Sekarang Mr. Ex sedang fokus menatap patung Madam Nixon di perpustakaan tua. Matanya menelisik jeli penuh konsentrasi tepat pada mata patung itu. Kedua telapak tangannya saling berputar pelan, lalu seberkas cahaya hijau mulai tercipta dari lingkaran tangan tersebut. Itulah sebuah ritual yang ia lakukan untuk mengambil buku XVIII dari jarak jauh.
Akan tetapi, hambatan terus Mr. Ex rasakan. Ia bahkan sampai tersungkur saat sesuatu yang janggal mengganggu perjalanan kembalinya buku itu.
"Ada apa ini? Bukunya semakin berat. Oh, tidak! Jangan-jangan dia sudah berhasil masuk ke dalam buku itu? Sial!" Pria tua itu menggeram. Dia berpikir semua usahanya telah gagal. Ia tidak tahu kalau bukan Emely yang sudah terseret ke dalam buku tersebut, melainkan anaknya sendiri.
ΦΦΦ
Tepat pukul sepuluh pagi, gadis yang tampak lelah itu telah sampai di apartemen setelah dari rumah sakit menemui Carlos. Ia sengaja kembali untuk mengisi perutnya yang lapar dan men-charger ponsel sebelum ia mencari Alice. Buku XVIII pun telah ia temukan tergeletak tepat di pinggir jalan saat perjalanan pulang.
Setelah beberapa menit, gadis itu mulai bersiap untuk pergi mencari sahabatnya. "Aku pasti akan menemukanmu, Alice," ucap Emely seraya berjalan keluar kamar.
Namun, tepat saat tangan Emely hendak memutar knop pintu, tiba-tiba gerakannya terhenti. Ia langsung mengalihkan pandangan pada kotak berwarna biru yang berada di meja nakas, itulah tempat buku XVIII disimpan. Seketika hatinya kembali bergemuruh, meronta ingin segera mencari tempat bernama Invizibila. Akan tetapi, ia harus tahu sekarang ini bukanlah waktunya.
Selanjutnya entah apa yang terjadi pada Emely, ia malah berbalik lalu menghampiri kotak itu dan membukanya dengan tak sabaran. "Aku harus tetap membawa buku ini ke mana pun aku pergi," ujarnya semangat.
Ia kembali membuka pintu kamar dan menuruni tangga dengan terburu-buru, sampai aksinya yang hendak memasukan buku XVIII ke dalam tas pun malah terhambat.
Buku tersebut malah terjatuh begitu saja, terpantul dari anak tangga satu ke anak tangga yang lain di bawahnya. Membuat buku itu berakhir tergeletak di lantai bawah.
"Astaga! Em, tenanglah." Emely menarik napas lalu mengembuskannya perlahan, ia mencoba untuk mengatur dirinya sendiri, tapi sepertinya itu tidak berhasil.
Getaran bak gempa kecil tercipta tepat saat kakinya kembali melangkah. Emely terkejut dengan hal tersebut, ia tidak sempat menyeimbangkan tubuh dan akhirnya ikut terjatuh. Tubuhnya terguling dari tangga dan berakhir tersungkur di lantai bawah juga.
"Auwh ...." Ringisan seketika terdengar. Ia tidak sadar bahwa pergelangan tangannya sedang bersentuhan dengan bola kristal yang terdapat pada cover buku XVIII. Tanda lahirnya kini telah menyatu dengan benda itu. Secara tak sengaja Emely sudah membuka pintu menuju dunia lain yang tidak pernah ia duga.
Gadis itu berusaha untuk bangkit, tapi cahaya terang dari buku XVIII membuatnya terganggu. Sontak ia langsung menutup mata, cahaya itu begitu silau.
"Ada apa ini?"
Cahaya dari buku XVIII belum juga sirna, bahkan kini semua benda yang ada di sana mulai bergerak berpindah dari posisinya. Berangsur melayang dan berputar secara perlahan tidak sesuai pada tempatnya.
"Tolooong!" Emely mulai berteriak, dia masih setia dengan posisi tangan menutupi mata. Karena untuk membuka mata sedetik pun ia tidak bisa, terlalu takut akan adanya bahaya di depan mata.
