23 Meminta Restu

"Da-da-dad-diii ... daaadddiiii ... dada-diii ...." Terus begitu diulang-ulang kata itu. Angga dan Asha kemudian tersenyum.

"Keenan panggil Daddy? Wah Keenan bisa panggil aku Daddy, Sha!" katanya semangat, "Mommy bisa? Mooommm mmmmiiii ... "ucap Angga mengajarkan Keenan.

"Ish! Mommy. Mama aja deh. Aku gak mau dipanggil mommy kedengerannya kaya mumi tau Ngga!" tolak Asha yang membuat Angga terbahak melihat Asha yang cemberut.

"Liat, mommy marah tuh," ledek Angga, mengajak Keenan bicara.

"Udah ah. Jalan lagi yuk. Abis ini istirahat dulu, makan."

"Okay Mommy!" jawab Angga menirukan suara anak kecil yang membuat Keenan terus memperhatikan wajah Angga serius. Keenan pikir mungkin daddynya jadi anak bayi karena suaranya berubah.

***

Perut kenyang membuat Asha semangat lagi menjelajah wahana yang lain, hingga mereka melewati photo box. Angga kemudian mengajak Asha untuk berfoto di dalam. Ada foto bertiga, berdua, sendiri-sendiri, gaya serius, konyol, dan banyak lagi. Seolah Angga memborong tempat foto mungil itu.

Beberapa tempat sudah disinggahi, terkadang hanya Asha dan Keenan saja atau Angga dengan Keenan saja yang naik permainan, sementara yang lain merekam aktivitas mereka. Angga merasa puas, Asha dan Keenan terlihat senang hari ini. Angga kemudian mengajak Asha naik bianglala. Mereka duduk berhadapan, dengan Keenan duduk di pangkuan Asha.

"Lusa mami dan papiku pulang." Angga membuka percakapan setelah berada di dalam bianglala. Besok lusanya aku mau bawa Kamu sama Keenan ke rumah. Mau ya?" lanjutnya.

Asha terdiam sejenak seakan berpikir.

"Aku pengen kenalin Kamu lagi dan Keenan, sebagai calon istri aku. Kamu mau kan?" tanya Angga lagi karena Asha tak juga menjawab. Membuat Angga merasa jantungnya berdetak kencang.

Yang tidak Angga ketahui, detak jantung Asha juga berdetak kencang. Ingin bicarapun rasanya lidahnya kelu. Perlahan matanya terlihat berkaca-kaca. Dirinya tidak menyangka Angga bakal 'melamar'-nya di tempat seperti ini.

Keenan seperti menyadari sesuatu, kemudian mendongakkan kepalanya ke belakang dan memperhatikan wajah Asha, diusapnya air mata Asha yang akhirnya tumpah.

"Dadi?" celotehnya.

"Maaf ya Sha, aku malah nanya hal yang serius di tempat kaya gini. Aku gak bisa nunggu besok Sha, karena liat Kamu yang bahagia hari ini, rasanya gak rela kalo menundanya hingga besok." Angga tiba-tiba sudah berlutut di depan Asha, kedua tangannya menggenggam tangan Asha.

"Aku sayang banget sama kalian berdua. Aku bakal lakuin apa aja demi kalian. Sebetulnya udah lama aku pengen bilang ini sejak kita mulai dekat lagi. Tapi aku nunggu Kamu lulus dulu, supaya Kamu dan Keenan bisa ikut aku ke Jerman."

"Aku ingin selalu berada dekat dengan kalian setelah kita menikah. Tinggal bersama. Selalu bersama—" Angga menghentikan ucapannya karena tiba-tiba Asha memeluknya dengan satu tangannya yang bebas, sementara tangan satunya masih memeluk Keenan di antara mereka.

"Aku mau, Ngga," jawab Asha lirih. Membuat Angga bernapas lega.

"I love You."

"I love You more."

***

Perjalanan pulang dari jalan-jalan hari itu dilalui dengan canggung dan terasa berjalan lambat sekali. Ntah karena lelah atau perasaan masing-masing di antara mereka yang akhirnya terucapkan. Berkali-kali Angga mencoba menyentuh tangan Asha yang berada dekat kopling mobil, namun selalu diurungkannya lagi berkali-kali pula. Alih-alih Angga memegang kopling itu lama. Keenan sudah terlelap di kursi belakang di atas car seatnya.

