3 BAB 3 (MEETING)

Setelah drama kopi tumpah selesai, tak lama kemudian Adara dipanggil ke ruangan Reynald. Sam masih ada di sana. Dia dipersilakan duduk di samping Sam.

Setelah Reynald bicara serius dengannya, Adara nampak terkejut. "Meeting dengan Pak Gerry dari perusahaan GG?"

"Iya. Dia akan datang dengan asistennya, Pak Dimas."

Adara mengangguk. "Baik Pak," responnya patuh. Walaupun dia heran kenapa harus dia yang ikut meeting ini. Biasanya orang dari divisi marketing yang maju. Walaupun kadang beberapa orang divisi PR juga ikut diminta hadir meeting. Tapi ini pertama kalinya Adara meeting dengan calon penanam saham kelas 'kakap'. Biasanya Siska yang sering diminta menemani klien.

"Hanya saja, tempat meeting-nya agak kurang lazim mungkin. Pak Gerry minta supaya meeting-nya di bar."

"Bar?" Adara terlihat bingung.

Reynald melirik Sam. "Iya. Pak Gerry itu memang orangnya agak ... antik."

Sam segera menambahkan. "Kami mengerti kamu muslim. Kalau dia menawarimu minuman keras, kamu tolak saja dengan halus. Yang penting kamu di sana untuk presentasi singkat, sambil menemani mereka minum."

"Iya Pak," kata Adara. Reynald senang melihat Adara bersedia meeting dengan pak Gerry. Sementara Sam terlihat khawatir.

Setelah mereka pamit keluar dari ruangan Reynald, Sam memanggil Adara. "Adara."

"Iya Pak?" sahut Adara berbalik badan.

"Lusa nanti sebelum berangkat meeting, jangan berangkat sendiri ya. Ajak satu orang staf laki-laki, ikutan meeting bareng kamu juga, oke?"

Adara tersenyum. "Iya Pak." Sam membalas senyum Adara dan berjalan ke ruangannya. Adara mengamati punggung Sam dari belakang. Direktur muda tampan beristri satu dan beranak dua itu dikenal sebagai family man yang memang dikenal perhatian dengan karyawannya.

Nyebelin. Kenapa yang seperti dia biasanya statusnya sudah not available?

***

Adara menutup pintu mobilnya yang baru saja diparkir di luar Bar Chino. Dia mengecek folder dan tas berwarna emas, memastikan semua terbawa. Tangannya merapikan ujung baju terusan ketat berwarna merah-hitam. Setelah yakin tak ada yang tertinggal, Adara berjalan ke pintu masuk Bar dan mendorong gagang pintu kayu yang tinggi. Seketika tercium aroma woody. Membuatnya merasa rileks. Permukaan lantai, panel dinding dan hampir semua furnitur terbuat dari kayu. Lukisan-lukisan poster tergantung di dinding dengan nuansa hitam putih bergambar gelas berisi wine dan beragam merek botol bir.

Adara semestinya datang berdua dengan seorang staf laki-laki bernama Stevan, tapi mendadak Stevan harus menghadiri meeting dadakan di tempat lain. Dan akhirnya hari ini Adara datang sendiri ke bar.

Mata wanita itu menyusuri seisi ruangan. Di samping kirinya ada meja bar panjang dengan bangku-bangku. Di samping kanannya adalah deretan meja-meja kotak dengan 4 kursi disekelilingnya. Adara menyisir rambutnya dengan jemari. Mengibas rambut dengan gerakan yang terasa wajar, seolah sensualitas adalah bagian dari dirinya. Kehadirannya di ruangan itu mampu membuat setidaknya tiga pria melirik ke arahnya.

Dan salah satu diantaranya adalah seorang pria berjaket hitam yang sedang duduk di salah satu bangku bar, bibirnya mengapit sebatang rokok. Dalam sekali lirik, pria ini berhasil menarik perhatian Adara. Membuat hatinya berdesir. Ada sesuatu pada dirinya yang terasa bagai magnet bagi Adara. Mungkin karena tatapan dingin di matanya, atau posisi duduknya yang nampak begitu kasual, tapi tetap nampak maskulin.

