1 Chapter 1. Dusun Tepian

Hutan Tepian adalah bagian terluar dari hutan yang mengelilingi Gunung Rinjan, gunung tertinggi di Provinsi Lombo. Di hutan Tepian hidup beragam hewan kecil sampai sedang seperti kelinci liar, menjangan, sampai harimau.

Sore itu, keheningan hutan Tepian pecah oleh lari seekor menjangan, yang dengan sigap melompati anak sungai Jangkuk. Meskipun menjangan itu berhasil melompati anak sungai, tetapi tidak bisa mendarat sempurna. Menjangan itu hampir tersungkur karena paha belakangnya tertancap panah, lukanya masih mengucurkan darah.

Sekitar 50 meter dari tepian sungai, nampak 3 orang anak laki-laki mengejar menjangan itu. Melihat menjangan itu hampir tersungkur dan hilang keseimbangan, salah satu anak yang paling kurus melepaskan anak panah sambil terus berlari.

"Siuuuuu ... ", suara anak panah membelah angin.

"Jleb!"

Anak panah itu berhasil mengenai menjangan, kali ini tepat menancap di lehernya. Si menjangan malang, terjatuh, tak mampu lagi berlari. Matanya meggelap dan nafas terakhirnya meninggalkan tubuhnya.

"Ha ha ha, akhirnya mati juga kau. Capek aku mengejarmu"

"Hei Marin, kali ini kamu dan Duke yang memproses menjangan ini, aku sudah mengerjakan bagianku", kata si anak kurus yang melepaskan anak panah.

"Ok Zuki" kata Marin. Anak yang berkulit agak gelap.

"Tapi kita istirahat dulu, capek sekali nih", anak berbadan besar yang tiba paling belakang menyambung.

"Ok, tapi kita pindah dulu dan bersihkan darahnya. Kalau nggak, binatang lain akan berdatangan." kata Zuki, si anak kurus.

Tanpa di suruh, sebelum Marin menyentuh menjangan, Duke mengangkat menjangan dengan satu tangan, membawanya ke tepi sungai. Dengan sigap, Duke mencabut anak panah dan membersihkan darah kemudian mengulitinya di tempat.

Menjangan ini tidak terlalu besar, Duke memotongnya menjadi tiga bagian besar. Sekitar 20 menit kemudian Duke selesai memproses menjangan tadi.

Setelah dibersihkan, Duke meletakkan bagianya ke dalam keranjang di belakang pundaknya, Marin dan Zuki pun mengambil bagian mereka masing-masing.

Setelah itu, mereka menyeberangi sungai, mengambil arah utara, menuju luar hutan.

Sore beranjak gelap, ketika malam hampir tiba dan obor di gerbang dusun sudah mulai dinyalakan, barulah mereka sampai. Di waktu-waktu seperti ini biasanya waktu yang ramai, karena para lelaki akan kembali dari hutan.

Beberapa berhasil mendapatkan binatang buruan, beberapa tidak.

Mereka yang tidak membawa binatang buruan, biasanya membawa herbal liar yang banyak tumbuh di hutan Tepian.

Di gerbang dusun, mereka berpisah. Zuki mengambil arah kanan, menuju bagian dusun sebelah utara.

Rumah Zuki, seperti rumah-rumah di dusun, terbuat dari kayu, berpondasi lumpur keras, beratapkan ilalang.

Meskipun terletak di pinggiran hutan, penduduk dusun Tepian tidak khawatir ular atau binatang liar masuk ke dalam rumah, karena dusun Tepian dibangun dengan pagar kayu yang tinggi mengelilingi dusun, apalagi parit selebar 3 meter dengan kedalaman 2 meter yang mengelilingi dusun.

Dusun Tepian termasuk dusun yang ramai, meski terletak di pinggir hutan. Penduduknya berjumlah sekitar 200 orang, sebagian besar lelaki dusun bekerja sebagai pemburu dan pencari herbal, sedangkan perempuannya bekerja setengah hari di kebun.

