1 PERNIKAHAN ADIKKU

"Aqbil zuajuh wazuajuh Farida Nur Hasanah binti Amran bimahr hifz thalathyn juz' min al-qur'an wamajmuet min 'adwat alsalat, tadfae naqda!"

Hati ku bergetar hebat saat mendengar kalimat itu terlontar dari bibir Umar. Air mata menetes membasahi pipi dengan begitu deras hingga tak bisa aku tampung lagi. Ucapan qabul yang seharusnya menyertakan nama ku kini malah berubah menjadi nama Farida, adik kandungku sendiri.

Mbak Anisa menggenggam tanganku dengan erat, seolah memberi ketegaran pada hatiku yang sedang hancur. Rasanya, hati ini tak kuasa menahan beban. Melihat Fairda keluar dari kamar dengan mengenakan gaun pengantin membuat hati ini semakin merasa porak-poranda.

"Yang kuat, El. Mbak yakin, kamu pasti bisa melewati semua ini," kata mbak Anisa pula berbisik di telinga ku yang tertutup khimar.

Aku mengangguk pelan, meski rasanya kepala ini ikutan berat sampai aku merasa tidak sanggup lagi menopangnya. Sesaat kemudian, aku merasa kegelapan menderaku. Suara riuh terdengar samar di telinga ku hingga aku benar-benar tidak sadarkan diri.

Kelopak mata ku berkedip berkali-kali dan berusaha meraba tempat yang aku tiduri. Saat mata ku semakin terbuka lebar, aku bisa melihat bunda ku duduk di sebelah ku sambil memandangi wajah ku. Dia tersenyum setelah aku berhasil duduk dan bersandar di kepala ranjang.

"Kamu tidak apa-apa, El? Apa masih pusing?" Bunda mengelus tanganku yang terasa hangat.

"El tidak apa-apa, Bunda. Bagaimana dengan akad nikah Farida?" tanya ku pelan sambil memegangi kepala yang berat karena sanggul.

"Akad sudah selesai, Farida ada di kamarnya bersama Umar sekarang."

Bibirku kembali melengkung ke bawah saat mendengar nama suami adik ku di sebut. Ada sebuah rasa sakit yang menghujam. Ketika menyadari lelaki itu adalah seseorang yang sangat aku dambakan menjadi pendamping hidupku selama ini.

Seorang lelaki yang begitu bersahaja, memiliki ilmu agama yang mumpuni. Anak seorang pengasuh pondok pesantren ternama di kota kelahiranku. Keshalihannya membuatku telah jatuh cinta padanya, ketika kami pertama kali bertemu dalam acara pengajian remaja yang diadakan setiap akhir pekan di masjid kompleks perumahan tempatku tinggal.

Umar, begitulah namanya di sapa. . Cara dia bersikap kepada lawan jenis sangatlah santun. Tak pernah jelalatan meskipun ia sedang berbicara di depan forum. Juga tak pernah kulihat dia berjalan dengan wanita manapun kecuali ibu atau saudara perempuannya. Begitu taatnya dia menjalani syariat agama.

Mungkin itulah hal utama yang membuatku jatuh cinta padanya. Hanya saja aku tak berani mengutarakannya pada siapapun termasuk pada kedua orang tuaku. Aku mengaguminya dalam diam, mengungkapkannya lewat doa-doa malamku. Memintanya pada Sang Maha Pemilik Hati. Meskipun akhirnya aku harus menerima kenyataan bahwa dia bukan untukku.

Ya, baru beberapa bulan aku berada di kota metropolitan ini untuk menyelesaikan S2-ku, tiba-tiba saja malam ini aku di kejutkan oleh berita telah di khitbahnya Farida oleh Umar. Berita yang seharusnya membuatku bahagia karena adik kesayanganku telah bertemu dengan jodohnya, harus menjadi berita duka untukku.

Kuusap air mata yang perlahan turun membasahi pipiku. Berusaha untuk tegar menerima semua kenyataan. Bahwa jodoh, rezeki, dan maut hanya Allah yang menentukan. Walaupun sebelumnya aku sudah bertekad, akan memberitahu keluargaku tentang apa yang kurasakan setelah aku menyelesaikan kuliahku. Tapi ternyata, aku terlambat.

"Tapi, kenapa Umar harus mengucap qabul dengan bahasa arab? Padahal itu adalah impianku sejak dulu, menikah dengan ijab-qabul berbasa arab. Menurutku itu sangat romantis!" gerutu ku dalam hati.

