9 IYA, SAYANG!

Aku menggeliat, tatkala sayup kudengar lantunan ayat-ayat Allah begitu merdunya di lafadzkan. Tak kutemukan Habib di sampingku. Melirik jam di dinding masih pukul tiga dini hari. Terlihat Habib tengah khusyuk dengan Alqur'an di tangannya. Duduk di atas sajadah.

Padahal dia baru tidur tiga jam saja, bahkan mungkin kurang. Karena aku tak tahu sejak kapan dia bangun. Aku lupa, dia kan seorang hafidzh. Tentu saja ini waktunya untuk memuraja'ah hafalan dan mungkin juga ini sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu.

Lalu aku bangkit dan turun dari tempat tidur. Aku mendekatinya dan tanpa meminta izin menyambung tidur di pangkuannya. Habib sedikit terkesiap dengan tingkahku. Tapi ia tampak tak terganggu, meneruskan bacaannya sambil tangan kanannya mengusap-usap kepalaku hingga tidurku kembali nyenyak dibuai suara merdunya. Rasanya adegan ini lebih romantis dibanding film Korea.

***

Aku memasak menu sarapan pertama kami. Tidak ada yang istimewa, hanya ayam goreng dan sambal tempe. Aku tidak tahu makanan kesukaan Habib itu apa, jadi aku masak saja apa yang ada di kulkas.

Aku membuat segelas teh hangat untuk Habib yang sebentar lagi pulang dari masjid. Habib sangat rajin sholat ke masjid, apalagi jarak masjid yang tidak jauh dari rumah kami, memudahkan dia untuk selalu sholat berjama'ah.

Bagi kaum laki-laki, shalat berjama'ah di masjid itu memang di utamakan. Seperti dalil dalam QS. An-Nur ayat 36-37. "Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah di perintahkan untuk dimuliakan dan di sebut namanya di dalamnya, laki-laki yang tidak di lalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan semahyang, dan (dari) membayar zakat. Mereka takut kepada suatu yang (di hari itu) hati dan pengelihatan menjadi goncang."

"Lagi buat apa?"

Aku terlonjak saat mendapati Habib sudah ada di belakang ku.

"Wa'alaikumssalam," sindir ku pada Habib yang tak mengucap salam.

"Assalamu'alaikum, istriku. Lagi buat apa?"

"Teh, Mas mau, 'kan?" Habib mengangguk.

Aku memberikan teh itu padanya. Dia dengan senang hati menerima pemberian dari ku. Aku menunggu reaksinya setelah minum teh buatan ku. Aku takut, tehnya kurang manis atau justru kemanisan. Karena tadi belum sempat aku cicipi juga.

"Kok nggak manis?" tanya Habib menatap ku bingung. Tuh, kan. Mau bilang apa aku?

"Eum ... masa, sih?" tanya ku seolah-olah tak percaya.

"Iya, cobalah," katanya menyodorkan teh itu pada ku.

Ah, aku rasa Habib bercanda. Setelah aku cicipi, teh itu manis. Dan aku rasa tidak berlebihan juga gulanya. Dia tersenyum melihat ekspresi ku yang entah terlihat seperti apa.

"Manis, kok! Lidah Mas aja yang aneh," sungut ku.

"Oh, ya? Coba sini Mas cobain lagi."

Aku kembali memberikan gelas teh itu. Tapi aku menaikkan alis saat melihat Habib memutar posisi gelas. Di bagian situ, ada bekas bibir ku dan Habib meminumnya dari bekas bibir itu. Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi senyum ini tak tahan aku pendam terlalu lama.

"Oh, iya manis, seperti kamu," pujinya.

Akhirnya senyum ini lepas juga. Tidak ku sangka ternyata Habib bisa sekonyol ini. Dia pun terkekeh karena tingkahnya sendiri. Padahal, semula aku mengira kalau Habib sangatlah kaku. Sebab, itulah kesan pertama yang ku dapatkan darinya.

Tapi ternyata, dia sama saja seperti bang Fahri. Sikap konyol dan humornya bisa keluar juga.

Setelah adegan konyol itu, aku dan Habib segera mandi. Eits, kami mandi secara bergantian. Dia mandi lebih dulu karena aku masih harus menyelesaikan urusan ku di dapur. Setelah itu, baru lah aku mandi.

Habib berdiri di belakangku saat aku tengah menyisir rambut. Hingga wajah kami berdua terpampang jelas di kaca. Sebab postur tubuhnya yang lebih tinggi dariku. Di situ aku menyadari, betapa jauhnya perbedaan kami. Dia terlalu sempurna sebagai laki-laki.

"Hayo, mikirin apa?" Habib memelukku dari belakang, membuat aku benar-benar terkejut dengan perlakuannya.

Aku tak menjawab, hanya tertunduk menatap jemarinya yang tengah mendekap tubuhku.

"Aku tidak pantas bersanding denganmu, Mas. Kamu terlalu sempurna untukku."

Habib melepas pelukannya. Lalu memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan. Wajahnya begitu dekat denganku.

