3 SALAH LAMAR

Sore ini, aku pergi jalan-jalan bersama Farida di kebun teh. Karena ayah dan bunda tinggal di Bandung, jadi kami sering berkunjung ke sini untuk sesekali menikmati hamparan kebun teh yang begitu luas.

Tidak hanya aku, ada bang Fahri, mbak Anisa dan juga Umar yang ikut jalan-jalan. Ya, setidaknya ini bisa menjadi penghilang stres setelah menghadapi kejamnya dunia. Salah satunya kekejaman yang menyiksa batinku saat ini.

Apa lagi kalau bukan kemesraan Farida dan Umar? Sejak awal mereka datang, aku selalu melihat kemesraan mereka. Memang ini salahku, menjadi obat nyamuk antara dua pasangan itu. Apalagi yang bisa aku lakukan? Bermain dengan Azka mungkin menjadi pilihan yang tepat.

"Ammah, Ammah kapan punya suami seperti Ammah Farida?"

Deg! Pertanyaan itu membuat seluruh jantung ini bergetar. Bahkan jika bisa, serambi kanan dan kirinya juga ikut bergoyang. Pertanyaan yang tidak seharusnya keluar dari mulut Azka yang masih berusia enam tahun itu, rasanya sulit di jawab.

'Jika saja Umar tidak menikahi Farida, mungkin dia sekarang ada di sisiku, bersama Azka' ucapku membatin.

"Ammah?"

"Iya?"

"Ammah melamun?"

Aku menggeleng. "Tidak Azka, ada apa?" tanyaku.

"Azka mau—"

"Aah.!"

Aku terperanjat setelah mendengar suara teriakan dari arah belakang, tempat dimana bang Fahri, mbak Anisa, Farida dan Umar sedang berswafoto. Suara itu mirip seperti suara Farida, untuk itu aku langsung menghampiri mereka.

Aku dan Azka berlarian mendekati mereka. Tampak bang Fahri dan mbak Anisa sedang berjongkok di tengah rimbunnya kebun teh. Aku semakin penasaran dan mempercepat langkah kaki ku menuju mereka.

Dan ... astaghfirullah! Farida sudah terduduk lemas di tanah dengan betisnya yang tampak seperti bekas gigitan ular. Umar tampak sangat panik, dia langsung menghisap bisa ular itu dari betis istrinya hingga sebagian darah kotor bisa keluar.

"Umar, ikat kaki Farida dengan sapu tangan ini," kataku seraya memberikan sapu tangan putih.

Ayolah, tangan! Jangan gugup, kenapa tanganku jadi bergetar seperti ini? Umar meraih sapu tangan itu dan langsung aku lepaskan. Aku tidak mau menatapnya terlalu lama, itu bisa membuat hati ini semakin perih.

Tujuanku memberikan sapu tangan itu agar Umar bisa mengikat kaki Farida, supaya racun dari bisa ular tadi tidak menyebar ke tubuhnya.

"Ayo, cepat bawa Farida pulang! Mbak akan telpon dokter untuk datang ke rumah," kata mbak Anisa.

"Kamu bisa jalan?" Sebuah pertanyaan konyol keluar dari mulut Umar.

"Kamu ini bagaimana? Dia baru saja di patuk ular, mana mungkin dia bisa jalan," sungut bang Fahri pula.

Umar kelihatan ragu. "Lalu bagaimana caranya kita membawa Farida pulang?"

"Tentu saja kamu gendong. Sudahlah, gendong dia!" titah bang Fahri.

Apa? Gendong? Tidak, aku tidak sanggup melihatnya. Umar memang sudah menikah dengan Farida, adikku. Tapi, aku masih belum bisa menerima pernikahan itu seutuhnya.

Aku bahkan tidak bisa menjelaskan perasaan apa yang aku rasakan saat ini. Sebut saja aku manusia yang sedang kecewa . Melihat orang yang seharusnya menaruhku dalam gendongannya, tapi malah menggendong orang lain.

Bahkan Umar tidak ragu lagi, dia langsung membopong Farida ke dalam mobil dan melewatiku begitu saja. Rasanya, terlalu banyak luka di hati, sampai tak ada ruang lagi untuk terluka kembali.

'Apa kamu puas bahagia dengan merenggut kebahagiaan orang lain, Farida?'

Sesampainya di rumah, Umar kembali menggendong Farida masuk ke kamar mereka. Bunda dan ayah ikutan panik, mereka mengerumini Farida yang sudah tidak sadarkan diri.