Tempo putaran benda-benda itu semakin meningkat, terus berputar cepat dan terlihat sangat gesit. Menciptakan putaran seperti badai yang tengah menggulung, membuat Emely semakin panik dan takut. Hingga terpaan angin besar mulai ia rasakan menampar pada kulitnya, tepat setelah itu semuanya berhenti dan kembali tenang.
Deru napas Emely terdengar sangat keras, ia mulai membuka mata secara perlahan. "Tempat apa ini?" Ia terkejut bukan main.
ΦΦΦ
Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan pasir berwarna kecokelatan dengan gundukan-gundukan besarnya. Ditambah tebing-tebing raksasa penuh bebatuan yang menjulang tinggi berjejer mengelilingi setiap sisi gurun tersebut.
Teriknya matahari kira-kira mencapai sembilan puluh derajat Celcius, suhu yang sangat panas bagi Emely yang baru pertama kali menginjakan kaki di tempat ini. Membuat tenggorokannya langsung merasakan dahaga luar biasa.
Gadis yang seakan tersesat itu terus berjalan tertatih, tubuhnya sudah lemas dan butuh cairan untuk mengembalikan energi. Padahal, dia baru sebentar berada di sana, tapi dirinya sudah tak berdaya seperti itu.
Semakin jauh Emely melangkah, kini oasis gurun pasir pun mulai terlihat, terletak tepat di tengah-tengah gurun tersebut. Di sana juga terdapat sumber mata air yang membentuk kolam dengan luas setengah hektar. Membuat Emely tak sabar ingin segera sampai ke sana untuk membasuh tenggorokannya yang sudah tandus.
Tak jauh dari kolam air tersebut, kehidupan beberapa tumbuhan berkumpul. Pohon kaktus, akasia, kurma, dan sedikit semak-semak terlihat menghijau. Hewan-hewan juga berlalu-lalang di sekitar sana. Seperti reptil, burung, kijang gurun, landak, dan kucing gurun.
Serta ada banyak bangunan berbentuk kerucut berwarna gelap berdiri tak rapi di sekitar sana. Di tengah bangunan itu terdapat lubang kotak seperti pintu yang tidak terlalu lebar. Ukuran bangunannya kurang lebih hanya dua meter, terlalu kecil jika itu adalah rumah.
Emely berpikir keanehan kali ini sungguh membuatnya hampir gila, ia sampai terbawa ke dunia antah berantah yang dipijaknya saat ini. Dunia yang sama sekali tidak ingin dia tahu.
Tak terasa, gadis itu akhirnya sampai di sumber mata air. Ia memberanikan diri untuk melewati kucing gurun yang sedang berlarian tadi. Emely langsung menangkap bendungan air dengan kedua telapak tangan, lalu menyeruputnya dengan cepat sampai berulang-ulang demi menyirami tenggorokan.
"Ah, segar sekali," dalihnya merasa puas. Ia juga sampai membasuh muka dan mencuci kaki.
Sekarang Emely tidak tahu harus berbuat apa. Dia sama sekali tidak membawa apa pun. Bahkan, tas dan buku XVIII yang ia bawa sebelum terlempar ke tempat ini pun kini entah ke mana. Ia juga tidak mungkin pergi begitu saja di tempat yang sama sekali tidak ia kenal. Emely semakin frustrasi, hidupnya semakin hari semakin menderita.
Akhirnya, gadis keturunan Indonesia-Denmark itu memutuskan untuk berbaring sebentar di bawah pohon kurma yang tak jauh dari kolam. Ia harus berdekatan dengan air untuk berjaga-jaga di saat dahaga mulai datang. Jika tidak, mungkin ia akan mati mengenaskan. Tak terasa, kini mata Emely mulai terpejam.
ΦΦΦ
Matahari semakin menyingsing ke barat pertanda petang mulai datang. Suhu ekstrem panas pada siang hari kini tergantikan dengan kesejukan dan hawa dingin saat menjelang malam. Pun dengan suasana yang semakin hidup kala hari mulai surut. Lampu-lampu juga mulai menyala dari masing-masing ujung lancip bangunan kerucut itu.
