11 Tentang Trauma-nya Alvira

"Pegangan."

El menarik kedua tangan Alvira, melingkari tubuhnya dengan sangat erat supaya tidak terjatuh atau terjadi hal-hal buruk yang tak diinginkan. Lihat, seberapa protektif dirinya terhadap satu-satunya adik cewek yang ia miliki itu.

"Udah bos, gas langsung jalan dong!" pekik Alvira dengan senyum manisnya, ia menaruh dagu tepat di pundak El. Sekarang mereka lebih terlihat seperti orang yang berpacaran daripada kakak adik kandung.

Belum sempat El melajukan motor, ia melihat Bian yang berjalan kearahnya, seorang diri tanpa antek-antek yang biasa bersama. Hari sudah cukup sore mengingat tadi ia menghadiri ekstrakurikuler basket terlebih dulu, ditemani oleh Alvira yang duduk di pinggir lapangan dengan handuk kecil dan botol mineral di tangannya, ya katanya sih sebagai penyemangat saja.

"Kak Bara, jalan aja yuk." ucap Alvira yang merasakan hawa menyeramkan yang keluar dari tubuh El, pertanda tidak baik. Ia menggoyangkan tubuh sang kakak dengan kuat berharap cowok itu akan menuruti keinginannya dan segera pergi dari pekarangan sekolah.

Namun El tetaplah El, ia merasa masih memiliki hubungan belum terselesaikan dengan orang bernama Bian. Cowok itu memilih untuk melepas helm dari kepalanya dan turun dari motor, ia mengisyaratkan Alvira untuk tetap berada di atas motornya.

"Mau apa lo? punya banyak keberanian juga nyamperin gue." tanyanya to the point begitu melihat Bian yang sudah ada tepat di dihadapannya, tatapan elang nan setajam silet pun tak luput dari permukaan wajahnya saat menatap sang lawan bicara.

Bian terkekeh kecil melihat El yang seperti emosi sekali dengan kedatangannya. "Santai, gue cuma mau ambil adik lo yang artiannya gue gak punya urusan sama lo." ucapnya dengan senyum miring sambil menatap ke arah Alvira yang kini menatap El dengan khawatir. Bagaimana pun juga El dan Bian bukanlah perpaduan yang sempurna. Ibaratkan api bertemu dengan api, maka keadaan akan semakin memanas.

"Alvira udah bukan siapa-siapa lo, jadi minggir." ucap El dingin dengan tangan yang sudah mengepal sempurna, menatap cowok di hadapannya dengan tatapan kebencian.

"Tapi dia sendiri yang ngemis-ngemis ke gue kalau dia minta temenin jalan sore ini, terus salah gue ada dimana?" balas Bian tanpa rasa bersalah sedikitpun, bahkan nada bicaranya saat ini terdengar sangat santai.

El menatap ke arah Alvira dengan alis yang terangkat satu, mencari kebenaran di raut wajah yang sialnya selalu menggemaskan dan tak tega menaruh rasa kesal ke Alvira. Ia tahu betul jika adiknya yang satu itu masih sayang terhadap cowok brengsek ini. "Lo mimpi kali, Alvira gak pernah ngejar sampah." ucapnya sambil tersenyum meremehkan.

Alvira yang mendengar ucapan sedikit lebih sarkas dari El hanya dapat meringis kecil, merasa kalau Bian sebaiknya tidak menuruti apa yang ia inginkan.

Bian mengangkat bahunya, merasa kalau ucapan El sama sekali tak berdampak apa-apa bagi dirinya. "Bukannya kebalik ya kalau adik lo yang sampah kan dia pern--"

"JAGA UCAPAN LO!"

Bugh

El meninju rahang Bian dengan sangat kencang membuat si empunya langsung tersungkur di tanah, ia memukulnya benar-benar sekuat tenaga. Ia menarik kerah leher cowok itu, lalu kembali memukulnya. "BRENGSEK!"

Bugh

Bugh

Alvira memejamkan mata, merasakan bulir hangat yang menyapa permukaan kulit wajahnya. Kali ini, semua terjadi karena dirinya lagi. Lagi-lagi hanya karena cewek seperti dia semua kondisi runyam dan tak terkontrol, terlebih lagi ia tak bisa meyakinkan El kalau dirinya tidak tahan kalau tidak bersama dengan Bian.