Tak seperti pria yang lain yang memperhatikan Adara, pria berambut semi gondrong ini hanya mengamati tubuhnya tiga detik, dan melengos ke arah lain. Sepasang mata Adara mengamati punggung pria itu yang nampak bidang, sebelum dia melewatinya dan mendekat ke kursi di samping deretan jendela kaca. Seorang diantara mereka melambaikan tangan. Pria paruh baya dengan kumis beruban yang wajahnya mesum. Melihat wanita secantik Adara datang, dia nampak sumringah. Adara membalas senyumnya. Dia segera mengenali pria ini sebagai Pak Gerry. Dia persis seperti yang digambarkan pak Reynald dan Sam padanya.

Adara berjalan semakin mendekat ke meja mereka. Seorang pria muda berumur 20-an awal, duduk di samping Gerry. Mereka berdua nampaknya seumuran. Pria bernama Dimas itu nampak seperti seorang kutu buku, dengan kacamata baca berbingkai tebal. Tatapan Adara membuatnya salah tingkah. Adara melempar senyum padanya, dan pria itu menarik senyum lesung pipitnya dengan gugup.

Gerry dan Dimas berdiri serempak dari kursi mereka. Gerry yang pertama kali menyapanya. "Selamat datang, Ibu Adara. Anda cantik seperti nama anda."

Adara menyambut jabat tangan pria itu. "Terima kasih Pak Gerry. Anda bisa saja." Senyum Adara mengambang, menawan hati pria yang sebenarnya lebih pantas menjadi ayahnya.

Adara bergantian menyalami pria di samping Gerry. "Selamat sore Bu. Saya Dimas, staf Pak Gerry."

"Selamat sore Pak Dimas. Saya Adara, staf Pak Sam dan Pak Reynald. Mohon maaf mereka berhalangan hadir."

"Ah tak apa. Kami maklum, kami dengar beliau sedang ada schedule lain," kata Dimas.

Gerry menengahi percakapan basa-basi mereka berdua. "Saya enggak keberatan mereka berhalangan hadir. Kalau penggantinya secantik anda, saya malah senang." Komentar menggoda itu membuat Adara berlagak tersipu malu. Dia menyematkan tepi poninya ke belakang daun telinga. "Ah Pak Gerry bisa saja. Saya jadi malu."

Tingkah Adara membuat Gerry gemas melihatnya. Sementara Dimas melempar pandangan ke luar kaca. Menahan malu karena bahkan di awal meeting, bosnya sudah mulai melancarkan usaha merayu wakil dari perusahaan lain.

Setelah sesi basa-basi itu, mereka bertiga duduk. Saat menundukkan badan, kerah baju Adara yang rendah menampakkan bagian pribadinya. Dimas tak berani melihat, sementara mata Gerry tak melewatkan kesempatan emas itu. Hari ini Raymond telah 'menyuguhi' dia dengan pemandangan indah. Adara adalah staf perusahaan mereka yang paling cantik yang pernah ditemuinya. Bukan hanya cantik, tapi juga memiliki bentuk tubuh yang sangat oke menurut penilaiannya.

Gerry memberi isyarat tangan pada staf bar. Staf laki-laki yang nampaknya belum genap berusia 20 tahun itu, datang menghampiri mereka. "Permisi. Ada yang bisa saya bantu?"

Gerry mengangkat tiga jari tangannya. "Bawakan white wine untuk tiga orang."

Adara segera meralat. "Maaf, saya muslim. Saya enggak minum wine. Silakan Bapak-bapak saja yang minum. Saya jus jeruk saja."

Pernyataan itu membuat Gerry nampak terkejut. "Oh begitu? Kamu yakin enggak mau minum? Wine di sini termasuk yang terbaik, lho. Sedikit saja enggak akan mabuk kok. Bener deh."