Anak-anak kini terlihat saling bermain, ada juga sekelompok anak yang sedang mengadu enam ekor kucing gurun. Mereka berteriak semangat setiap kali kucing gurun itu saling mengejar dan mencakar. Sebagian orang dewasa juga ikut menonton permainan tersebut. Hingga keramain itu membuat gadis yang sedang tertidur pulas di bawah pohon kurma akhirnya terbangun.
Emely mengerjapkan mata dan membukanya secara perlahan. Ia terkejut dengan kehadiran banyak orang. "Kenapa ramai sekali? Perasaan ... tadi di sini sangat sepi. Apa mungkin aku telah kembali ke duniaku?" terkanya seraya mengucek mata berkali-kali.
Emely langsung mengedarkan pandangan, ia kembali meneliti tempat itu dengan saksama. Sekarang dia mulai paham. Orang-orang itu adalah penduduk asli tempat ini. Emely melihat beberapa orang tengah keluar dari balik pintu pada bangunan kerucut itu.
Jadi benar, benda tersebut adalah sebuah rumah. Mereka membungkukan badan saat masuk atau pun keluar dari pintu tersebut. Emely sendiri tidak tahu kenapa mereka mau tinggal di rumah sekecil itu. Padahal, kelihatannya benda itu hanya cukup untuk satu orang dan pasti sangat pengap di dalamnya.
"Ternyata aku masih di tempat aneh ini." Gadis itu berucap pelan. Ia terdiam sejenak, ikut hanyut dalam permainan kucing gurun yang dilakukan anak-anak.
Setidaknya, Emely masih diberikan keberuntungan. Ia tidak sendirian. Walaupun dirinya tidak mengenal mereka, tetapi itu cukup membuat suasana hati gadis itu menjadi tenang.
Tak sengaja mata Emely melihat seorang wanita tua yang hendak berjalan masuk ke salah satu rumah kerucut. Akan tetapi, ada sesuatu yang membuat perhatiannya tertarik ke sana. Yakni buku XVIII sedang berada di genggaman nenek itu. Dengan cepat Emely menghampirinya.
"Tunggu!" Suara Emely berhasil menghentikan langkah nenek tersebut.
Tepat ketika sang nenek menoleh, Emely langsung menjerit dengan memundurkan langkah. Wajahnya terlihat aneh dengan bibir yang tidak memiliki garis tengah. Bibir si nenek begitu rapat seperti tak ada celah sedikit pun. Napas Emely kini memburu, dia ketakutan.
Sedangkan sang nenek malah terdiam, dia memperhatikan manusia di hadapannya dari atas sampai bawah. Menelitinya lamat-lamat lalu bertanya, "Pendatang baru?"
Emely kembali tersentak, saat nenek itu berbicara bibirnya terlihat normal. Namun, saat dia terdiam, bibirnya kembali rata. Sama sekali tidak ada garis tengah di sana. Gadis itu pun memperhatikan orang-orang, ternyata mereka juga sama. Ia baru menyadarinya. Untung saja bahasa nenek tersebut bisa dimengerti oleh Emely.
Sebisa mungkin Emely tetap tenang. Dia harus berani agar buku XVIII bisa ia dapatkan. Sementara otaknya kembali memikirkan arah pertanyaan nenek tadi. Emely bingung harus menjawab seperti apa dan seketika ia baru sadar. Pakaiannya dengan pakaian orang-orang di sini sangat jauh berbeda, gadis berambut pirang itu mengira pasti itulah alasan sang nenek bertanya begitu.
"I-iya," jawab Emely sedikit gugup.
"Masuklah." Nenek itu melanjutkan langkah seraya membungkukkan badan memasuki bangunan kerucut.
Yang benar saja. Apa ruangan di dalamnya cukup untuk berdua? Emely berujar di dalam hati.
Lagi-lagi satu insan itu dibuat terkejut. Ternyata di balik bangunan kerucut yang terlihat kecil terdapat tangga batu yang mengarah ke bawah tanah. Menuju sebuah ruangan yang cukup besar seperti basemant dan terlihat beberapa ruangan lain juga ada di sana. Ruangan itu dipenuhi dengan barang-barang antik yang aneh, Emely sendiri baru melihatnya.
ΦΦΦ
~Oasis adalah suatu daerah subur terpencil yang berada di tengah gurun pasir, umumnya mengelilingi suatu mata air atau sumber air lainnya~