Bian yang memang tidak jago beradu kekuatan pun memilih untuk pasrah, terkulai lemas di tanah. Ia suka sekali memancing emosi El, dan jika cowok itu sudah terpancing maka konsekuensi yang ia dapatkan selalu seperti ini.

"LO SAMPAH!"

"MANTAN SAHABAT YANG SAMPAH!"

"LO GAK PANTES DISINI!"

"LO PECUNDANG."

El menendang perut Bian sebagai pengakhiran dari rasa kebenciannya. Ia berdecih, menatap cowok itu yang sudah terbatuk-batuk menahan sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Karena ini sama sekali bukan hal yang baru bagi mereka berdua, dan tentu saja dirinya cukup puas.

"Lo monster, El." gumam Bian sambil menyeka sudut bibirnya yang keluar darah.

El tidak menghiraukan ucapan Bian kepadanya. Ia langsung berlari menghampiri Alvira yang sudah menangis sesegukkan, dan dengan cepat ia memeluk tubuh mungil adiknya. "Jangan nangis." ucapnya sambil menjulurkan tangan lalu mengusap air mata tersebut dengan perlahan.

Alvira membalas pelukan El dengan sangat erat, merasa takut karena lagi-lagi menyaksikan kebrutalan sang kakak. "Aku sayang Kak Bian, Kak. Kakak jahat banget ih, masa Bian dipukuli kayak gitu." lirihnya dengan nada yang tersendat.

Kali ini El tidak menyalahkan Bian untuk sepenuhnya, lagipula ia memang salah sudah keteraluan memukul cowok itu sampai sebegitu parahnya. Lagipula siapa yang terima saat adik yang begitu ia sayangi di kata sampah?

"Sorry." Ia langsung melepaskan pelukan pada tubuh Alvira, dan langsung menaiki motor dan memakai helmnya kembali. "Pegangan lagi yang erat, nanti jatuh."

Alvira mengeratkan tubuhnya pada El, ia memeluk cowok itu berharap perasaannya akan membaik. Ia memejamkan matanya mengingat sebuah kejadian yang membuat mereka menjadi seperti ini.

Throwback

Malam itu di sebuah pesta malam yang diadakan oleh Bian dalam perayaan besar-besaran hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Dengan kemeja putih yang di padukan dengan jas dan bawahan bewarna hitam membuat tampilannya menjadi terlihat sangat mempesona, seolah-olah dia adalah cowok yang paling menjadi pusat perhatian karena bukan hanya Tuan rumah pesta tapi penampilannya juga sangat oke.

"Happy birthday, pacar kesayangan Alvira."

Bian tersenyum senang, lalu mengecup lembut puncak kepala cewek yang kini berpakaian bewarna serasi dengan dirinya. Rambut yang di cepol menjadi satu membuat leher jenjangnya menambahkan kesan manis dan menawan di saat yang bersamaan, keberuntungan memiliki Alvira adalah hal yang didambakan para cowok di sekolah dan dia berhasil mendapatkannya.

"Terimakasih, sayang." ucap Bian sambil menangkup wajah Alvira, ia menatap bibir ranum cewek itu dengan sorot mata yang sangat dalam.

Alvira merasakan jantungnya yang sudah berdegup kencang. Karena bagaimanapun, ia tidak pernah berciuman sebelumnya. Jangankan untuk berciuman, Bian adalah pacar pertama yang dimilikinya setelah cowok itu bersusah payah untuk meyakinkan El. Ia memejamkan matanya, seakan-akan siap untuk satu kecupan yang akan diberikan oleh Bian.

Tiba-tiba, ia merasakan benda kenyal yang menyapa bibirnya dengan lembut. Melumatnya dengan singkat, bersamaan dengan suara gemuruhnya tepuk tangan yang memenuhi area indoor di rumah ini.

Alvira membuka matanya, lalu tersenyum manis. "Aku ada hadiah buat kamu, tunggu sebentar ya." ucapnya sambil pergi meninggalkan Bian, merasa harus mengambil sesuatu.

Ia berjalan masuk ke dalam rumah cowok itu, karena memang sudah dekat dengan masing-masing keluarga jadi ia bisa bebas keluar masuk rumah. Ia mulai mencari kado yang tadi di letakkan dirinya tepat di atas nakas di samping televisi besar di ruang keluarga.

