7 HARI PERNIKAHAN

"Sah.!"

Hatiku bergetar saat seruan itu menggema cukup kuat. Mulai hari ini, sejak saat ini dan detik ini, aku sudah sah menjadi istri seorang Habib Al-Zikri. Tidak ada lagi yang namanya Umar di hatiku, aku harus menerima itu karena sekarang aku bukan lagi seorang gadis. Aku adalah istri Habib.

Air mata kembali menetes, aku langsung mengusapnya karena tak ingin mbak Anisa melihat kesedihan ku.

"Mbak! Ayo cepat!" seru Farida yang begitu bersemangat.

Entah karena apa, sulit sekali rasanya melebarkan senyum yang biasanya dengan mudah aku lakukan.

"Ayo," kata mbak Anisa membantu ku berdiri.

"Ayo El, suami mu sudah menunggu di depan pintu," kata Bunda ikut bersuara.

Menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Aku bangkit dari dudukku. Menatap wajah dicermin, menghapus sisa air mata, kemudian menyeret langkah menuju pintu dengan balutan gaun maroon yang telah diberikan Habib beberapa minggu yang lalu.

Perlahan aku menekan handle pintu. Hingga saat pintu terkuak, "Baarakallaahu lakumaa wabaraka 'alaykuma, wajama'a baynakumaa fii khair," lantunan doa langsung menggema. Sosok Habib berdiri tepat di depanku, tapi aku tak sanggup untuk mengangkat kepala saat mata teduhnya menatap lekat padaku.

"El ..." Habib mengulurkan tangannya padaku.

Kuberanikan mengangkat wajah, hingga mata kami saling bertemu pandang. Habib tersenyum, memberi isyarat agar aku menerima uluran tangannya.

Dengan ragu kusambut tangan kokoh itu, dan menciumnya dengan ta'dzhim layaknya seorang istri kepada suami. Habib menggandeng tanganku, mengajakku melangkah menyusuri anak tangga menuju lantai dasar untuk bertemu dengan keluarga dan para kerabat yang sudah hadir.

"Kamu terlihat cantik sekali dengan gaun ini, El." Pujinya dengan suara berbisik.

"Emangnya kemarin-kemarin nggak cantik?"

"Mana Saya tahu, Saya kan nggak gitu pernah melihatmu dengan jelas. Belum halal juga."

Lah, kenapa bahasanya jadi baku begini? 'saya'?

"Nanti Mas akan tahu, dan pasti akan menyesal karena menikah denganku," kata ku berusaha membuatnya nyaman. Aku lebih suka dia menyebut dirinya 'mas' dari pada 'saya', kesannya aku seperti orang asing. Padahal aku kan istrinya.

"Apa sih kamu?" Wajah Habib terlihat tak senang.

"Sssttt, nanti kita bahas!" Pungkasku.

Semua tampak begitu bahagia, tak terkecuali Umar. Ada senyum penuh arti yang ia tunjukkan padaku. Seolah mengatakan 'selamat berbahagia, aku pun turut bahagia dengan pernikahanmu.' Lalu aku mulai menyadari, bahwa aku tak lagi boleh memiliki sebuah rasa yang dulu pernah ada untuk Umar ketika melihat Madya berdiri di sampingnya. Karena kini, aku sendiri sudah menikah dengan Habib.

Aku sendiri masih tidak menyangka jika sekarang aku sudah menikah dengan Habib. Bahkan kami belum sempat saling mengenal satu sama lain, tidak ada acara ta'aruf pula. Tapi dia begitu yakin, memantapkan hati dan menikahi ku.

"Mbak! Selamat ya!" seru Farida memeluk ku. "Semoga bisa cepet nyusul dapet momongan," katanya lagi.

Aku hanya tersenyum. Lalu kembali bercengkrama dengan para tamu lain. Ada abi dan umi-nya Habib juga. Mereka kelihatan sangat bahagia. Aku tidak tahu apa kata mereka setelah tahu siapa yang sebenarnya ada di hati ku.

"El, selamat ya. Akhirnya kalian bisa menikah," kata wanita berhijab biru navy itu seraya mengelus pipi ku.

"Terimakasih, Umi," sahut ku.

