "Gue kan nggak pernah ngajak lo juga. Lo yang maksa ikut."

"Iya, sih. Abisnya gue mau berduaan terus sama lo." Karla merangkul lengan Nicko. "Kapan, sih, kita pacaran normal kayak orang-orang?"

"Kita itu masih kecil, Kar."

"Oke. Gue terima alasan lo. Tapi saat umur kita tujuh belas, gue nggak mau dengar lo cari alasan lagi buat nolak pacaran sama gue." Karla makin mengeratkan pelukannya pada lengan Nicko.

Nicko hanya menggeleng seraya melempar pandangan ke jalan. Terserah cewek itu saja. Kalau Nicko mendebat urusannya bisa runyam. Jadi, sesenang dia saja.

Satria ada di ruang tengah ketika Nicko sampai. Tumben sekali daddy-nya itu sudah ada di mansion. Biasanya dia pulang malam.

"Sore, Dad."

Satria dengan kacamata bertengger di pangkal hidungnya mendongak. "Halo, Son. Kamu sudah pulang? Dari mana saja?" Dia menoleh pergelangan tangan.

"Aku baru dari peternakan." Nicko mengambil tempat duduk di sofa lain.

"Sama siapa?"

"Karla."

Satria mengangguk. "Apa dia sudah menyukai ternak kamu?"

"Masih sama. Dia jejeritan. Padahal aku nggak pernah memaksanya ikut," jawab Nicko malas. Tangannya terulur mengambil remote teve.

"Kalian kalau mau kencan jangan di peternakan dong. Ke kafe atau—"

"Dad, stop thinking we're dating. We are still too early to do that activity."

Satria tertawa dan mengangkat tangan. Namun, dia tidak bisa menyembunyikan senyumnya. "Okay."

"I'm not the same as you, Dad."

Satria melebarkan mata, tidak merasa salah. "What's wrong with me? Shouldn't the child be like his father?"

"Like Mom said. Dad's women are plentiful. They're everywhere."

Satria makin melebarkan matanya. Rea benar-benar membuatnya jelek di mata anaknya. "Itu nggak sepenuhnya benar."

"Mom nggak mungkin bohong kan? Whatever, the important thing now you love mom, that's all."

Satria mengedikkan bahu, kemudian lanjut menekuri tablet yang dipegangnya. "Sayangnya, your Mom nggak mencintai your Dad, seperti Dad mencintainya."

"That's absolutely impossible." Nicko tak peduli, dia terus menekan remote mencari saluran acara yang bagus. Namun, tidak menemukannya. Akhirnya dia mematikan kembali layar super besar itu.

"Di mana adik-adik?" tanya Nicko berdiri.

"Mereka sedang berada di ruang bermain," jawab Satria tanpa menoleh sedikit pun dari layar gadgetnya.

"Mom belum pulang?"

"Ibumu sudah jadi wanita paling sibuk sedunia. Jadi, dia melupakan keluarganya."

Nicko memutar bola mata. Dia heran dengan orang dewasa. Mulut dan tindakan tidak pernah sinkron. Di satu waktu mulut mereka saling nyirnyir satu sama lain. Namun, di waktu lain bibir mereka akan saling menempel dan mungkin bertukar air liur.

Nicko tidak banyak komentar setelahnya. Sudah menjadi pemandangan biasa ayahnya itu uring-uringan kalau ibunya belum pulang. Jadi, dia tidak kaget. Dia lebih memilih beranjak naik ke atas menuju kamarnya.

____________________

Tes Drive sama karakter Nicko. Sorry, ya, Satria. Gue nggak akan bikin Nicko sebejat elo. Haahha.

Yuk ramaikan teman-teman.

avataravatar
Next chapter