Dimas merapatkan bibirnya. Gelisah. Sepertinya tak sepantasnya Gerry tetap bersikukuh merayu Adara untuk minum, padahal wanita itu sudah dengan tegas menolak. Tapi Dimas tak berani menegur atasannya itu. Dia takut dipecat. Banyak tagihan yang harus dibayarnya, sementara mencari pekerjaan di tempat lain yang gajinya sebesar tempat kerjanya sekarang, sama sekali bukan hal mudah.

Ajakan itu sempat membuat Adara merasa tidak enak. Tapi dia akhirnya tetap pada pendiriannya. "Maaf Pak Gerry. Saya setir mobil sendiri. Untuk amannya, sebaiknya saya sama sekali tidak minum alkohol." Penolakan itu disertai dengan senyum manis yang membuat Gerry terpesona. Hatinya kembali bergejolak.

"O-oh iya. Baiklah kalau begitu, Bu Adara." Dia beralih ke staf bar yang berdiri di sampingnya. "Kalau begitu, white wine untuk dua orang, dan satu jus jeruk."

Staf itu membungkuk hormat. "Baik. Pesanannya white wine dua dan satu jus jeruk. Segera kami siapkan. Permisi."

Adara segera mengeluarkan map dari tasnya. "Gimana Bapak-bapak? Meeting-nya mau dimulai sekarang?"

Gerry nampak kecewa saat Adara terlihat ingin cepat-cepat menyudahi pertemuan mereka. "Waduh kok cepat sekali Bu? Baru saja bu Adara datang. Santai dulu boleh kok Bu. Ya 'kan Dimas?"

Dimas menjawab tergagap. "E-eh ... iya Pak."

Adara memiringkan kepalanya sedikit dan berlagak seolah merajuk. "Aduh maaf Pak Gerry. Setelah ini saya ada urusan di tempat lain, jadi kalau bisa sih saya tidak pulang kemalaman."

Gerry dengan terpaksa mengalah. Wanita di hadapannya ini nampaknya tipe yang agak sulit dibujuk. "Oh begitu. Baik kalau begitu silakan dimulai meeting-nya, Bu."

Tangan Adara membuka map di atas meja. "Baik. Saya mulai ya."

Adara mulai membagikan beberapa dokumen pada kedua pria di hadapannya. Dia memang sudah menyiapkan dua rangkap. Adara memulai presentasinya. Menjelaskan beberapa skema investasi. Dimas memaksa dirinya fokus pada dokumen di hadapannya dan penjelasan Adara, sementara Gerry membiarkan dirinya terhanyut menikmati kecantikan Adara. Alis matanya yang lengkung, sepasang mata yang indah, bibir yang seksi, leher jenjang, kulit putih mulus, dan bahkan suara Adara terdengar bagai lantunan lagu yang indah. Sepertinya dia betah berjam-jam melihat pemandangan di depannya tanpa berkedip.

Entah sudah berapa lama dia melamun, mendadak tangan seseorang menepuk pundaknya. "Pak ... Pak Gerry!"

"Hah?" Gerry menoleh dan tersadar kalau Dimas yang menggoyangkan pundaknya.

"Gimana Pak? Kita mau pilih skema yang mana?"

Gerry mengernyitkan dahi. "Oh? Presentasinya sudah selesai?"

Menyadari kalau selama presentasi ternyata bosnya entah melamunkan apa, Dimas menggelengkan kepala, sementara Adara menutup bibirnya menahan tawa.

"Sudah selesai Pak. Bu Adara sudah menjelaskan beberapa skema. Ini Pak. Ada di halaman yang ini." Dimas dengan sigap menunjukkan halaman yang dimaksud.

Gerry manggut-manggut. Dia hanya melirik sekilas. "Baik. Saya paham. Setelah saya pertimbangkan, saya akan pilih yang nomor tiga ini."

