2 BAB 2 (KANTOR)

TAK TOK TAK TOK. Suara entakan ujung hak sepatu tinggi Adara dengan lantai marmer terdengar lantang, tapi bukan karena itu orang-orang menolehkan mata ke arahnya.

Adara mengibas rambutnya yang terurai berombak. Memperlihatkan kulit lehernya yang putih mulus. Baju atasan kemeja lengan panjangnya berwarna putih polos, dengan tiga kancing teratas dibuka. Kemeja biasa sebenarnya, tapi berhubung Adara yang memakainya, bagian atas seolah kesempitan. Bawahan rok mininya berwarna hitam. Cukup pendek hingga pria-pria yang berjalan di belakangnya tak ada satupun yang absen memandangi lekuk tubuhnya.

Seorang pria di belakangnya yang sedang berjalan dengan pacarnya pun tak kuasa untuk tak menoleh ke arah Adara.

Pria itu dicubit pinggangnya oleh wanita di sampingnya. Cubitan pedas itu diiringi dengat pelototan, yang akhirnya membuat pria itu berpikir ulang untuk melirik Adara sekali lagi, dan lebih memilih menunduk ke lantai.

Pacar pria itu nampak penasaran. Siapa sih dia? Berani betul pakai baju se-seksi itu ke kantor! Apa urat malunya sudah putus?

Hari ini hari Senin, hari ketiga Adara membuka hijabnya. Tapi di kantor barunya, ini adalah hari pertama. Pagi ini dia terbangun dengan penuh semangat. Hari ini adalah hari baru untuknya. Dia merasa seperti 'terlahir kembali.'

Adara baru bekerja di kantor ini selama 3 bulan. Dia bekerja sebagai salah satu staf PR (Public Relation) di sebuah perusahaan investasi di Jakarta Pusat. Belum lama ini dia baru saja diangkat menjadi staf tetap, setelah lolos masa percobaan.

Seorang pria yang berjalan di belakang Adara mempercepat langkahnya. Penasaran setengah mati, seperti apa wajah Adara. Saat sudah sejajar di samping Adara, dia berlagak pura-pura tak sengaja menegok ke samping. Dan ternyata Adara bahkan lebih cantik dari yang dia bayangkan.

DUK! "ADUH!!" Sialnya pria itu menabrak sebuah tiang marmer di tengah ruangan lobi yang luas. Dia terpana menatap Adara sampai tak sadar kalau di depannya ada tiang. Orang-orang di belakangnya cekikikan. Adara hanya tersenyum meledek. Srimulat banget sih.

Beginilah mereka. Laki-laki. Adara masih ingat dulu waktu dia SMA, saat itu dia belum memakai hijab. Baju seragamnya padahal tidak salah ukuran, tapi karena Adara yang memakainya, anak laki-laki selalu terbelalak melihat ke arahnya (baca : ke arah dadanya). Kecuali laki-laki tertentu saja, yang jumlahnya sangat sedikit. Mereka lebih memilih menundukkan pandangan. Tapi bagaimanapun, Adara yakin itu bukan karena mereka tidak mau melihat. Sebenarnya, mereka mau. Adara berpikir, mereka cuma munafik saja.

Anak-anak perempuan banyak yang iri setengah mati padanya. Saat itu, agak sulit baginya mendapatkan teman perempuan. Dia bukan cuma cantik, tapi juga seksi. Tidak bisa dipungkiri, Adara menikmati semua perhatian itu. Saat seluruh mata laki-laki seperti tertarik pada magnet di tubuhnya. Dia heran sebenarnya. Tubuh ini sudah diciptakan seperti ini. Kenapa keindahan harus ditutupi? Ini bukan salahnya punya bentuk tubuh seperti ini.

Jari telunjuk Adara baru akan menekan sebuah tombol bertanda panah ke atas di dinding lift. Tapi seorang pria mendahuluinya. "Biar saya saja, Mbak," katanya. Adara menoleh. Dia tidak mengenal pria ini. Mungkin pria ini bekerja di lantai yang berbeda dengannya. Adara membiarkan pria itu menekan tombol lift. Sebuah senyum manis dari Adara membuat pria itu salah tingkah.

Perlakuan baik semacam ini sangat jarang diterimanya saat dia masih berhijab. Biasanya pria-pria acuh saja. Walaupun saat mereka memperhatikan dari dekat, barulah mereka sadar kalau wajah Adara sangat cantik. Tapi ketika sebuah hijab dikenakan, seolah itu adalah sebuah tanda 'menjauhlah,' 'jangan terlalu dekat denganku, kecuali kamu mau menikahiku,' atau 'hati-hati, syariat saya ketat.'

