webnovel

ELYANA SEASON 2 : Air Mata Pernikahan

Menjalani kehidupan pernikahan bersama seorang madu bukanlah hal yang mudah. Aku, akan menganggapnya mudah tunggu sebelum Habib akhirnya jatuh cinta pada Farida. Cinta yang tak diinginkan itu datang, memporak-porandakan kehidupan rumah tangga kami beserta perjanjian yang sudah tertulis sebelumnya. Ingat betapa manisnya ucapan Habib ketika berjanji akan menjaga cintanya untuk satu wanita? Bahkan surat perjanjian pernikahan antara Habib dan Farida juga sudah di tanda tangani. Tapi semuanya berubah saat cinta di antara mereka datang. Aku semakin tersisih, hingga Umar datang kembali ke kehidupanku dan membuat kebimbangan pada diri ini. Sejak dulu, Umar selalu menyimpan cintanya untukku. Dia pergi membawa cinta, dan kembali dengan penuh cinta. “Pernikahanku hancur, mas Habib mencintai Farida tanpa sengaja. Apa yang harus kulakukan?” tanyaku pada Umar. “Akhiri saja pernikahanmu dan kembali bersamaku. Kamu tahu, El? Ini adalah sebuah pertanda jika kita memang berjodoh.” Aku terdiam, menahan air mata di pelupuk mata. Pernikahanku tidak lagi di penuhi kebahagiaan, melainkan air mata pernikahan.

Suryani_07 · Urban
Not enough ratings
400 Chs

PISAH RANJANG

Langkah kaki mempertemukanku dan Habib yang sedang menggandeng Farida bersamanya ketika hendak keluar pintu. Ya, sesuai dengan permintaan bunda, kami harus bertukar tempat tidur agar Farida juga bisa merasakan bagaimana rasanya tidur bersama suami.

Sudah setahun lebih sejak dia dan Umar tidak berhubungan badan, aku yakin Farida rindu akan pelukan seorang suami. Dan ini adalah untuk pertama kalinya dalam seumur hidup dia bisa tidur bersama suamiku yang kini sudah menjadi suaminya juga.

"El, tidak apa-apa 'kan?" tanya Habib memastikan bahwa aku baik-baik saja.

Aku hanya menggeleng lemah lalu melewati mereka dan pergi menuruni anak tangga. Kamar Farida letaknya di bawah sehingga aku harus turun untuk sampai ke kamar tersebut. Dalam hati kecilku masih merasa tak rela jika harus membiarkan Habib tidur bersama perempuan lain selain aku, tapi apa boleh buat? Farida juga istirnya sekarang dan dia berhak menerimanya.

"Lho, Ibu mau kemana? Kok jam segini masih belum tidur?" tanya Mira yang tak sengaja berpapasan denganku di tangga.

"Saya mau tidur sama bunda malam ini, biar mas Habib bisa tidur dengan Farida," jawabku apa adanya.

"Hah? Tap—tapi bukannya selama ini—"

"Kamu antarkan susunya ke kamar, ya? Pastikan Rizky sudah tidur baru setelah itu kamu bisa keluar. Jangan ganggu mas Habib dan Farida juga, kasihan mereka pasti butuh istirahat," ucapku menyela perkataan Mira dan lekas pergi.

Kurasa Mira sedang kebingungan melihat aku dan Habib yang mendadak pisah ranjang. Saat makan malam tadi 'kan dia tidak ada bersama kami dan memilih untuk mengurus baby Rizky yang sedikit rewel dari biasanya.

Jadi, mungkin saja dia tidak tahu kalau bunda memintaku untuk tidur terpisah dengan Habib malam ini. Terlepas dari semua itu, aku hanya bisa menuruti perintah bunda, karena beliau orang tua satu-satunya yang kupunya saat ini.

Begitu sampai di kamar, aku langsung di sambut dengan tatapan bunda yang tampak menanti kedatanganku sambil duduk di tepian kasur. Berjalan menghampirinya, aku pun duduk dan tersenyum.

"Mas Habib dan Farida sudah di kamar, mungkin sebentar lagi mereka tidur," kataku.

"Kamu tidak keberatan dengan hal itu, bukan?"

"Ah, sama sekali tidak. Farida juga istrinya mas Habib, jadi dia berhak tidur bersama suaminya."

"Baguslah kalau kamu sadar. Bunda tidak pernah meminta Habib untuk menikahi Farida dan bertanggung jawab atas kehamilannya, kalian sendiri yang meminta. Jika sudah menikah, maka Farida juga harus tetap mendapatkan haknya sebagai seorang istri. Mau tidak mau, suka tidak suka, itu sudah menjadi hukum mutlak yang tidak bisa di bantah," tutur bunda seolah memberi amanah padaku.

Dengan berat hati aku pun mengangguki ucapannya. Tenang, El. Ini semua sudah menjadi keputusanku dan aku juga harus siap menanggung resiko apapun. Keputusan yang sudah di ambil tidak bisa di rubah, itu hukum alamnya.