"Loh, kemana kadonya ya?"

Dengan panik, Alvira mencari-cari hadiah itu dengan wajah cemas. Bagaimanapun, kado itu sudah ia persiapkan dengan matang. Tidak mahal memang, tapi terdapat banyak memori di dalamnya. Dan itu.. sangat berarti baginya.

"Mencari ini?"

Alvira langsung menoleh dengan cepat ke sumber suara. Di sana terdapat seorang cowok yang memakai topeng pesta bewarna hitam sedang menggenggam kado bewarna silver miliknya.

"Iya, tolong kembalikan. Itu untuk Bian, kado punya ku." ucap Alvira dengan semangat, ia sangat senang jika ada orang yang ternyata menemukan benda tersebut dan langsung diberikan padanya.

"Tidak semudah itu."

"Maksud kamu?"

Dengan cepat, cowok itu langsung saja menarik kedua tangan Alvira. Membawanya ke dalam pelukan dan langsung melumat kasar bibir Alvira.

Alvira yang mendapatkan perlakuan seperti itu langsung saja memberontak dan berteriak minta tolong, ia takut dan sangat ketakutan. Sayangnya, suara teriakannya kalah besar dengan dentuman musik yang di putar oleh salah satu DJ sebagai pengisi acara.

"Argh, lepas!"

Dengan sangat tidak sopannya, cowok tersebut melepaskan ciuman mereka dan langsung mengikat pergelangan tangan Alvira dengan kain yang entah di dapat darimana. Ia mulai meraba bagian terlarang Alvira dengan nafsu.

"Lo cantik, tapi kakak lo terlalu bacot."

Alvira menangis menjadi-jadi, ia masih berusaha meminta pertolongan.

"WOY! LEPASIN ADIK GUE!"

Cowok yang bermain-main dengan tubuh Alvira pun langsung saja berlari meninggalkan cewek itu sendiri. Ia segera melesat keluar dari rumah melalui pintu belakang. El ingin mengejarnya, namun kalah cepat.

"Kak Bara, tolong Alvira..."

Dengan raut wajah khawatir, El berlari menuju Alvira yang sudah tergeletak di lantai. Ia segera melepaskan ikatan pada pergelangan tangan adiknya. Ia langsung memeluk tubuh cewek itu yang bergetar hebat dan menangis menjadi-jadi, tahu kalau kejadian ini akan menjadi trauma tersendiri bagi sang adik.

"Alvira takut Kak, takut..."

Dada El naik turun pertanda dirinya sedang dalam mode yang sangat marah, merasa gagal karena tak bisa menjaga sang adik. Ia mengelus punggung Alvira dengan sayang. "Ada gue, gue janji kejadian ini gak keulang lagi dan gak akan kesebar luas."

Mata Alvira menangkap sosok Bian yang berdiri tepat di sudut ruangan dengan kedua tangan yang masing-masingnya memegang segelas minuman orange juice, tatapannya kosong. Ia segera bangkit dari duduknya meninggalkan El yang menatap dirinya dengan heran.

"Aku mohon Bian, jangan salah paham."

Bian tersenyum simpul, lalu menaruh kedua gelas yang berada di tangannya ke atas nakas. "Gue liat semuanya, Ra. Gimana tangan cowok itu nyentuh lo, bahkan gue mati-matian nahan hasrat biar lo gak rusak. Tapi ternyata apa? lo rusak, Ra."

"Tapi aku korban, Bian. Aku gak sama sekali ada keinginan berbuat lebih, aku gak tau dia siapa."

"Bagi gue, itu sama aja, Ra. Gue kecewa, yang seharusnya nanti barang lo buat gue pas udah nikah tapi di sentuh cowok lain."

"Plis--"

"Gue mau putus."

"Bian, kamu salah paham! jangan putusin aku, aku sayang banget sama kamu. Plis Bian, jangan jahat."

"Keluar dari rumah gue, SEKARANG!"

Throwback off

Napas Alvira tercekat, ia kembali mengingat kejadian satu tahun yang lalu, yang terasa sangat merendahkan dirinya. Ia memeluk El dengan kuat. "Kak Bara, Alvira mau minum obat penenang lagi."

...

Next chapter

avataravatar
Next chapter