Mereka masih menunggu lift turun. Tulisan di bagian atas pintu lift masih menunjukkan angka 15. Pria itu menelan ludah, gelisah. Akhirnya dia memulai percakapan. "Maaf Mbak, kerja di lantai berapa ya?"

Adara menatap pria ini yang kelihatannya kebelet ingin kenalan dengannya. Dia sedang mempertimbangkan. Malas sebenarnya, rasanya ingin dijawab dengan 'kasih tau nggak eaa?' tapi setelah agak lama akhirnya dia menjawabnya, "lantai tujuh."

"Oh ... lantai tujuh. Saya di lantai sepuluh. Tapi saya enggak pernah lihat Mbak di sini. Baru ya?"

Adara tersenyum. Bukan baru, tapi kamu aja kali yang selama ini cuek sama saya, karena saya tadinya berhijab. "Iya sih ... baru tiga bulan."

TING! Pintu lift terbuka. Orang-orang di dalam lift sempat tertegun sejenak melihat Adara, sebelum mereka berhamburan keluar dari lift. Adara segera masuk ke dalam lift. Orang-orang lainnya yang sudah menunggu, segera berebut masuk ke dalam lift, khawatir keburu penuh.

TEET!! Bunyi peringatan lift berbunyi. Beberapa orang dengan terpaksa keluar dari lift. Pintu lift tertutup. Pengguna lift berdesakan hingga Adara terjepit di ujung belakang lift. Dia jauh dari pintu lift. Ah ... aku lupa tekan tombol 7, batin Adara. Pria yang tadi menyapanya di luar lift, rupanya ada di sampingnya. Adara menyentuh lengan kemeja pria itu. Dia terlihat kaget bercampur senang. Adara berbisik, "psst ... tolong tekan tombol 7. Aku lupa tadi."

Pria itu mengangguk. Tangannya dijulurkan dan dia akhirnya dibantu seseorang yang berdiri di samping tombol. Tombol 7 sudah menyala. Adara merasa lega. Dia mengedipkan mata pada pria itu. "Thanks," kata Adara berseri-seri. Pria itu girang bukan kepalang. Jantungnya berdegup kencang. Lengan wanita yang berdempetan di sampingnya terasa hangat. Matanya melirik ke samping bawah, melihat 'pemandangan gratis' dari kemeja Adara yang terbuka kancingnya. Adara tahu, tapi dia membiarkannya. Laki-laki. Mereka semua sama saja.

TING! Lift sudah sampai di lantai 7. Pintunya terbuka, dan pria di samping Adara segera membukakan jalan, spesial untuk Adara. Sementara seorang wanita yang sudah mengamati dengan kesal gerak-gerik Adara sejak di lobi lantai bawah, ikut keluar juga di lantai tujuh, mengekor di belakangnya. Adara dan wanita itu keluar dari pintu lift.

Pria yang kesengsem berat dengan Adara baru menyadari sesuatu. Sementara pintu lift sudah mulai tertutup kembali. "EH! TUNGGU! SIAPA NAMA -- " ZREG! Pintu lift tertutup.

***

Wanita itu mengamati Adara dari belakang. Aneh, pikirnya. Dia sudah bertahun-tahun bekerja di lantai ini. Tapi baru kali ini melihat wanita ini. Anak barukah? Rasa ingin tahu menguasai dirinya. Akhirnya dia memberankikan diri bertanya.

"Maaf, permisi Mbak."

Adara berhenti dan menoleh ke belakang. Wanita di belakangnya berambut lurus pendek di atas bahu. Terlihat cantik dengan mata lebar dan bibir merona merah. Dia memakai blazer diluar kemejanya, dan rok di bawah lutut. Adara segera mengenalinya sebagai salah satu staf senior di kantor. "Pagi, Mbak Siska!"

Siska terlihat heran. Bagaimana wanita itu bisa mengenalinya?

"Em ... maaf. Kok Mbak bisa kenal saya?"

Adara terdiam bingung. Barulah dia mengerti kalau penampilannya yang baru, tak dikenali. Dia tertawa pelan. "Mbak Siska masa' enggak kenal saya? Saya Adara, Mbak."

"Adara? Ooh ... HAHHHH!!! ADARA?? ADARA YANG BERJILBAB?? EH--!!" wanita itu menutup mulutnya. 'Adara yang TADINYA berjilbab,' agaknya lebih tepat.

Adara tersenyum mengangguk.

"A-APA YANG ... ?? GIMANA ... ? KOK??" tanya Siska tergagap. Banyak pertanyaan dalam kepalanya, tapi tak ada satupun yang keluar dengan benar, karena dia tak pernah menyangka. Tiga hari yang lalu, wanita di depannya ini menutup aurat, lalu tiba-tiba hari ini ...

