webnovel

PROLOGUE: Keajaiban, Kenyataan & Teror

DEUS EX MACHINA

~PROLOGUE~

"Kamu senang, nggak? Hidup?" Tanya gadis itu sambil tersenyum kecil.

Itu pertanyaan paling aneh yang pernah didengar Rama seumur hidupnya, bahkan sebenarnya terkesan amat menyeramkan jika kau bisa memahaminya.

Rama duduk di bawah, di rumput, sedangkan gadis itu berada beberapa jengkal di sebelahnya, sementara sahabat Rama duduk di tengah-tengah di antara mereka berdua.

Gadis yang berparas lumayan elok dan berhijab putih itu bernama Siska, dia setidaknya berusia pertengahan dua puluhan, dan bekerja sebagai karyawan di supermarket. Sedangkan bocah bertubuh agak subur dan berambut pendek jabrik itu adalah Liel, satu-satunya teman Rama di tempat ini, atau malah mungkin di dunia ini.

Di siang yang agak terik kala itu mereka bertiga sedang duduk di tempat bersantai favorit Liel, yaitu di pinggir lapangan bola Sorumba, tepatnya di bawah pohon, sambil menikmati sepoy angin lembut yang bertiup tanpa henti.

Liel sering sekali datang ke sini, dan Rama juga dengan senang hati menemaninya. Sementara Mbak Siska cuma kesini kalau ia sedang ingin saja, atau kalau sedang ada masalah. Dan ini adalah kali ketiga Rama bertemu dengan Siska di sini.

"Hmm... Aku nggak tahu pasti, sih..." Jawab Liel acuh tak acuh, mengingat ia sedang asyik mencabut-cabuti rumput di sekitarnya. "Aku tahu betul berapa mahalnya harga dari nafas kehidupan, jadi, ya gitu, deh."

"Hmm... Begitu, ya?" Gadis itu bergumam. "Kalau kamu? Eh..." Sekarang Mbak Siska mengajukan pertanyaan yang sama pada Rama, tapi tampaknya gadis itu lupa nama bocah kurus itu.

"Rama." Bocah berambut agak gondrong itu mengingatkan sekali lagi sambil memandang gadis berhijab itu dengan tatapan datar. "Tapi, aku juga nggak begitu yakin, sih."

"Lho, kenapa gitu juga, sih? bukannya kamu ini anak yang terkenal itu, ya?" Mbak Siska berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Anak kelewat pintar yang loncat dari kelas satu SD sampai ke kelas enam itu, kamu, kan?"

"Yah, memang aku, kok." Rama mengungkapkan. "Cuma, pertanyaan Mbak yang tadi itu beneran absurd banget, lho. Aku aja nggak pernah dapat soal kayak begitu dalam buku-buku pelajaran. Dan lagian... Aku umurku masih tujuh tahun..."

"Ah... Iya juga, sih." Siska tersenyum kecut. "Tapi, kau benar-benar unik, ya. Jarang, lho, bertemu dengan orang yang lebih memilih buat mengalir dan berpasrah pada aliran seperti kamu."

"Hah?"

Liel tertawa lalu berkata; "Iya, kan? Rama itu selalu mengalir, lho. Seperti yang kuning-kuning di sungai itu."

Mbak Siska pun ikut tertawa juga mendengar kata-kata sarkas Liel, sementara Rama cuma kebingungan.

Sungguh, sampai sekarang Rama masih tidak mengerti kenapa Liel senang sekali bergaul dengan orang-orang tak jelas macam Mbak Siska ini. Maksudnya, bukan hanya sekedar sering, tapi dia memang benar-benar suka bertemu dengan orang-orang tak jelas seperti mereka.

Rama tahu, kalau Liel itu aneh, Namun entahlah, masih ada terlalu banyak hal yang sulit dijelaskan. Dan bagi Rama, Liel berada di puncak keganjilan itu. Bocah yang Rama anggap bodoh itu benar-benar hampir mustahil untuk dijelaskan dengan akal.

"Hah..." Siska menghela nafas dalam. Jelas kalau dia baru saja melalui hari yang berat. "Itu aneh, bagaimana cara dunia ini bekerja... Dan orang-orang... mereka sangat jahat." Ia bergumam pelan.

Liel mengangkat kepalanya dan memandang Mbak Siska di sampingnya dengan tatapan penuh arti. Rama pun ikut melirik wajah gadis itu. Raut mukanya suram, bahkan senyumannya yang palsu juga terlihat sangat jelas.

Jujur, Rama sama sekali tidak tahu persis masalah apa yang sebenarnya tengah dialami oleh Mbak Siska, meski begitu dia yakin sekali kalau itu pasti bukanlah perkara yang mudah untuk ditangani oleh gadis muda sepertinya.