Setelah mobilnya berhenti tepat di rumah Asha. Hari sudah menjelang malam.

"Makasih ya Ngga, udah ajak kita jalan-jalan hari ini. Keenan keliatan seneng banget," ucap Asha memecah keheningan.

"Aku yang makasih Sha, Kamu udah mau aku ajak jalan-jalan."

Sebelum Asha turun, Angga menarik tangan Asha. Keduanya sama-sama merasakan getaran yang aneh. Jantung keduanya berdetak tidak normal, seolah masing-masing saling bersahutan di dalam sana. Ditatapnya lekat wajah Asha, seolah-olah tidak ada lagi hari esok buat mereka bertemu. Perlahan tangan Angga menyentuh kedua pipi Asha. Didekatkannya wajahnya, hingga hidung mereka bersentuhan. Perlahan Asha menutup matanya karena gugup. Satu detik ... dua detik ... tiga detik ....

"Maafin aku Sha," ucap Angga akhirnya, membuat Asha membuka kedua matanya.

Mata mereka saling berpandangan dengan jarak yang sangat dekat, hingga Asha bisa mencium aroma segar dari mulut Angga.

"Aku gak tahan sedekat ini sama Kamu. Pengen cium Kamu. Tapi aku takut ingin lebih dari sekedar itu," jujur Angga, membuat Asha menggelengkan kepalanya.

"Gak perlu minta maaf, Ngga. Aku harusnya berterima kasih, karena Kamu mau menjaga aku selama ini."

"Kita turun aja yuk. Aku takut ada setan lewat dan pingin lumat Kamu," ucap Angga mulai sedikit tenang saat jantungnya berdetak normal lagi.

***

Keesokan harinya, Angga menelepon Haryanto dan bertanya tentang jadwal papanya Asha. Dan malamnya dia datang lagi ke rumah Asha. Tujuannya malam itu bukan menemui Asha, tapi Haryanto.

"Masuk Nak Angga, Om ada di dalam baru beres makan. Kamu udah makan?" ucap Marisa kala membuka pintu dan dilihatnya Angga berdiri di sana dengan pakaian semi formal.

"Udah kok, Tan. Tadi makan dulu sebelum ke sini."

"Ya udah Kamu duduk dulu ya. Tante panggilkan om sekalian bikinin minuman."

Tak berapa lama Haryanto datang menghampiri Angga yang terlihat agak gugup. Haryanto berdehem untuk membuyarkan lamunan Angga yang sedari tadi hanya menatap cangkir di meja di hadapannya. Keduanya pun tampak berbicara serius. Haryanto menyimak perkataan yang diucapkan Angga dengan kagum. Bagaimana tidak, beberapa tahun lalu lelaki ini pernah meminta putrinya untuk bertunangan, namun dia tolak. Dan sekarang lelaki ini kembali meminta putrinya untuk dijadikan istrinya.

"Asha udah bukan gadis lagi lho, Ngga. Sudah ada Keenan." Haryanto menegaskan tentang status putrinya sekarang.

"Saya tidak masalah Om. Malah makin bikin saya yakin ingin menikahi Asha karena ingin menjadi ayah bagi Keenan." Angga mencoba menyakinkan.

"Om gak bisa mutusin menerima atau nggak lamaran Kamu kali ini. Semua saya serahkan sama Asha. Apa Asha sudah tau?"

"Sudah Om ...." Angga menyengir, terlihat malu-malu. "Kemarin saya udah minta Asha untuk ketemu orangtua saya, lusa nanti di rumah, Om. Kenalan dulu. Lamaran resminya menyusul, Om. Pekan depan saya masih harus ngurusin perusahaan papi dulu." Haryanto terlihat menganggukkan kepalanya berkali-kali.

"Ya sudah. Kalau memang sudah sama-sama tahu. Om terima lamaran Kamu. Pesan Om satu, jangan kecewakan Asha. Cukup sekali dia dikecewakan oleh mantan suaminya dulu. Moga Nak Angga paham maksud om." Lagi-lagi Haryanto memperingatkan.

"Iya Om saya bakal bikin putri Om bahagia." Janji Angga yakin.

***

Akhir pekan yang dinanti tiba. Baru sehari tidak berjumpa dengan Asha dan Keenan rasanya seperti setahun lamanya.