"Ahaha ... enggak ada apa-apa. Saya cuma mengambil keputusan. Itu aja. Ayo Mbak, kita masuk," ajak Adara seraya menunjuk ke arah pintu ruangan mereka. Siska yang masih syok memasuki ruangan kantor bersama Adara. Adara versi terbaru. Tak ayal, banyak diantara staf yang terkaget-kaget. Awalnya mereka pikir Adara adalah staf dari lantai berbeda yang sedang mengurus sesuatu di kantor mereka.

.

.

TOK! TOK! pintu diketuk dari luar ruangan bos besar.

Terdengar suara pria paruh baya dari dalam ruangan. "Masuk."

Seorang office boy permisi membawakan secangkir kopi panas. Meletakkannya di atas meja kaca, di samping papan nama bertuliskan KOMISARIS UTAMA : REYNALDI KASALI.

Reynald mengangguk singkat tanda terima kasih, lalu office boy itu pamit keluar ruangan.

"Kopi, Sam?" tanyanya basa-basi pada stafnya yang sedang duduk di kursi seberangnya. Sam adalah salah seorang Direktur muda di perusahaan ini. Reynald adalah pemilik perusahaan.

"Ya pak. Silakan," jawab Sam sopan.

Reynald menyeruput kopinya sedikit. "Jadi, seperti yang kamu sudah tahu, perusahaan GG kemungkinan akan invest ke kita dalam jumlah besar. Kira-kira, apa ada orang marketing kita yang bisa meeting dengan perwakilan mereka?"

Sam terlihat berpikir. "Kapan waktunya, Pak? Saya akan minta Yona dari bagian marketing, supaya dia bisa siapkan bahan-bahan presentasi."

Reynald menggeleng. "No no. Maaf, kalau bisa jangan dia. Masalahnya, Pak Gerry akan ada di meeting itu, dan dia yang akan ambil keputusan nantinya. Kamu tau 'kan Pak Gerry kayak gimana?" tanya Reynald dengan lirikan mata penuh arti saat menyebut nama 'Gerry,' dan Sam paham kenapa. Sam pernah beberapa kali berurusan dengan orang bernama Gerry. Gerry adalah tipe pebisnis yang selalu ingin diservi' dengan 'pemandangan' wanita cantik di setiap meeting. Walaupun selama ini tak pernah ada satu staf wanita pun yang mengadukan pelecehan seksual, tapi bukan berarti hal itu sama sekali tidak ada. Sam sebenarnya selalu enggan mengutus staf wanita untuk meeting dengan tua bangka genit itu. Tapi kalau sudah perintah atasan, mau bagaimana lagi.

Sam menggeser posisi kacamatanya. "Kalau begitu ... bagaimana kalau Siska dari divisi PR? Dia cantik, saya rasa."

Reynald terlihat ragu. "Hmm ... apa masih ada option lain?"

Alis Sam berkerut. Mencoba mengingat-ingat.

TOK! TOK! Pintu kembali diketuk.

"Ya. Masuk," sahut Reynald sembari mengangkat cangkir kopi panasnya.

Adara memasuki ruangan. "Permisi Pak Reynald. Saya mau kasih beberapa berkas."

Reynald dan Sam terbelalak melihat penampilan Adara yang sangat seksi. Mereka berdua terpana agak lama, tapi rupanya Sam berhasil tersadar lebih dulu. CUURRRR.....!! Suara air tumpah menarik perhatiannya. Dia menengok ke arah bosnya. "PAK!! KOPINYA!!! KOPINYA TUMPAH!!"

"ADUHHH!!! AWW!! PANAS!!!" Reynald segera meletakkan cangkirnya yang sudah kosong di atas meja. Kopi panas itu rupanya tumpah dan merembes ke celana panjangnya. Sepertinya celana dalamnya pun ikut basah sekarang. "HWAAHHHH!!!! PANAAASSSS!!!! PANASSS!!!" pekiknya bak cacing kepanasan. Sensor indera perasanya yang sempat mati suri akibat menyaksikan keseksian Adara, rupanya baru berfungsi sekarang.

Sam berlari mendekati Adara. "CEPAT! CARI O.B! MINTA DIA KE SINI BAWA LAP!!"

Adara menutup bibirnya, ketakutan. "I-IYA PAK! SEGERA!!" Adara keluar ruangan dan berlari ke arah pantry. Sam masih bisa melihatnya sebelum dia berbelok.

"TUNGGU SEBENTAR!!" Adara berhenti berlari. "Ya, Pak?"

"Siapa namamu? Kamu staf baru?"

"Saya ... Adara, Pak. Divisi PR. Permisi Pak, saya ke pantry dulu." Adara segera berbelok ke arah pantry.

Sam terkejut. "Adara? Adara ... yang biasanya berjilbab?"

***

avataravatar
Next chapter