"Farida, bangunlah! Aku mohon, bangun!" ucap Umar lirih sambil mengelus pipi Farida.

Aku memilih keluar, tak sanggup kalau harus berlama-lama melihat adegan Umar dan Farida. Yang ada api cemburu semakin berkobar. Air mata menetes seiring langkah kaki ini keluar kamar. Jatuh, setetes demi setetes.

"El, kamu tidak mau masuk?"

"Tidak, Mbak. Aku di sini saja," jawabku lembut. Mbak Anisa mengangguk lalu kembali masuk ke kamar dengan membawa seorang dokter wanita.

Agak lama dokter memeriksa Farida. Aku tidak tahu apakah keadaannya serius atau tidak. Tapi saat kaki ini hendak melangkah kembali masuk, dokter sudah keluar. Katanya, Farida baik-baik saja, sebab itu bukan bisa mematikan.

"Alhamdulillah, Farida tidak apa-apa. Padahal Bunda sudah takut tadi," kata bunda mengelus dada.

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan itu. Setelah semua orang bubar, aku pun ikut bubar. Tapi Umar memanggilku. Dia menutup pintu kamar agar Farida tidak melihat kami.

"Kita perlu bicara," kata Umar.

"Apa yang perlu di bicarakan?"

"Kita akan bicara, tapi bukan di sini."

Sebenarnya aku malas bicara pada Umar. Sebab aku jadi semakin susah untuk melupakannya jika terus-terusan ada dia. Tapi Umar memaksa, dia membawa ku ke samping kolam renang dan aku mengikutinya. Sebelum kami bicara, aku sudah mengelap jejak air mata di pipi. Aku takut dia tahu kalau aku rapuh melihatnya bersama Farida.

"Apa yang mau kamu bicarakan? Cepatlah, aku tidak mau ada salah paham jika kita bicara berduaan seperti ini," titah ku.

"Aku pernah bilang, jika aku akan melamarmu hari itu, 'kan?" Aku terdiam.

"Tapi sekarang kamu menikahi Farida, bukan aku," jawabku ketus.

Sesungguhnya, dibalik wajah datar ini, ada tangis yang ingin pecah. Tapi aku tahan sampai bibir bergetar hebat.

"Itu semua karena kesalahpahaman. Umi dan abi tidak tahu kalau wanita yang kumaksud itu kamu. Saat lamaran, mereka menyebut nama Farida. Dan waktu itu, Farida juga mengaku kalau dia menyukaiku. Aku tidak berani menolak, akhirnya pernikahan pun terjadi," jelas Umar menatapku.

Aku yang di tatap memilih untuk membuang muka. Aku tidak sanggup kalau harus melihat wajahnya terlalu lama. Tanpa ku sadari, air mata ku kembali luruh. Sial, kenapa aku tidak bisa berpura-pura?

Aku cepat-cepat menghapus air mataku dengan kasar. "Ah, tidak apa. Kamu memang pantas untuk dia, dan dia juga baik untukmu. Biarlah aku menyebuhkan luka ini," jawabku dengan senyum getir.

"Maafkan aku, kalau saja Allah menciptakan waktu yang berjalan dua arah, maka aku akan kembali ke masa lalu untuk menghapus semua penyesalan ini."

"Umar, disini aku selalu menampakkan senyum padamu, agar kamu tahu bahwa aku selalu tegar. Tapi sejatinya hatiku ini rapuh," ucapku dengan berderai air mata. "Mungkin Allah hanya ingin mempertemukan kita, tapi tak ingin menyatukan."

Aku langsung pergi tanpa basa-basi lagi. Aku masuk ke kamar, mengunci pintu dan menangis sejadi-jadinya dengan bantak menutupi wajah. Kata-kata yang Umar ucapkan begitu menyayat hati. Harapan yang dia beri seperti pungguk yang merindukan bulan.

Bagaimana diri ini bertingkah biasa saja, jika senyumannya saja membawa kenangan yang tak bisa kulupa. Umar layaknya bintang sejati yang terus bersinar di langit malam. Sementara aku hanyalah kerdil yang ingin mati, mengharap cintanya yang tak kunjung kudapatkan.

'Mudah bagimu berpaling dan mencari penggantiku yang malang, Umar. Sementara aku terpuruk sendiri meratapi duniaku yang begitu kelam

avataravatar
Next chapter