webnovel

Anak Yang Pernah Mati

"Sekejam apa dunia ini, kalau seseorang yang sudah pernah bertemu maut saja, malah dipaksa kembali dalam kehidupan untuk menjalani hidup yang tak pernah ia inginkan." Ayu berbisik pada dirinya sendiri sembari menyeruput jus strawberry.

Meski nada suaranya terkesan merendahkan, dan wajahnya tampak tak peduli, namun di matanya yang merah bagaikan darah terpancar kesedihan yang seakan sudah dibendung sangat lama.

Di siang itu, gadis muda tujuh belas tahunan berambut panjang halus dan berseragam ketat putih-merah itu tampaknya sedang melakukan perbincangan serius dengan seorang anak lelaki gondrong yang duduk di hadapannya.

"Lihat, seisi sekolah dibuat ramai oleh berita tentang seorang anak baru yang katanya pernah mati sebelumnya... Dan jujur, aku sama sekali nggak menyangka kalau itu beneran kamu." Ayu menatap anak lelaki yang masih tertunduk itu dengan emosi. "Heh, lihat aku dong, Nio."

"A-Ah iya. Maaf, Yu." Ucap anak lelaki itu pelan dengan wajah yang kosong dan lesu. Alisnya melengkung sedih. Dari tampangnya, ia jelas masih berusia dua belasan.

"Hey, udah tiga tahun sejak aku dan keluargaku pindah, tapi sikapmu itu masih saja nggak berubah loh. Astaga, Nio." Ayu menghela nafas dalam karena saking bingungnya. Entah kenapa darahnya serasa panas tiap kali melihat Nio bertingkah seperti ini.

Ya, sejak dulu dia memang tidak pernah menyukai sifat pemalu dan plin-plannya. Jadi, dia sudah terbiasa. Akan tetapi, situasi inilah yang membuatnya jadi tambah pusing.

Anak berambut gondrong hitam legam itu kembali menunduk sedikit, tapi Ayu bisa melihat dengan jelas warna matanya yang keemasan dengan titik biru di tengahnya. Sungguh mata yang indah, meskipun itu selalu mengingatkan Ayu dengan kenangan-kenangan yang pahit.

"Apa kau yakin mau bersekolah di sini?" Ayu bertanya lagi. "Bukannya aku meremehkanmu lho, Nio. Sama sekali nggak, dan nggak akan pernah. Tapi akan berbahaya kalau kau tetap tinggal di sini. Lebih baik kamu kembali ke Kendari dan lanjutkan sekolahmu aja."

Namun, di tengah-tengah suasana yang menegangkan itu, Ayu sadar kalau ternyata hampir semua murid di sekolah tengah mengintip mereka berdua dari balik dinding kaca jauh di belakang Nio, dan bahkan ada juga yang di balkon.

Waktu itu sebenarnya sedang jam istirahat makan siang dan mereka berdua sedang berada di kantin, tapi tempat itu jadi sangat sepi karena kehadiran Nio. Murid-murid lain saat ini memilih untuk menjaga jarak sampai mereka tahu Nio berbahaya atau tidak.

"Tapi... Ayu, cuma kamu doang satu-satunya kenalanku yang masih ada." Jawab Nio ragu-ragu. "Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi di Kendari."

Ayu kembali menghela nafas lagi. Ia memijat-mijat keningnya karena tingkat stresnya yang tiba-tiba meningkat drastis.

"Ya sudahlah. Kalau begitu kamu makan dulu, baru habis itu kita ke tempat kepala sekolah. Dan ingat, usahakan kendalikan kekuatanmu saat tes nanti. Aku nggak mau tahu kalau kau sampai menghancurkan sekolah ini." Ayu mengingatkan dengan keras.

Seorang gadis pelayan tiba-tiba datang membawa makanan dan minuman yang sudah dipesan oleh Ayu sebelumnya; dua piring steak dan nasi putih hangat, juga dua gelas es teh beraroma lemon.

"Ini pesananmu, Ayu. Maaf kalau agak lama. Silahkan dinikmati, ya." Ujar gadis pelayan itu dengan ramah, tapi anehnya tampak jelas keringat dingin mengalir di wajahnya.

"Eh? Harusnya kamu nggak usah repot-repot, Yu." Nio mencoba untuk menolah makanan yang dibelikan oleh Ayu.

"Ya Tuhan. Makan aja, Nio. jangan bikin aku tambah stres dong." Ayu mengeluh kesal.