"Mereka selalu mengharapkan sesuatu yang besar dariku, tapi mereka juga ingin aku mengikuti jalan yang udah mereka siapin." Jelas Mbak Siska yang nampak lelah. "Aku nggak bisa memilih, sementara aku juga nggak sekuat yang mereka pikir. Pilihanku sudah hampir habis..."

"Kehabisan pilihan, ya?" Kata Liel tiba-tiba. Tampaknya dia berniat melakukan hal yang aneh lagi.

Ya, dia akan melakukan keajaiban.

Liel mengumpulkan semua rumput yang sudah dicabutnya dari tadi, lalu menghamburkannya ke atas, dan pada saat itu pula rumput-rumput itu langsung menyatu dengan sendirinya membentuk kupu-kupu dan mulai berterbangan di sekitar mereka tak ayalnya sedang menari.

"Kayaknya, di dunia ini pasti selalu tentang pilihan, deh." Ujar Liel yang tengah mengamati kupu-kupu ciptaannya dengan bangga. "Semua yang kita lakukan didasarkan pada pilihan yang kita ambil, kan? Contohnya, ya hidup. Dan jalan yang Mbak lalui sekarang pun adalah hasil dari pilihan yang Mbak ambil. Tapi bukan karena Mbak ingin, tentu saja, melainkan karena mereka."

Rama pasti memilih untuk diam jika Liel sudah mulai berbicara tentang hal-hal yang berat dan rumit seperti ini. Bocah itu terasa seperti orang yang amat berbeda sekarang, dan dari caranya bicara membuatnya terdengar seperti seorang kakek-kakek.

Seakan-akan, dia sudah hidup sangat-sangat lama.

Itu terlalu aneh untuk dipikirkan.

"Hah... Aku cuma benar-benar nggak tahan menghadapi perlakuan mereka. Aku nggak ngerti harus bersikap kayak apa lagi," ungkap Mbak Sarah.

"Jadi, Mbak bakalan gimana?" tanya Rama. Bocah itu masih tak tahu apa-apa tentang situasi gadis itu, jadi ia tak bisa berkomentar banyak.

Di tengah-tengah semua itu, Liel kembali melakukan keajaiban lainnya. Dengan satu jentikan jari, ia membuat semua tumbuhan yang gugur di sekitarnya ikut melayang ke udara, dan menari-nari bersama kupu-kupu rumput yang tadi. Hampir seperti parade besar-besaran.

Benar-benar pemandangan yang menakjubkan, jika kau terbiasa.

"Aku cuma punya dua pilihan terakhir sekarang." Ucap Mbak Siska. "Yang pertama, adalah pergi sejauh mungkin dari sini, memotong masa laluku, dan memulai dari awal."

"Wah, bukannya itu terlalu tiba-tiba, ya?" Rama terkejut. "Emangnya Mbak nggak bisa usahakan lagi, ya?" ia menyarankan.

Sekali lagi, Mbak Siska menghela nafas dalam dan kemudian angkat bicara. "Ini rumit." Bisiknya. "Kehidupan orang-orang seperti aku dan Liel itu sangat berbeda dibandingkan dengan kalian. Udah kayak bumi dan langit. Kami bahkan sudah pernah berperang... Ratusan kali malah. Kita rela mengorbankan nyawa demi banyak orang yang bahkan kita nggak kenal. Namun setidaknya, mereka tahu caranya berterima kasih."

"Aku dan Mbak Siska itu udah melalui semuanya. Jalan kehidupan kita malahan sudah sampai seratus persen. Sudah selesai. Pokoknya udah di ujung, deh." Ungkap Liel. "Cuma, Tuhan memutuskan untuk memberi kita kesempatan kedua, jadinya, ya begitulah. Kita terpaksa melanjutkan kehidupan kami di tempat yang jelek kayak begini."

"Maksudmu, dunia yang rusak, kan?" Tambah Mbak Siska yang terkesan mengejek.

"Hmm..." Rama terdiam seribu bahasa. Dia sungguh-sungguh tak tahu harus merespon seperti apa. Namun setidaknya, dia berhasil menemukan satu jawaban lagi atas misteri dunia ini, dan itu adalah fakta bahwa Mbak Siska dan Liel itu memang bukan manusia. "Terus, pilihan yang kedua?"

"Menyerah." Jawab Mbak Siska singkat. Nadanya final seolah dia ingin mengakhiri percakapan ini.

Akan tetapi, ketika mendengar itu, semua keajaiban yang dibuat Liel tadi, rumput-rumput dan dedaunan yang berterbangan, semuanya perlahan-lahan mulai berjatuhan bak daun yang berguguran.

"Eh?" Suara kecil itu keluar dari bibir Liel. Entah kenapa bocah itu malah terlihat sangat terkejut dan syok sekarang. "Tapi, Mbak!" Liel yang menjadi panik berniat memprotes Mbak Siska, tapi gadis itu tiba-tiba membelai pipi anak itu, yang seketika membuatnya terdiam.