Habib dan keluarganya menyambut baik kehadiran ku di keluarga mereka. Rasanya tak baik jika aku sampai mengecewakan mereka. Tapi hati tidak bisa di kendalikan, dan cinta tak bisa di paksakan. Bukankah begitu? Aku ... masih mencintai Umar.

***

"Mbak senang akhirnya kamu menikah juga," kata mbak Anisa seraya melepas riasan di kepala ku. Baju adat India bertema islami ini begitu ramai, banyak pernak-pernik yang harus di lepas setelah selesai merayakan pesta pernikahan.

"Bunda juga, tolong jaga perasaan Habib dan lupakan Umar. Ini demi kebaikan kita bersama," sahut Bunda yang juga ikut membantu mbak Anisa melepas perhiasan ku.

Kebaikan bersama? Iya, bersama Farida tapi tanpa aku. Aku tidak tahu harus jawab apa. Semua orang senang dengan pernikahan ini, tapi aku? Aku tidak merasakan kebahagiaan apapun. Bahkan, aku sendiri tidak tahu seperti apa rasanya pernikahan yang bahagia.

"El, nanti mau langsung sholat bareng Habib atau kamu mau sholat sendiri?" tanya mbak Anisa.

"Sholat sendiri aja, Mbak. Biar Habib dan yang lainnya sholat ke masjid," jawab ku dan di angguki oleh mbak Anisa.

Pesta memang tidak berlangsung lama. Hanya di hadiri keluarga dan kerabat dekat. Tapi pesta kecil itu begitu mewah, bahkan kamar pun di hiasi banyak kelopak bunga mawar. Itu kata mbak Anisa, sebab aku belum melihat rumah yang akan aku dan Habib tempati.

Aku keluar kamar setelah satu jam beristirahat. Niat hati ingin mengambil air minum karena haus, tapi aku malah di suguhkan pemandangan menyebalkan.

Saat di depan kamar, tak sengaja aku melihat Farida sedang berjalan di anak tangga paling bawah. Aku pun berjalan menghampirinya, tapi tiba-tiba dia kelihatan oleng dan hampir pingsan. Aku buru-buru mendekat, tapi aku kalah cepat dengan Umar yang ada di dekatnya.

Lelaki itu dengan sigap menyambut Farida dalam pelukannya. Adikku pingsan dan semua orang langsung mengerumuninya. Rasanya hati ini semakin sakit melihat bagaimana raut wajah cemas Umar saat Farida tak sadarkan diri.

"Farida, bangun sayang!" Kira-kira begitulah ucapan yang ku dengar dari mulut Umar.

Baik ayah, bunda, bang Fahri maupun orang tua Habib sama-sama khawatir. Umar segera menggendong Farida menaiki tangga menuju kamar. Dia melewati ku begitu saja tanpa melirik apalagi menoleh pada ku.

'Astaghfirullah ... hati ku hancur, Umar! Semua orang sangat peduli pada Farida, tidak ada yang peduli pada perasaan ku!' teriak ku membatin.

"El, kamu baik-baik aja?" tanya bang Fahri yang berhenti di depan ku.

Aku mengusap air mata di pipi ini. "Ya, El baik-baik saja, Bang. Lebih baik Abang dan yang lainnya melihat Farida di atas, dia sedang hamil, 'kan? Perlu lebih banyak perhatian dari pada aku," jawab ku yang kurasa terkesan egois.

Bang Fahri tidak menurut. Dia malah memeluk ku dengan erat. Tangis ku pun pecah seketika, baju kokonya basah karena air mata. Aku tak tahan lagi, ku tumpah kan saja semua air mata ini di dada abang ku. Dia mengelus kepala ku dengan halus.

"Abang ..." rengek ku di sela derai tangis.

"Sabar, El. Abang tau, ini berat, tapi cobalah untuk mengikhlaskan," katanya.

Tanpa sengaja, aku melihat bayangan Habib yang menghilang di balik pintu dapur. Aku yang masih berdiri di anak tangga bersama bang Fahri, segera melepas pelukan. Aku takut Habib mendengar dan melihat semua ini. Meski aku tidak mencintainya, tapi aku tidak mau melukai perasaannya.

'Maafkan aku, Mas.'

avataravatar
Next chapter