"Tapi... Aku ada duit juga..." Nio berbisik pelan.

Ayu yang baru saja bersiap untuk memotong steak langsung terhenti seketika. Urat di pelipisnya timbul dan kepalanya serasa seolah akan meledak sebentar lagi.

"Nio, kalau kau bicara sekali lagi aja, satu kata aja, aku bersumpah, mulutmu akan kutimpuk pakai balok kayu loh." Ancam gadis itu sambil tersenyum seram.

"A-Ah, baiklah." Nio bergegas memegang garpu dan pisaunya. "Tapi di sini kayaknya nggak ada balok kayu juga deh..." Bocah itu berbisik amat-amat pelan sebelum mulai memotong steak.

Ayu makan dengan lahap sementara Nio makan dengan gerakan lambat dan ragu-ragu seperti orang awam.

Ketika menyadari bahwa perbincangan antara dua orang itu telah selesai dan mereka mulai makan, murid-murid lain pun akhirnya keluar dari persembunyian mereka dan kembali membuat kantin jadi sedikit ramai.

"Hey, Ayu." Seorang pemuda berambut pirang kekuningan yang seumuran dengan Ayu tiba-tba datang menghampiri mereka mereka dengan percaya diri. "Masih lama nggak? Kepala sekolah udah nungguin kamu dari tadi loh. Persiapan untuk tesnya udah selesai soalnya." Pemuda itu menjelaskan maksud kedatangannya.

"Oh, baiklah kalau begitu. Nanti selesai makan kami akan langsung ke sana." Ujar Ayu sambil memasukkan sepotong kecil daging ke mulutnya. "Ah! Nio, perkenalkan, ini Arif Arregar, dan dia juga sudah kelas tiga sama sepertiku. Arif, anak ini namanya Nio Narathel." Ayu dengan mulut yang masih setengah mengunyah memperkenalkan pemuda itu pada Nio.

"Ah... Halo, Kak." Sapa Nio sambil tersenyum kikuk seperti orang tolol.

Ayu yang cuma bisa melihat hanya mampu menghela nafas dalam lagi untuk yang kesekian kalinya.

"Dan ngomong-ngomong, Arif ini adalah murid terkuat di akademi loh." Ayu menambahkan sambil nyengir.

"Yang terkuat? Tapi Kakak ini kayaknya kelihatan biasa aja tuh..." Nio melontarkan komentarnya dalam bentuk bisikkan pada Ayu, tapi jelas saja Arif mendengarnya dan itu membuat kepalanya panas. "Terus kalau Ayu ada di peringkat berapa? Kamu kan seharusnya kuat banget."

"Ah, aku nggak terlalu peduli dengan itu kok. Merepotkan soalnya." Gadis itu tersenyum lebar sambil melirik Arif yang hanya memutar matanya.

"Ayu juga kayaknya nggak berubah banyak, ya." Kata Nio setelah menelan makanan di mulutnya.

"Udah-udah, kamu fokus makan dulu aja." Perintah gadis itu, dan Nio segera mematuhinya.

"Eh, kamu kayaknya kenal banget dengan anak kurang ajar ini." Arif bertanya pelan-pelan. Mata cokelatnya saling bertukar dengan mata merah darah Ayu. "Setahuku, kamu juga nggak punya keluarga lain selain ibu dan ayahmu."

"Kami dulu tetanggaan." Jawab Ayu acuh tak acuh. "Aku bahkan ada di rumahnya ketika dia dilahirkan." Gadis itu merasa lucu karena tak bisa mempercayai kata-katanya sendiri. Padahal fakta kalau ia sudah mengenal Nio sejak ia masih kecil itu memang sudah tak bisa disangkal lagi.

"Ah, begitu rupanya." Arif tampaknya sedang mencari-cari pertanyaan lain dalam benaknya. "Bagaimana dengan kekuatannya?" Pemuda itu lalu mengarahkan pandangannya pada Nio seakan sedang menilainya. "Dia juga nggak kelihatan kuat, lho... Maksudku, bakat macam apa yang dimiliki anak seperti ini?"

Ayu tersenyum kecil. "Heh... Menilai buku dari sampulnya, ya? Kebiasaan burukmu itu masih nggak hilang juga rupanya." Ayu berbisik makin dekat ke telinga Arif. "Kau nggak perlu khawatir soal itu. Yang harus kau khawatirkan itu adalah posisimu sebagai murid terkuat saat ini. Kayaknya itu bakalan diambil seseorang, deh."