Sebelum tidur, aku menyempatkan diri untuk melepas hijab di depan cermin. Sekilas aku memperhatikan perutku yang masih rata. Mungkin sudah sedikit buncit, tapi tidak akan terlalu kelihatan karena usia kandungan yang masih memasuki enam minggu.

"Bunda dengar dari Mira, kamu juga sedang hamil, ya?" tanya bunda yang ternyata memperhatikanku.

"Iya, Bunda. Alhamdulillah."

"Berapa usia kandunganmu?"

"Memasuki enam minggu," jawabku.

Bunda mengangguk. Perbedaan usia kandunganku dan Farida hanya di lewati beberapa minggu saja. Dia dua puluh satu minggu, sementara aku baru enam minggu. Memang terlampau jauh, tapi setidaknya kami masih bisa merasakan hamil berbarengan sama seperti tahun lalu.

Teringat aku dimasa-masa awal kehamilanku, semua anggota keluarga merayakannya dengan menginap bersama di rumah kecilku dan Habib. Semua orang, termasuk ayah dan bunda juga. Waktu itu Azka baru saja berulang tahun yang ke-tujuh.

Dan sekarang Azka juga sudah hampir melewati usianya yang ke delapan. Tak terasa memang, tapi waktu memanglah sesingkat itu.

"Bunda lupa, kapan terakhir kali kamu hamil?"

"Sekitar satu tahun yang lalu, Bunda. Dan aku keguguran saat peristiwa penembakan di lampu merah," jawabku sambil berjalan mendekatinya.

Bunda tampak sedih ketika mengingat peristiwa berdarah itu yang berujung pada awal mula kehidupan Farida yang di kejar-kejar rasa takut seperti buronan. Dalam waktu yang hampir bersamaan pula, Umar menceraikannya dan pergi ke Aceh untuk memulai hidup baru.

Itu artinya ini sudah satu tahun sejak Umar pergi, dan sampai sekarang aku tidak melihat atau mendengar kabar tentangnya lagi. Kedua orang tua Umar juga tidak berkomunikasi lagi dengan kami, semuanya menjadi asing seketika.

"Kalau Bunda boleh tahu, apa alasan kamu membiarkan Habib menikahi Farida?" tanya bunda lagi ketika kami sudah berebahkan diri di tempat tidur.

"Waktu itu Habib juga pernah menikahi Aisyah, dan semua itu dia lakukan untuk melindungi Aisyah dari perlakuan kejam ayah tirinya. Meski pernikahan itu palsu, tapi aku sudah sering merasakan sakit hati, jadi kurasa apa yang Habib lakukan dengan Farida sekarang tidak ada apa-apanya. Karena aku tahu, mas Habib hanya akan mencintaiku," jawabku tenang.

Bunda kemudian memiringkan tubuhnya untuk bisa menghadapku. "Bagaimana jika Habib pada akhirnya jatuh cinta pada Farida? Apa kamu rela?"

Pertanyaan itu cukup membuatku terkejut, tapi aku sama sekali tidak takut atau khawatir. "Sudah hampir dua tahun aku menjalani rumah tangga dengan Habib, semuanya tetap baik-baik saja. Bahkan sebelum aku mencintainya pun, dia tetap berusaha menjaga hatinya untukku. Sebaik apapun Aisyah, dia masih menyimpan cintanya untukku. Lalu apa yang kutakutkan dari seorang Farida? Mas Habib bahkan menikahinya karena permintaanku."

"Tapi bukan berarti tidak mungkin 'kan, kalau Habib pada akhirnya mampu mencintai Farida dalam tasbih cintanya yang selalu dia agungkan padamu?"

Kenapa bunda berkata seperti itu? Kenapa aku merasa seolah-olah bunda tengah membicarakan masa depanku yang hancur apabila Habib benar-benar jatuh cinta pada Farida? Tidak, ketakutan itu tidak boleh sampai ada di hatiku. Itu hanya akan membuat rumah tanggaku dan Habib kacau nantinya.

"Sejak awal pernikahan, Habib sama sekali tidak menyukai Farida. Aku percaya sepenuhnya pada suamiku, dia tidak akan mengecewakanku," ucapku penuh keyakinan.

"Baik, kita lihat saja nanti," balas bunda santai sambil kembali memposisikan tubuhnya menghadap ke langit-langit kamar.

Habib hanya mencintaiku, dia hanya milikku, dia selalu menjadi imamku, dia memberikan seluruh kasih sayangnya padaku, dia tidak akan pernah mengkhianatiku!

Tanamkan kata-kata itu dengan baik di dalam lubuk hatiku, jangan sampai ucapan bunda membuatku ragu. Iya, aku percaya Habib hanya milikku seorang. Pernikahan ini hanya akan bertahan satu tahun saja, dan setelah itu Habib akan kembali menjadi milikku seutuhnya.

"Tapi ... bagaimana jika Habib membagi cintanya?"