"Mama, Zuki sudah pulang!" teriak Zuki dari gerbang rumah.

Amina, ibu Zuki biasanya sudah ada dirumah. Amina keluar dari dapur, membawa mangkuk sup daging menjangan kesukaan Zuki.

"Hari ini kamu dapat apa Zuk?", tanya Amina

"Menjangan ma, ada juga ginseng liar, besok Zuki mau ke Desa Jangkuk ma, ginseng kita sudah banyak"

"Mama titip pesan apa?"

"Belikan mama benang, kain, sama garam Zuk."

"Ya ma", Zuki mengangguk dan meneruskan makan.

"Pakai uang ini ya, Kamu bisa beli apa aja yang kamu mau, ini hadiah dari mama", Amina memberikan 10 koin Gold kepada Zuki.

"Ma!, ini kan hasil kerja mama setahun? Zuki gak mau!", Zuki menolak mengambil uang yang disodorkan Amina.

"Tidak apa-apa, uang simpanan kita masih banyak"

"Uang dari jual herbal dan kulit cukup sampai tahun depan, kamu gak usah khawatir"

"Bener nih ma?" Zuki sumringah. Sudah lama dia ingin mengganti busur panah yang selama ini digunakannya.

Meski busur ini buatan ayahnya, tapi tidak cocok lagi untuk Zuki, Zuki membutuhkan busur untuk orang dewasa.

"Oh ya hari ini kamu genap berusia 15 tahun kan? Mulai besok kamu harus ikut kelas persiapan masuk akademi. Sehabis menjual herbal, kamu cari paman Pintun."

"Tidur yang cepat, jangan begadang!"

Di Madja Empire, anak-anak berusia 15 tahun akan masuk akademi militer selama 1 tahun. Usia 16 tahun, mereka akan wajib militer selama 1 tahun. Sebelum masuk akademi militer, anak-anak diwajibkan mengikuti kelas persiapan selama 1 bulan di desa induk masing-masing.

Dusun Tepian berinduk di Desa Jangkuk. Desa Jangkuk membawahi 5 dusun yang tersebar di tepi suangai Jangkuk dan hutan Tepian.

Malam beranjak gelap, sebagian penduduk sudah mulai terlelap.

Tetapi Zuki belum tidur. Zuki sedang berbaring, berbantal tangan kiri. Tangan kanannya memegang medali sebesar telapak tangan.

Medali itu didapat dari ayahnya, diberikan tepat sebelum Mura, ayah Zuki menghilang saat berburu di hutan tepian. Sudah 5 tahun berlalu tetapi belum ada kabar sama sekali, bahkan mayatpun tidak ditemukan.

Medali itu berwarna hitam gelap. Permukaannya datar dan mengkilap. Entah terbuat dari apa, logam bukan, bebatuan bukan, kayu-pun bukan. Bahannya tidak pernah ditemukan di dunia ini. Di belakang medali, terdapat gambar seperti anak kecil gemuk dengan wajah bulat bertanduk. Di bawahnya ada tulisan yang tidak dikenal. Tetapi jika pembaca yang melihatnya, pasti bisa membacanya. Android.

Menurut ayahnya, medali itu "lahir" bersamaan dengan Zuki, karena itu menurut Mura, hanya Zuki yang bisa menggunakannya, entah bagaimana.

Tengah malam sudah tiba. Zuki masih terjaga. Tiba-tiba medali ditangan Zuki terasa panas.

"Akh!" Zuki melepaskan medali yang kemudian jatuh. Sesaat sebelum medali menyentuh lantai, medali itu berubah menjadi partikel hitam yang kemudian masuk ke dada Zuki.

Pandangan Zuki menggelap, tubuhnya terhempas di kasur.

Tak lama, terdengar suara,

"Ding!"

<div></div>

avataravatar
Next chapter