"Hah...?" Arif langsung terlihat syok setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Ayu. Lalu, terdiam bagai patung disitu. Apalagi, dia tahu betul kalau Ayu tidak terlalu suka berbohong. "Apa maksudmu?" Wajahnya menjadi dingin.

"Yah, kita lihat saja saat tes nanti." Ujar Ayu keras-keras. Ia menghiraukan tatapan menakutkan Arif. "Cepat habiskan makananmu, Nio."

"Oh? Ini udah tinggal dikit, kok." Nio mempercepat gerakannya dan menyendok nasi banyak-banyak ke mulutnya. Ia terlihat lucu.

Aneh, Ayu memang sangat membenci sifat bocah ini, tapi tetap saja Nio sudah seperti adiknya sendiri.

Setelah Nio menghabiskan makanannya, Ayu membimbing anak lelaki itu keluar dari kantin dan berjalan menuju ke arena yang terletak di tengah area sekolah.

Tatapan orang-orang menyertai di setiap langkah mereka. Namun Nio tetap menunduk dan selalu berjalan dekat-dekat di sebelah Ayu, sementara Arif dengan wajah yang menakutkan juga mengikuti dari belakang.

Ya, mau bagaimanapun ekspresi yang dipasang oleh pemuda itu, tetap saja keadaannya tak akan berubah.

Mulai hari ini, murid terkuat di sekolah ini, adalah, Nio.

Tak sampai beberapa menit, mereka akhirnya sampai di arena yang bentuknya mirip seperti koloseum, tempat bertarung para gladiator di zaman Yunani kuno. Hanya saja, desain tempat ini sungguh luar biasa megah dan arsitekturnya pun indah, dengan satu panggung besar yang berada di tengah.

Murid-murid dengan cepat ikut masuk ke sana dan mengisi tempat duduk yang kosong hingga seluruh arena hampir penuh. Bahkan bukan hanya murid saja, tapi para pengajar pun ikut menonton dari tempat mereka sendiri, yaitu di balkon bersama dengan kepala sekolah.

Ayu dan Arif mengantar sampai di dekat tangga panggung, dan setelah memberikan beberapa dorongan pada Nio, anak yang pemalu itu pun naik sendirian ke atas untuk menghadapi suatu boneka raksasa yang terbuat dari baja dan ditenagai oleh batu permata biru yang berada di dahinya.

"Melawan Golem Level 99 di ujian masuk... Ini tidak wajar." Arif bergumam. "Itu satpam di sekolah kita loh."

"Ini yang pertama kali dalam sejarah." Ayu menambahkan dengan bangga. "Setelah ini, aku berharap kau nggak akan berkecil hati, Arif. Toh, Nio memang tidak normal sejak awal. Jadi itu bukan salahmu, kok."

"Tapi... Ini terlalu tiba-tiba, Yu." Pemuda itu bergumam.

"Kau ini kuat, kok. Tenang aja. Cuma yang kita bahas disini adalah Nio... Dia itu adalah keganjilan dunia ini." Wajah Ayu mengeras.

"Baiklah."

Suara itu berkumandang di seluruh arena. Suara yang terdengar dalam dan berwibawa, dan bersumber dari sang kepala sekolah. Sosok pria tua berparas gagah dan berjas putih-merah yang berdiri di balkon, itulah pemimpin Akademi Nusantara saat ini, Tuan Roma Allefren.

"Kepada kandidat murid Nio Narathel, ujian masuk anda adalah berupa pertarungan satu lawan satu melawan Golem yang ada di arena." Kepala sekolah menjelaskan. "Kalahkan Golem itu, dan tunjukkan bahwa kau layak untuk berada di sini. Tak akan ada kesempatan kedua. Kau juga diperkenankan menggunakan cara apa saja untuk menang selama itu adalah hasil dari usahamu sendiri."

Murid-murid tampak terkejut setelah mendengar itu, dan seluruh arena menjadi riuh dalam ketegangan.

Seperti kata Ayu, ini adalah pertama kalinya ada yang melawan Golem Level 99 di suatu ujuan sejak dibangunnya akademi ini ribuan tahun silam. Karena umumnya, untuk ujian masuk biasanya kandidat murid cuma menghadapi Golem Level 1.

