4 PERJODOHANKU DAN HABIB 2

Pagi ini aku sarapan dengan wajah yang sudah tampak lebih baik. Wajah saja, tapi hatiku tidak. Aku tidak melihat Umar di meja makan, mungkin dia sedang menemani Farida sarapan di kamarnya.

Tapi ternyata aku salah, Umar dan Farida turun sesaat setelah sarapan di mulai. Siapkan hati, siapkan mental. Mereka akan kembali membuatku panas pagi ini.

Ketika melangkah di depanku, Umar terlihat biasa saja. Namun apalah daya hati ini yang selalu mengaguminya tanpa suara. Aku rela hidup dalam pijar lenteranya, meskipun aku tau suatu saat dia akan memadamkannya.

"Nanti siang, Habib dan keluarganya akan datang kemari. Kamu sudah siap?" tanya ayah membuka percakapan pagi ini.

"Iya, InsyaAllah siap," jawabku sambil mengangguk pelan.

"Cie ... ada yang mau di lamar nih," ledek bang Fahri dengan senyum menggoda.

Dia kebiasaannya memang selalu begitu. Suka sekali meledek adiknya yang kadang sedang tidak mood. "Apaan, sih!" sewotku.

Semua orang tertawa kecuali aku dan Umar. Aku tidak mau seperti ini, aku dan Umar bagaikan dua insan yang tengah perang dingin. Mungkin lebih tepatnya perang hati.

"Farida, bagaimana keadaanmu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Sudah lebih baik, Mbak. Mas Umar menjagaku semalaman, dia juga selalu memberikan obat tepat waktu. Jadi aku cepat sembuh," jawab Farida dengan senyum manisnya.

Ah, sepertinya aku salah bertanya.

***

"Jika memang kau tidak mau mengajakku terbang tinggi menggapai awan, janganlah memberiku harapan dan menjatuhkanku sebelum lepas landas."

Mungkin itu kata-kata yang bisa mewakilkan perasaanku pada Umar. Apa aku salah berharap padanya setelah dia mengatakan bahwa dia akan melamarku? Siapa sebenarnya yang salah dalam hal ini?

[El, cobalah untuk mengerti. Umi dan abi ku tidak tahu apa-apa, sehingga mereka salah lamar]

Heh, salah lamar katanya? Aku rasa dia memang mencari-cari alasan untuk bisa menikahi Farida. Dia tidak tahu betapa hancurnya hati ini, betapa remuk dada ini melihat apa yang seharusnya menjadi milikku kini menjadi milik orang lain.

Aku menaruh ponsel di nakas dan kembali menikmati buku bacaan yang sudah berkali-kali aku baca. Aku memang menyukai buku novel, terutama novel islami. Kisahnya begitu menarik dan sangat mengharukan. Berbeda dengan kisahku di dunia nyata yang selalu berjalan tidak sesuai keinginan.

"El? Bunda boleh masuk?"

Sedang asik membaca, tiba-tiba kepala bunda menyembul dari balik pintu. "Boleh bunda, masuklah!" jawabku.

Wanita bernama Husnah ini duduk di sebelahku lalu tersenyum. Aku menutup buku dan duduk berhadapan dengan bunda. Sepertinya ada sesuatu yang ingin bunda sampaikan.

"Ada apa, Bunda?" tanyaku lembut.

"Bunda dengar dari bang Fahri, katanya kamu pernah menyukai Umar. Apa itu benar?"

Bukan 'pernah' bunda, tapi 'masih'. Aku masih menyukai lelaki itu, dan entah kapan rasa itu akan hilang. Jika saja matahari tak pernah terbenam, mungkin cinta ini tak pernah padam.

"Iya, Bunda," jawabku jujur. Setitik air mata menggumpal di sudut mata.

"Tapi, kenapa kamu tidak pernah cerita pada Bunda tentang hal ini?"

"Karena aku pikir, Umar akan melamarku hari itu. Dia sendiri yang bilang akan melamarku, Bunda. Tapi ternyata dia salah orang."

Bunda mengambil kedua tanganku dan menggenggamnya erat. Raut wajahnya berubah sendu, seolah ada penyesalan yang tergambar.

"Tapi kamu tidak apa-apa, 'kan? Bunda tidak berani menceritakan ini pada Farida, karena dia kelihatan sangat bahagia. Bunda tidak mau merusak kebahagiaannya," tutur bunda menatap dengan tatapan sendu.

Aku tersenyum, memperlihatkan sandiwara di balik hati yang retak. "Tentu saja aku tidak apa-apa. Lagi pula aku tahu, Allah tidak akan mengambil sesuatu yang salah. Aku yakin, Allah punya rencana lain di balik semua ini," jawabku sok tegar.

