webnovel

1: Anak Bermata Merah, Ular & Gadis Tanpa Nama

Di siang bolong yang terik kala itu, Aqil yang masih mengenakan seragam merah putihnya sedang duduk di bawah pohon pinggir pantai sambil menatap laut yang terpampang di hadapannya.

Bocah kecil kurus dan berambut gondrong itu tampak tenggelam dalam lamunannya sendiri sementara pandangan matanya tertuju pada ambang cakrawala nan jauh di sana.

Wajahnya tak memaparkan ekspresi apapun, dan matanya yang sewarna merah darah pun terlihat agak kosong bagaikan seorang yang sedang memiliki jutaan permasalahan hidup, meskipun pada akhirnya, dia hanyalah seorang anak kecil yang masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar.

Tangan Aqil bergerak diluar kehendaknya meremas sebuah miniatur kecil lucu berwarna kecokelatan seukuran jempol yang terbuat dari karet yang merupakan gantungan tasnya.

Miniatur itu bulat, dengan dua titik hitam yang merupakan matanya, memiliki senyuman datar dengan satu titik putih di tengah yang tampak seperti gigi, serta dua garis di atas mata yang mengukuhkan kalau itu merupakan alisnya, walaupun salah satunya miring sebelah.

"Hey... Titang." Aqil tiba-tiba bersuara, namun pandangan matanya tetap tertuju ke depan, ia masih termenung.

Setiap orang yang lewat di jalan raya di belakangnya pun sesekali melihat melihat anak itu dengan heran mengingat ini sama sekali bukan kali pertamanya berdiam disitu.

"Kok rasanya kayak ada yang salah, ya?" Aqil kembali berbicara dengan nada datar entah pada siapa.

"Memangnya apa yang salah?" Jawab suara kecil yang terdengar lucu itu, yang jelas-jelas berasal dari gantungan tasnya.

Ya, miniatur karet itu memang berbicara. Garis yang membentuk mulut itu bergerak, dan kedua titik yang seperti mata itu sempat berkedip.

Aqil menamainya Titang, dan boneka karet kecil itu baru saja bergerak melepaskan diri dari tangan si bocah lalu berdiri di atas pahanya.

"Aku... Pengen punya keluarga..." Kata Aqil tiba-tiba.

Hembusan angin kencang mendadak bertiup dari laut, mengombang-ambingkan rambut Aqil dan membawa pergi kata-kata anak itu menuju ke belahan dunia lain, sementara si boneka karet-Titang, hanya bisa terdiam memandangi wajah Aqil.

"Aku pengen punya papa... Mama... Kakak... Dan kalau bisa... Aku pengen punya adik juga." Tambah anak itu. "Itu pasti menyenangkan, bukan?"

Titang pun tetap bungkam, tak tahu harus berkata apa dan hanya mampu melompat kembali ke tangan Aqil dan membiarkan anak itu meremas-remasnya.

"Eh... Aku bakal nemenin kamu sampai akhir, kok, Aqil." Kata Titang.

"Ah, iya, makasih ya, Titang. Untung ada kamu, ya." Akhirnya, senyuman kecil terbentuk di bibir Aqil, namun tatapan anak itu tetap terpaku pada lautan di depan.

"Apa yang sebenarnya kau ocehkan?" Ujar seorang gadis berambut pendek berpakaian kumal yang ternyata berdiri di belakang Aqil.

Aqil sontak menoleh memandang gadis itu, sementara gadis itu tampak kebingungan melirik ke segala arah seakan mencari-cari sesuatu.

"Dan kamu ngomong sama siapa barusan?" Gadis itu bingung.

"Eh..." Aqil pun agak sedikit terkejut dengan kehadiran gadis itu. "Aku ngomong dengan gantungan ini kok, Kak." Aqil memberitahu sambil menunjukkan Titang.

"Oh, iya?" Alis gadis itu naik sebelah, jelas kalau dia keheranan. "Soalnya ini udah kelima kalinya aku lihat kamu duduk sendirian di sini." Lalu gadis itu mengulurkan sebotol minuman teh dingin pada Aqil.

"Eh?" Aqil sempat ragu dan menatap lama botol minuman itu, namun pada akhirnya, dia pun menerimanya sambil planga-plongo.

"Ngomong-ngomong aku kerja di toko itu." Kata gadis itu sambil menunjuk sebuah ruko di seberang jalan raya sana. "Kamu selalu duduk disini dari jam satu siang sampai jam lima, dan kamu benar-benar cuma duduk tok, nggak ngapa-ngapain. Sumpah, aku heran banget loh lihatnya."

Akan tetapi, barusan gadis itu terlihat terkejut saat melihat wajah Aqil, atau tepatnya, mungkin warna matanya.