Aku kembali mengingat ini adalah malam Jum'at. Kenapa harus malam Jum'at? Apa Farida dan Umar mau langsung menjalankan sunah rosul? Astaghfirullah, apa yang aku pikirkan? Seharusnya aku tidak perlu berpikiran jauh ke sana. Lagi pula, jika itu memang benar. Aku tidak punya hak apapun untuk mengganggu mereka.

"El, makanlah makananmu. Bunda ingin ke kamar Farida sebentar," kata bunda lembut.

"Iya, Bunda," jawab ku patuh.

Bunda keluar dan menutup pintu dengan rapat. Aku melirik jam dinding yang ternyata sudah pukul sebelas malam. Apa aku pingsan selama itu?

Suara ketuka pintu kembali membuat pandangan ku teralihkan. Dari balik pintu, ada kepala Fahri yang menyembul masuk.

"Boleh Abang masuk?"

"Masuk aja, Bang," jawab ku. Padahal, biasanya kakak lelaki ku itu selalu masuk kamar tanpa ijin.

Iya, Fahri adalah satu-satunya anak laki-laki di keluarga ku. Tapi dia adalah anak angkat ayah dan bunda. Meskipun begitu, aku sangat menyayanginya karena dia juga selalu memperlihatkan rasa sayangnya pada ku.

"Elyana, apa kamu menangis?"

Aku mengusap cepat jejak air mata di bawah mata. Aku rasa itu percuma karena Fahri melihatnya dengan jelas.

"Nggak, Bang," jawab ku berkilah.

"Lalu itu apa?" Fahri menunjuk sudut mataku.

Aku tertawa kecil. "Kelilipan doang kok," kilahku.

"Ooh ..." cuma itu yang keluar dari mulutnya meskipun aku tahu ia tak percaya dengan jawabanku.

"Abang mau pesen tiket, kapan kamu bisa ambil cuti kuliah?"

Aku terdiam, memainkan ponsel yang ada di tanganku. Lalu kupandang wajahnya. "Bolehkah aku tidak ikut pulang?" suaraku sedikit bergetar.

"Kenapa? Ada alasan yang kiranya bisa abang terima?"

Kembali kualihkan pandanganku pada ponsel di tanganku. "Aku ... aku merasa tidak sanggup, Bang."

"Tidak sanggup karena apa? Apa karena ... Farida lebih dulu menikah daripada kamu?" tebaknya dengan nada hati-hati.

Aku menggeleng. "Bukan," sahutku berusaha menahan air mata yang ingin segera tumpah.

"Lalu apa?"

Lagi-lagi aku menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku ... aku hanya sedang tidak bisa meninggalkan jadwal kuliahku, Bang."

"Apa itu lebih penting daripada adikmu?"

Kembali terdiam dan berusaha mencari jawaban yang bisa membuatku terlepas dari acara itu.

"Elyana?" Fahri menyentuh bahuku. "Ada sesuatu yang abang belum tahu tentangmu?" tanyanya penuh selidik.

Aku menghela napas, terus berusaha agar air mataku tidak tumpah di depan Fahri. Lalu menggeleng pelan.

"Aku abangmu, aku yang membersamaimu sejak kecil. Jadi kamu tidak bisa berbohong padaku."

"Tidak ada yang kusembunyikan darimu, Bang. Sungguh!" Aku tetap bersikukuh. Mencoba meyakinkan lelaki di depanku.

"Apa karena Umar?"

Aku terperanjat. Menoleh padanya yang ternyata sedang menatap tajam padaku.

"Apa maksud abang?" gugup rasanya saat Fahri berusaha membuatku jujur.

"Abang rasa kamu paham maksud abang."

Kutelan saliva dengan rasa yang tercekat di tenggorokan. Lalu membuang pandangan dari tatapan Fahri. "Abang mengada-ngada, apa hubungannya dengan Umar?" Kilahku menutupi.

"Kamu pernah berharap lebih pada lelaki itu bukan?" Aku bergeming.

"Kenapa tidak pernah bicara pada abang?"

Tak tahan lagi aku menggamit lengannya, menjatuhkan kepalaku di bahunya. Lalu menumpahkan tangis yang tertahan sejak tadi. Fahri membiarkan bajunya basah oleh air mataku. Karena akhirnya ia sudah tahu dilema seperti apa yang sedang melanda adik perempuannya ini. Meskipun ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untukku saat ini.

avataravatar
Next chapter