Sehari setelah Angga melamar Asha, kedua orangtua Angga pulang, jadi sehari itu Angga berbicara kepada kedua orangtuanya tentang lamarannya itu. Dan mereka setuju untuk bertemu Asha dan Keenan di rumah.

Di sinilah Angga menunggu Asha dan Keenan bersiap-siap. Sambil berbincang-bincang santai dengan Haryanto.

Mobil Anggapun meluncur memasuki perumahan elit. Tampak dari jauh rumah yang berdiri megah dengan tembok-tembok tinggi mengelilingi pekarangan yang luas.

Tiba di depan pintu gerbang, Angga menyapa satpam yang berjaga. Dari satpam itu pula ia tahu bahwa hari itu ada tamu yang tiba-tiba datang. Teman lama dari Arumi, maminya Angga.

Saat mereka sudah di dalam, salah satu pelayan di rumahnya memberitahukan bahwa Angga sudah ditunggu orangtuanya di halaman belakang yang sedang menjamu tamu. Angga berjalan sambil bergandengan tangan dengan Asha dan Keenan dalam gendongannya menuju halaman belakang.

Dari kejauhan terdengar suara-suara dari arah taman belakang. Dan dilihatnya teman maminya beserta anak dan suaminya turut serta. Ada perasaan tidak enak yang dirasa Angga saat itu.

"Apapun yang terjadi, jangan lepas tangan aku ya." Tiba-tiba Angga menghentikan langkahnya. Wajahnya berubah serius. Asha baru kali ini melihat Angga yang tampak serius. "Percaya sama aku. Okey?" Yang langsung diangguki Asha meski dalam hati ia bertanya-tanya. Dadanya tiba-tiba bergemuruh.

"Ah yang ditunggu sudah datang niy, ayo sini Angga," ucap Arumi kala melihat Angga yang menggendong Keenan mendekat. Tatapan matanya sekilas melihat tangan anaknya yang menggandeng Asha erat. Sepersekian detik Asha merasakan aura yang tidak enak dengan tatapan itu. Namun Angga makin mengeratkan genggaman tangannya, menenangkan, seolah paham hati wanitanya gelisah.

Angga sengaja duduk di kursi di hadapan tamu maminya, dan membiarkan Keenan duduk di pangkuannya. Sedang mami dan papinya duduk di kedua ujung meja. Mereka sepertinya baru akan memulai santapan pagi.

"Angga apa kabar?" tanya tamu maminya yang bernama Siska ramah.

"Baik Tante," jawab Angga datar.

"Masih inget anak tante kan, Laura?" tanyanya lagi seraya merangkul pundak wanita di sebelahnya. Wanita itu tersenyum malu-malu.

Angga hanya menganggukkan kepala dan menarik tangan Asha yang digenggamnya ke atas meja. Seolah ingin mengatakan 'dirinya bersama Asha'. Asha yang ditarik tangannyapun membulatkn matanya, tampak terkejut dan seolah berkata 'apa-apaan ini?'

Hal ini pun tak luput dari tatapan kedua orangtua Angga dan juga para tamunya. Sejenak suasana menjadi canggung.

"Dadi ...," Keenan bersuara sambil matanya menatap Angga, telunjuknya menunjuk ke arah kukis coklat.

"Keenan mau ini?" Angga langsung mengambil kukis yang ditunjuk Keenan. Wajahnya seketika tersenyum kala Keenan menerima kukis itu.

"Oh Nak Angga sudah menikah?" Nada suara Siska terdengar terkejut, suaminya Tommy ikut terkejut, dan Laura menampakkan kekecewaan di wajahnya.

Angga mengangguk dan akan menjawab, namun langsung disela oleh Arumi.

"Belum kok. Ini Asha dan anaknya. Teman SMU Angga dulu ...." Ucapan maminya membuat Angga mengeraskan rahangnya terlihat tidak suka. Dan Asha menjadi merasa berada di tempat yang salah.

"Kami akan menikah," tegas Angga menyela ucapan maminya. Membuat Asha menundukkan wajahnya.

"Lho menikah dengan wanita bersuami?" Siska bertanya makin jauh.

"Sudah cerai kok Tante," Asha ikut buka suara. Seketika semua mata tertuju padanya.

avataravatar
Next chapter