Aku tak punya rupa cantik yang bisa menjadi pelengkap dalam hidup Umar. Namun aku juga tak mampu mencintainya dengan cara yang cantik agar bisa bersanding dengannya. Ingin ku abaikan pedih sakit sisa umurku, ketika jatuh dalam heningnya hidup Umar.

"Iya, Bunda yakin Habib adalah jodoh yang Allah berikan untuk mu. Sekarang kamu bersiaplah, sebentar lagi Habib dan keluarganya akan datang." Aku mengangguk dan membiarkan bunda keluar dari kamarku.

Baru saja pintu kembali tertutup, tapi bunda kembali membuka pintunya. "Oh, ya. Tolong jangan ceritakan tentang masa lalumu dan Umar pada Farida, Bunda tidak mau di terluka. Tolong jaga perasaannya, ya?" pesan bunda.

Aku mengangguk. Ya, tentu saja, semua orang sibuk menjaga perasaan Farida, tapi mereka tidak tahu betapa porak-porandanya perasaanku. Hampir setiap hari harus melihat kemesraan mereka, entah itu hanya sandiwara Umar saja, atau memang dia sudah melupakanku.

Rasa cemburu itu menyesakkan dada, menyayat hati, dan membungkus rasa sakit ini seperti labirin tanpa jalan keluar.

***

Di ruang keluarga, kami semua berkumpul. Seorang pemuda dengan prawakan tinggi, putih, dengan sedikit brewok dan juga tampan itu tampak duduk dengan wajah tertunduk. Aku rasa dialah yang namanya Habib, sebab dia satu-satunya orang yang tidak aku kenali.

Aku datang dengan membawa kue dan camilan dari dapur. Aku tidak berani memandang wajahnya saat menaruh kue itu di atas meja, takut dia marah.

"Ini yang namanya Elyana?" tanya wanita berkerudung cukup besar dan aku rasa itu umi-nya Habib.

"Iya, Buk. Bagaimana? Cantik, bukan?" sahut bunda.

"Cantik sekali." Wanita behijab hitam itu berpindah posisi dan duduk di sebeleah kananku, sementara di sebelah kiri ada bunda. "Ini Habib, anak Umi. Bagaimana? Tampan, kan?" tanyanya.

Aku melihat kepada sosok yang di tunjukkan. Dia tampak senyum malu-malu, seperti anak SMA yang sedang PDKT.

"Umi, jangan seperti itu," pungkas Habib malu.

"Lihat, tuh! Habib malu-malu, tapi nanti kamu akan lihat sikap dia yang sebenarnya setelah menikah." Perkataan umi barusan membuatku terkekeh geli. Melihat Habib duduk diam seperti itu, rasanya tidak mungkin jika dia bisa bertingkah jahil.

"Memangnya aslinya Habib seperti apa, Umi?" tanyaku.

"Dia itu manja, kadang jahil, kadang juga suka nakal. Pokoknya kalau kamu sudah menikah sama dia, kamu pasti tidak akan bosan. Soalnya dia asik orangnya, meski kadang suka menyebalkan," bisik umi Habib dengan mimik wajah yang menggelitik.

Aku sekali lagi terkekeh mendengarnya. Bunda yang ada di sebelahku juga ikut menahan senyum. Sementara ayah asik mengobrol dengan abinya Habib. Bang Fahri dan mbak Anisa tidak ada, aku rasa mereka sedang keluar.

Sementara itu, Farida dan Umar hanya menyimak sambil sesekali tertawa. Hanya saja, tawa yang berderai dari Umar terdengar lain di telingaku. Seperti ada sesuatu yang dia tahan.

"Umi, jangan menyebarkan aib!" sungut Habib, lagi-lagi membuatku tertawa.

Tidak kusangka, pertemuan pertamaku dan keluarga Habib akan menjadi seperti ini. Dia juga kelihatannya asik dan bisa di ajak bercanda, sama seperti bang Fahri.

"Jadi, bagaimana, Bib? Apa kamu mau menerima perjodohan ini?" Pertanyaan ayah membuat suasana hening. Tawa yang tadi aku keluarkan kembali diam.

Aku menatap Habib dengan sudut mata. Dia sama sekali tidak melihatku, sepertinya dia sangat menjaga pandangannya dari lawan jenis yang bukan mahram.

"Bismillahirrahmanirrahim ... InsyaAllah saya bersedia menikahi Elyana."

Hati ini begetar seiring dengan ucapan hamdalah yang saling bersahutan. Mereka semua tampak senang, tapi kenapa aku tidak? Langkah ini sudah ku ambil, dan mau tidak mau aku harus melanjutkannya untuk bisa mencapai garis finish.

"Kalau begitu, El naik dulu. Assalamu'alaikum," pamitku setelah merasa keberadaanku tidak lagi di perlukan.

avataravatar
Next chapter