Aqil pun ikut-ikutan menaikkan sebelah alisnya sembari mengangkat bahu karena bingung harus bicara apa.

"Kamu masih kelas lima SD pula..." Kata gadis itu setelah melihat lambang tingkat di lengan seragam Aqil. "Emangnya kamu lagi ada masalah, ya?"

"Yah... Gimana, ya? Kakak nggak akan bisa ngerti kalaupun aku menceritakannya." Ungkap Aqil yang kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke depan, ke arah lautan.

Keduanya pun terdiam, baik Aqil maupun gadis itu, hanya suara sepoy angin dan deru mesin kendaraan saja yang terdengar.

Untuk sesaat dunia menjadi sangat hening, sampai-sampai itu terasa seperti ajaib, yang mana membuat Aqil tidak nyaman.

"Tapi... Apa maksudmu soal perkataanmu tadi?" Gadis itu masih berdiri di belakang Aqil dan ia juga sedang menatap lautan.

Aqil sedikit tersentak, karena ia tidak menyangka kalau rupanya gadis itu mendengar kata-katanya tadi.

"Memangnya, kamu nggak punya keluarga?"

"Eh... Ada sih, tapi cuma tanteku aja." Jawab Aqil sambil menghembuskan nafas dalam.

"Mama sama papamu?"

"Aku nggak tahu mereka dimana..." Kata Aqil pelan.

"Berarti sekarang kamu tinggal sama tantemu?"

"Eh... Tanteku tinggal dengan pacarnya, di luar kota, nggak tahu dimana." Senyuman kecut terbentuk di bibir bocah itu.

Tapi toh, begitulah kenyataannya, orang tua Aqil pergi sebelum ia bisa mengingat wajah mereka, dan semenjak itu dia tinggal dengan tantenya sampai setidaknya Aqil terbiasa dengan pekerjaan rumah sederhana, dan bahkan memasak.

Puncaknya adaah saat ia menginjak kelas tiga SD, di pagi itu saat Aqil bersiap untuk berangkat ke sekolah, ia mendapati tantenya pergi menaiki taksi sambil membawa tas dan koper. Dan taksi melaju ke arah bandara. Jadi, cukup sampai disitu saja.

Cukup, sangat cukup, untuk membuat Aqil mengerti kalau dia telah di terlantarkan, lagi.

"Eh... Bentar... " Alis gadis itu makin berkerut tak karuan karena saking bingungnya. "Jadi, kau tinggal sama siapa sekarang?" Tanyanya sambil memijat keningnya dengan jemari tangan kanannya.

"Yah... Di rumah tanteku."

"Sama?" Gadis itu makin menekankan.

"Sendirian."

Gadis itu cuma bisa memandangi Aqil dengan tatapan kosong, sementara bocah itu pun tampak acuh tak acuh.

Tiba-tiba satu musik irama pelan terdengar dari dalam tas Aqil. Anak itu segera membuka ranselnya dan mengeluarkan ponsel jadul miliknya yang merupakan sumber dari suara itu, baru kemudian ia menekan satu tombol dan musik itu pun berhenti.

"Sudah jam lima sore." Aqil memberitahu sembari menyimpan kembali ponselnya di dalam tas. "Aku harus pulang." Katanya lagi sambil menghela nafas berat, lalu bangkit berdiri meskipun pandangannya masih tertuju ke arah lautan, dan di wajahnya juga terpampang ekspresi yang agak aneh. Keningnya berkerut.

Mungkin itulah keraguan.

Walau anak itu juga mungkin masih belum mengerti.

"Eh? Tunggu bentar, kamunya tinggal dimana?" Tanya gadis itu.

"Jauh, Kak, aku tinggal di Ranomeeto, sekitar lima ratus meteran kalau dari gerbang Kota Kendari." Ungkap Aqil yang baru saja membuka tutup botol minumannya dengan susah payah, lalu meneguknya banyak-banyak bak orang kehausan.

"Buset, jauh banget, kok bisa? Terus kamu kesini gimana caranya? Masa iya naik angkot."

"Mana mungkin!" Tukas Titang mendadak. Boneka karet kecil itu tiba-tiba memutuskan untuk angkat suara. Ia melepaskan diri dari rantai yang menggantung di kepalanya, lalu melompat ke atas bahu kanan Aqil. "Yang ada dia bakalan mati karena kelaparan kalau mau bayar angkot buat kesini tiap hari." Jelas Titang yang terdengar kesal.

Namun, gadis itu membatu seketika saat melihat Titang, yang baru saja bergerak.

Benar-benar bergerak.

"Eh..." Mulut gadis itu membuka sedikit, matanya pun membelalak agak lebar, dan tergambar jelas di wajahnya horor yang dirasakannya kala itu.