Akan tetapi, tetap saja itu tidak menghentikan Nio. Suatu cahaya keemasan timbul di udara di belakang bocah itu, membuat semua orang di dalam arena seketika terdiam dan fokus untuk memperhatikan.

Cahaya keemasan itu lalu mulai berubah membentuk dua buah cincin emas yang ukurannya sebesar kepala, dan kedua cincin itu terus melayang-layang mengikuti Nio.

"Pedang Api Matahari, Ignision Suryaka."

Setelah membisikkan sesuatu, salah satu cincin emas di belakang Nio tiba-tiba berpindah ke hadapannya, dan mengeluarkan suatu benda berwarna merah.

Awalnya yang tampak hanyalah ujungnya yang lancip saja, lalu detik demi detik bilahnya yang mengkilap dan tajam pun terlihat, dan terakhir adalah gagangnya, tempat dimana suatu permata jingga bertengger.

Itu adalah pedang.

Nio menggapai gagang pedang itu dengan tangan kanannya dan di saat yang bersamaan, nyala api membara seketika muncul menyelimuti seluruh bilah pedang itu.

Golem raksasa itu mulai bergerak, dan tiap langkahnya menghasilkan guncangan keras di panggung itu.

"Ini konyol! Kekuatan macam apa ini? Bagaimana bisa anak itu memiliki benda seperti itu?" Arif terlihat tak percaya dengan semua yang sedang terjadi. Dia nisa merasakan tekanan yang amat berat dari pedang di tangan Nio, sampai-sampai pemuda itu jadi berkeringat dingin.

"Ya, dia tidak memilikinya begitu saja." Ayu menjelaskan sementara matanya masih terpaku pada Nio. Ekspresi pahit terpampang di mukanya.

"Maksudmu?"

"Rumor kalau Nio sudah pernah mati itu bukanlah omong kosong, Rif." Ayu memberitahu.

Mata Arif terbuka lebar mendengarnya.

"Kau lihat ada berapa cincin emas di belakang Nio?" Arif mengangguk singkat pada pertanyaan Ayu. "Cincin itu hanya akan tercipta ketika Nio sudah pernah berada diambang kematian. Itu muncul saat dia sekarat. Yah, dia memang tidak benar-benar mati, tapi tetap saja itu gila..."

Sementara itu, Nio yang berada di atas panggung akhirnya mulai melakukan sesuatu karena Golem itu sudah semakin dekat.

Nio cuma mengacungkan pedangnya dan mengarahkannya pada Golem itu, dan sepersekian detik kemudian, diikuti dengan suara dentuman yang menggelegar, nyala api membahana tiba-tiba meledak dari bawah kaki Golem itu, dan dengan cepat naik hingga ke tinggi langit dan membentuk seperti sebuah pilar yang terang benderang dan tak berujung sampai menembus awan-awan.

Sungguh kekuatan penghancur yang amat dahsyat, dan tak masuk di akal. Semua orang yang ada di arena dibuat tak bisa berkata-kata oleh pemandangan itu. Mata mereka terbuka lebar-lebar.

"Tiga tahun lalu, aku tak sengaja menjatuhkan lilin yang menyala ke gorden, dan itu berakhir membuat rumahku terbakar... Dan masalahnya, waktu itu Nio sedang tidur siang di rumahku... Dan aku benar-benar melupakannya karena panik."

Ayu bercerita sambil mengawasi situasi di atas panggung. Meski begitu tetap saja tubuh gadis itu gemetaran, dan Arif menyadarinya. Bahkan suara gadis itu pun terdengar bergetar.

"Setelah kejadian itu, aku langsung memaksa keluargaku untuk pindah, karena aku takut, aku akan melakukan kesalahan lagi... Dan aku takut... Sesuatu yang buruk akan menimpa Nio lagi."

Nio melepaskan genggamannya dari pedang merah itu, dan cincin emas itu kembali menelan pedangnya. Pedang itu kini telah lenyap, dan begitu pula dengan kedua cincin itu yang melebur jadi debu-debu keemasan.

Sedangkan untuk Golem itu, hampir tak ada yang tersisa sama sekali kecuali warna hitam gosong di lantai.

"Aku adalah penyebab kemunculan cincin yang pertama. Pedang berkekuatan api yang barusan." Ayu menyipitkan mata. Tangannya terkepal kuat-kuat seakan ia sedang berusaha untuk menahan amarahnya. "Dan sekarang... Dia memiliki dua cincin."

Next chapter