"Jangan pernah bicara seperti itu lagi, Mas tidak suka!" Tegasnya pelan. "Mas memilihmu bukan dari segi fisik, tapi dari sini." Habib menunjuk dadaku, "kamu memiliki hati yang baik, dan mungkin kamu tidak menyadarinya. Tapi Mas bisa melihatnya."

Aku tak menimpali, membuang pandanganku dari mata teduhnya. "Tapi aku merasa ... kita tak sebanding. Bukan hanya dari segi fisik, tapi—"

"Elyana!" Habib memotong ucapanku. "Jika membicarakan soal itu takkan ada habisnya. Yang jelas, Mas memilihmu dan kamu sekarang adalah istri Mas. Titik." Pungkasnya.

"Sekarang ayo kenakan bajumu, kita sarapan."

Aku mengangguk patuh. Kemudian mengganti pakaian tidurku dengan gamis dan hijab panjang.

Entah kenapa saat aku mengganti pakaian Habib selalu membuang muka, tak pernah ia melihat atau melirik sedikit pun. Padahal jika ia ingin melihat ya sah-sah saja, atau melakukan lebih dari itu juga bukan masalah. Tapi tidak, ia lebih memilih mengutak-atik ponselnya atau pura-pura sibuk membolak-balik mushaf. Aneh! Biasanya pengantin baru itu suka tidak sabaran ingin menuntaskan malam pertamanya, tapi Habib berbeda ia tidak lagi membahas soal itu sejak aku menolaknya semalam.

'Kenapa? Apakah aku memang tidak menarik di matanya sama sekali?' Tiba-tiba saja beribu pertanyaan bersarang di benakku.

***

Beruntungnya aku memiliki suami seperti Habib. Dia menjadi dosen di kampus ku sendiri. Setiap hari kami bisa pulang pergi bersama. Namun sayangnya, dia tidak pernah masuk kelas ku karena dia mengajar di kelas lain.

Dia mengenalkan ku pada beberapa rekan sesama dosen yang tentunya sudah kenal dengan ku. Aku sendiri baru tahu kalau Habib mengajar di kampus tempat ku menimba ilmu. Katanya dia belum lama mengajar di sana, makanya aku tidak tahu.

"Mas, besok kita ke rumah bang Fahri, yuk! Udah lama gak ke sana. Aku kangen sama bang Fahri dan mbak Nisa, terutama Azka," ucap ku ketika kami sedang dalam perjalanan pulang dari kampus.

"Iya, tapi Mas lihat jadwal dulu ya, takutnya ada kelas tambahan," jawabnya.

Aku mengangguk. Untungnya aku punya suami yang pengertian, sebab Habib sama sekali tidak melarang ku untuk tetap kuliah. Lagian, dia juga mengajar di sana. Pastinya kami lebih punya banyak waktu bersama.

Akan tetapi, aku tetap tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Entahlah, hati ini susah sekali di luluhkan.

"Mau kemana, Mas?" tanya ku bingung saat melihat Habib keluar mobil. Dia juga memberhentikan mobil di pinggir jalan, aku takut kalau ada polisi yang datang atau nanti malah di gusur karena ini bukan area parkir.

"Sebentar aja, kamu tunggu di sini."

Aku melihatnya keluar dan membeli beberapa bungkus nasi di pinggir jalan. Aku jadi bingung, sebenarnya dia mau ngapain? Aku kan tidak meminta apa-apa, tapi kenapa dia beli nasi sebanyak itu?

Dan pertanyaan itu terjawab setelah aku melihat Habib menghampiri sekumpulan anak jalanan yang sedang ngamen. Mereka berjumlah sekitar lima sampai tujuh orang. Habib memberikan bungkusan nasi itu pada mereka.

'MasyaAllah, Habib baik banget. Dalam keadaan begini aja dia masih peduli sama anak-anak jalanan itu.'

Melihat wajah-wajah penuh senyum dari anak-anak itu, membuat hati ini tercubit. Di tengah terik matahari, Habib mau turun ke jalanan dan panas-panasan hanya demi membelikan sebungkus nasi bagi mereka. Oh, Habib suami idaman!

"Kenapa senyum-senyum begitu?" tanya Habib begitu dia kembali ke mobil.

Aku menggeleng. "Nggak apa-apa. Aku hanya kagum pada Mas," jawab ku apa adanya.

Habib tersenyum. "Alhamdulillah, Mas masih ada rezeki dan bisa berbagi. Bukannya dalam harta kita ada sebagian hak mereka?" Aku mengangguk. "Makanya, kita harus banyak sedekah, biar makin di sayang sama Allah."

"Kalau mau di sayang sama Mas, gimana caranya?" tanya ku iseng. Mobil sudah kembali melaju dari tadi.

"Gampang!" jawabnya.

"Gimana?"

"Di panggil 'sayang' pun, Mas udah tambah sayang sama kamu," katanya memandang ku dan jalan secara bergantian.

"Iya, sayang!" kata ku tanpa ragu.

avataravatar
Next chapter