Leher Aqil perlahan bergerak menoleh memandang Titang yang masih berasa di bahunya.

"Anu... Titang... Kamu sehat, kan?" Tanya Aqil yang juga dibuat luar biasa heran.

"Lagian, cewek ini dari tadi nanya mulu! Emangnya kamu mau apa, hah? Kamu siapa? Kok kepo banget sama hidup orang." Keluh Titang kesal.

"Tunggu bentar..." Gadis itu menutup matanya rapat-rapat sambil memijat keningnya kuat-kuat. "Ini gimana sih?" Gadis itu bertanya pada dirinya sendiri dengan gelisah mungkin karena kesulitan untuk mencerna pemandangan barusan.

Toh melihat mainan karet kecil berbicara itu bukanlah pemandangan yang bisa ditemui setiap hari.

Apalagi boneka kecil itu berbicara dengan luwes, dan juga bergerak sesuka hati selayaknya orang.

"Apa liat-liat?" Kata Titang tajam.

"Eh, hah?" itu merespon dengan syok.

"Hah, heh, hah, heh!" Tukas Titang yang pula terdengar semakin jengkel. "Udah, ah! Kita pulang saja, Aqil, kamu nggak usah tanggapin cewek nggak jelas ini."

"Eh... Tapi, Om Peter juga belum datang, kan..." Aqil memberitahu sambil menengok jalan raya, dan benar saja, sampai saat ini sama sekali belum terlihat satupun mobil pick up hitam yang biasanya ia tumpangi.

"Kok bisa sih..." Gadis itu masih ada disitu, keheranan melihat Titang, dan boneka itu pun balas menatapnya dengan kesal. "Kamu ini Power Ranger atau apa?"

"Lah! Malah nanya lagi!" Protes Titang seketika.

"Loh, aku kan cuma nanya." Balas si gadis.

"Tapi kamu ini siapa coba–"

"Udah ah, Titang, nggak apa-apa, kok." Potong Aqil sambil tersenyum dan mengambil boneka karet itu dari pundaknya.

"Eh... Namanya Titang?"

"Astaga! Malah nanya lagi–"

"Udah, udah." Aqil menutup mulut Titang dengan jarinya.

Sesaat, mereka bertiga pun tenggelam dalam diam, dan disaat yang bersamaan, tiba-tiba ada dua orang pemuda yang berjalan melintas melewati mereka, dan waktu itu, mereka sepertinya sedang menonton video berita yang sedang viral di ponsel mereka.

"Pemirsa, satu minggu sudah berlalu semenjak keenam gadis itu dikabarkan menghilang, dan hingga detik ini bahkan masih belum ada tanda-tanda akan keberadaan mereka. Seakan-akan mereka hilang ditelan bumi–"

Baik Aqil, Titang, dan gadis itu pun bisa mendengar dengan jelas suara dari video barusan.

Si gadis pun memutar badannya, memandang dua pemuda yang sudah berjalan agak jauh itu.

"Ngomong-ngomong, keenam gadis yang hilang itu adalah kenalanku, loh." Ungkap gadis itu tiba-tiba.

Aqil dan Titang seketika terkejut saat mendengar itu.

"Kami... Bebas dari penjara di tanggal yang sama... Tepat tanggal satu kemarin, dan malamnya, kabar kalau mereka hilang pun mulai tersebar... Padahal, waktu di penjara kami selalu barengan..."

"Eh... Ini kayaknya mendadak banget, ya?" Titang berbisik sambil menggaruk pipinya sendiri, lalu menoleh ke atas memandang wajah Aqil, tampaknya anak itu tengah mendengarkan gadis itu dengan seksama.

"Aku nggak tahu ini kebetulan atau apa, tapi kalau kau memang punya kekuatan, bisa nggak kamu mencari mereka?" Ujar gadis itu sambil menatap mata Aqil lekat-lekat. "Maksudku... Momen seperti ini, benar-benar terlalu nyata kalau hanya disebut sebagai kebetulan."

"Aqil, aqil, aqil." Kata satu suara lucu lain yang berasal dari ular kecil bersisik biru yang barusan muncul di pundak kiri Aqil.

"Eh..." Gadis itu kembali melongo melihat kemunculan mendadak si ular, dan itu berbicara.

"Lah? Siapa gadis ini? Kok dia melihatku begitu? Emangnya dia bisa dengar suaraku?" Tanya ular itu. "Ah, tapi ngomong-ngomong Aqil, aku tadi melihat pedang aneh di tengah-tengah pepohonan tembakau di sana. Ayo kita pergi ambil." Ungkap ular itu yang tampak bersemangat.

"Pedang?" Tanya Aqil dan gadis itu bersamaan.