Adara menggoreskan tinta pulpennya di buku notes hitam, yang sudah dia persiapkan untuk mencatat hasil rapat. "Baik Pak. Akan saya sampaikan pada atasan saya. Besok saya akan siapkan dokumennya untuk bisa Bapak tanda tangani. Saya usahakan lusa dokumennya sudah siap."

Gerry mengangguk puas sembari mengelus kumisnya yang beruban. "Saya percaya. Saya percaya kalau Bu Adara tipe wanita yang ... gesit." Kata 'gesit' itu diucapkannya bersamaan dengan kedipan mata.

Sekalipun sebenarnya Adara merasa ill feel melihat pria usia lanjut di hadapannya berusaha menggodanya, dia merasa tetap harus berusaha terlihat profesional. Adara memasang senyum manisnya.

Dasar tua bangka bau tanah. Kamu pikir bisa memiliki wanita sepertiku? Dalam mimpi pun, itu tidak akan terjadi!

Menyadari Adara yang mulai muak dengan usaha bosnya menggodanya, Dimas berusaha memperbaiki suasana, supaya pertemuan mereka lebih terasa seperti rapat membahas pekerjaan, dan bukan ajang pencarian jodoh.

"Maaf, Bu Adara. Untuk persiapan surat-suratnya, adakah persyaratan yang perlu saya siapkan?"

Pengalihan itu membuat Adara nampak senang. Dimas agaknya cukup sensitif dan mungkin sudah terlatih memperbaiki suasana yang buruk akibat ulah bosnya.

"Oh ya. Besok saya akan email Pak Dimas. Maaf, bisa minta kartu namanya?"

Mereka saling bertukar kartu nama, dan giliran Gerry memberikan kartu namanya, dengan sengaja dia meraba punggung tangan Adara. Merinding bulu kuduk Adara dibuatnya. Sungguh menjijikkan. Nampaknya sesampainya di rumah, dia akan perlu mencuci tangan hingga bersih.

Adara nampak ingin menyudahi pertemuan mereka. Langit di luar mulai gelap. Tapi Gerry nampak enggan berpisah dari Adara. Dia masih berusaha menahannya dengan alasan 'ngobrol-ngobrol dulu lah', 'jam segini mah masih sore' dan alasan senada. Setelah meeting yang sukses karena mereka memutuskan akan menanamkan modalnya untuk investasi, Adara merasa tidak enak kalau dia langsung pulang. Dia melirik sekejap ke jam tangannya. Pukul 6 lewat. Jam segini biasanya sudah masuk waktu sholat Maghrib. Tapi karena mereka ada di tempat yang jauh dari masjid, tentu saja suara lantunan azan tak terdengar.

"Ayolah ... temani saya minum dulu. Sebentar saja, oke?"

Adara menghela napas. Memaksakan bibirnya tersenyum. "Baiklah. Tapi saya enggak bisa lama-lama ya Pak."

"Iya iya. Sebentar aja kok. Ha ha." Gerry memanggil seorang pelayan wanita dengan isyarat tangannya. Tak lama pelayan wanita berseragam hitam itu menghampiri mereka. "Permisi. Ada yang bisa saya bantu?"

"Tambah lagi wine-nya. Bawakan sekalian satu botol. Sedang ada perayaan di sini." Pernyataan itu dilontarkannya bersamaan dengan kedipan nakal ke arah Adara.

Wajah Dimas nampak pucat saat mendengar bosnya memesan wine tambahan satu botol. Perasaannya tidak enak. Mungkin tidak apa-apa, pikirnya. Toh mereka datang bersama supir.

Adara membalas kedipan genit Gerry dengan cengiran maklum.

Sabar ... sabar ... dasar tua bangka! Kira-kira sampai jam berapa aku akan terjebak di sini??

***

Chapter 4 dst, insyaallah akan tayang di platform Kubaca. Install aplikasi Kubaca di google play, dan cari judul novel Eksperimen. Sampai ketemu di sana :)

avataravatar