"Itu pilihanku, dan atas kehendakku sendiri." Ujar Mbak Siska yang tersenyum kecil sembari bangkit berdiri. Dia menepuk-nepuk pantatnya yang kotor, dan tanpa berlama-lama lagi, gadis berhijab itu pun melangkah pergi meninggalkan Liel dan Rama.

"Tapi... Mbak cuma perlu meminta..." Bisik Liel pelan, sementara wajahnya terlihat sangat menyeramkan. Matanya terbuka sangat lebar, dan nafasnya terdengar amat berat. "Mbak hanya perlu meminta... Sama aku."

Namun, bersamaan dengan datangnya embusan angin kencang nan menusuk, keringat dingin Rama mulai bercucuran. Ia bergidik ngeri ketika menyadari akan betapa buruknya situasi Mbak Siska sekarang ini.

Jika Liel sampai berkata seperti itu, berarti tak bisa dipungkiri kalau segalanya sudah benar-benar kacau sekarang.

Beberapa bulan lalu, ada teman Liel yang juga sedang memiliki masalah. Rama sudah bertemu dengannya beberapa kali. Namanya Merlin Fivtina, gadis remaja yang baik hati dan seharusnya amat murah senyum, tapi karena persoalan yang dihadapinya, gadis itu seakan berubah menjadi orang yang berbeda hanya dalam hitungan hari.

"Minta aja sama aku." ucap Liel waktu itu.

Akan tetapi, sama seperti Mbak Siska, Merlin pun menolak tawaran Liel, dan itu berakhir dengan Liel yang membuat lubang besar di tengah laut.

Ya, itu benar-benar terjadi, dan nyata, mengingat Liel sendiri yang mengajak Rama ke sana. Bocah itu melubangi lautan menggunakan suatu pedang emas. Sungguh pemandangan yang menakjubkan, sekaligus mengerikan.

Meski begitu, itu bukanlah yang terburuk. Ada kejadian lain yang menjadi alasan mengapa Liel bertindak seperti itu.

Kabar duka tentang seorang gadis, yang bunuh diri dengan gantung diri di kamar kostnya.

Kematian Merlin, adalah pemicu amarah Liel yang sebenarnya.

Rama sekarang sudah sadar betul, kalau situasi Mbak Siska saat ini, benar-benar sudah terlalu buruk.

Teramat sangat buruk.

Ya, Rama tidak mengada-ada. Liel itu tipe orang yang selalu bertindak berdasarkan emosinya. Meski dia aneh, dan mungkin juga bukan manusia, dia masihlah memiliki hati.

Sehari berlalu setelah pertemuan antara Rama, Liel, dan Mbak Siska di lapangan, dan untuk yang kesekian kalinya, Liel akhirnya kembali ditelan oleh amarahnya lagi.

Berita tentang mayat seorang gadis berhijab putih, yang ditemukan di bawah menara.

Rama tidak tahu sudah berapa banyak kabar duka yang telah diterima oleh bocah gemuk itu, tapi mau sebanyak apapun itu, tidak akan merubah fakta, bahwa rasa kehilangan itu adalah yang terburuk.

Apalagi, jika itu adalah seseorang yang berharga bagimu.

Rama langsung lari meninggalkan rumahnya setelah menguping perbincangan kedua orang tuanya yang tengah membahas kabar itu. Dia segera mencari Liel di tengah hujan yang amat deras, dan berharap semoga anak itu tidak mengamuk.

Awalnya, dia berniat pergi ke rumahnya, tapi entah kenapa Rama merasa kalau dia mungkin akan menemukan Liel di tempat bersantai mereka di lapangan, dan benar, Rama mendapati anak itu di sana.

Liel berdiri sendirian di bawah hujan. Bocah gemuk itu hanya diam di sana, hampir persis seperti patung.

Waktu itu, dunia terasa seakan sedang berhenti bergerak, tapi hujan terus turun, dan di tengah-tengah suara air yang menderu, Rama hanya bisa mendengar keheningan yang terasa menyeramkan.

"Ada yang salah dengan dunia ini..." Rama mendengar suara bisikan Liel yang pelan dan gemetar.

Dia sedang menangis.

"Kenapa Mbak Siska nggak mau minta sama aku? Kenapa mereka semua nggak mau meminta bantuanku? Padahal aku bisa menolong mereka! Sialan!" Liel terisak. Nafasnya tersengal-sengal. "A-Aku nggak bisa merasakan ini lagi... Aku nggak suka banget! Aku nggak mau kehilangan lagi... T-Tapi, kenapa!? Kenapa mereka selalu meninggalkan aku! Apa, sih, salahku!?"

Untuk yang kesekian kalinya, Rama kehabisan kata-kata dan tak mampu bicara. Bocah itu hanya bisa memandangi punggung Liel yang mungil. Punggung yang sangat kesepian, dan telah melalui hal-hal mengerikan yang tak terhitung jumlahnya.

Next chapter