1 Aku Kembali

Angin bertiup lembut dari utara, mengibaskan daun-daun dan menerbangkannya jauh.

Hirup-pikuk kota Srengat sangat padat di pagi ini, pantas saja membuat kami tertancap pada traffic light. Kudapati anak-anak asongan mengetuk jendela mobi, dia cantik, bersih, tak pernah kudapati penjual seperti ini. Dua tisu sudah berhasil terbeli.

"Ini pasti sulit sekali bagimu, Angel K."

Amelia Pratitis, si wartawan kondang yang tampak anggun dengan setelan trend musim panas; topi biru tua serasi dengan rok selutut yang sopan, serta aneka aksesoris yang menjadi nilai tambahnya, yang paling menarik kuncir rambutnya.

Cuaca memang panas, kata orang Jawa sudah memasuki musim ketiga, tampak dari kejauhan para petani sedang giat-giatnya merawat sawahnya. Memandang sawah yang sejuk jiwaku terpanggil melayang di atasnya.

Satu jam perjalanan akhirnya kami tiba di lokasi. Nona Amel sangat berupaya menjaga keseimbangannya supaya terjaga di titian tak berbatu. Memang kita sedang berada di desa pedalaman.

Jalan setapak dengan batu-batu penyusun yang sudah longgar, beberapa ada yang bolong termakan usia, ada juga tepiannya yang menyembul dari tanah, dan bergoyang-goyang di bawah kaki Amel seperti gigi susu yang hendak tanggal.

Melihat itu, aku teringat akan kenangan semasa kecil. Dulu kerap sekali aku mengikatkan benang ke gigi susu yang goyang, lalu membiarkan benang itu menggelayut berhari-hari sampai lepas dengan sendirinya.

Tetapi, Tunner sangat senang menggodaku, terutama saat dia mengejar ke penjuru rumah agar bisa menarik tali itu, aku tidak mau jeritan menggema dan merintih. Karena aku yakin, bila mana memperbolehkan dia mencabut satu gigi, bisa-bisa dia menjadi gatal dan kemudian melucuti semua gigiku.

Kenangan itu menemani sepanjang langkahku. Mendapati diriku tersenyum egois. Sudah sedemikian lamanya sejak kami meninggalkan tempat ini? Sekarang, aku berumur 23 tahun, tapi jika ada yang kepo, kukatakan bahwa umurku seperempat abad kurang dua. Mengasyikan melihat orang-orang memutar otaknya untuk menghitung.

Aku memutuskan menghindari batu-batu titian dan berjalan di pekarangan depan terbengkalai, semak belukar tampak menggunung yang dibiarkan liar tak disentuh sepanjang musim, tapi kini terlihat menyusut kering karena sengatan matahari.

Pohon bambu besar berderet rapat sedikit membuat sejuk, tiupan angin membuatnya berderit, sesekali daunnya jatuh melintasi rambut dan ilalang menggelitik pergelangan kaki, meninggalkan bekas gores pada sepatu boots ku.

Andai Tunner berada di sini, mungkin dia bakalan memberiku cerita singkat mengenai cacing, laba-laba, tikus dan seluruh penghuni kegelapan yang merayap di bawah tetumbuhan busuk, mereka tengah mengincar wanita muda yang bodoh enggan berlindung di jalan setapak.

Aku sedikit tertinggal dibelakang wartawan itu, dia begitu bersemangat hinga jalanya seperti kapas ditiup angin. Pantas saja, tubuh rampingnya lebih mudah melewati liku jalan setapak.

Sepanjang berjalan, kami tidak mendapati seorangpun yang liwat, berpapasan pun tidak, hanya kami berdua, selebihnya hanya pepohonan kering yang sudah mati menghiasi perjalanan kami.

Nona Amel semakin dekat dengan bangunan tua didepannya, berjalan perlahan menaiki tiga anak tangga. Dari kejauhan didapati dia sibuk merogoh saku jas, mencari sesuatu yang membuat wajahnya kesal.

Dia membawa kunci, sedangkan aku tidak. Jadi, aku bertahan di belakang, mengelupas secarik cat putih dari teras depan, dan menyimpannya di dalam saku jins.

Tidak ada salahnya bila kita menyimpan kenang-kenangan, kan? Banyak orang menyimpan kenangan setiap harinya; mereka mengumpulkan dalam jejak kaki, bungkus permen, bangku taman, kaleng minuman yang telah dikumpulkan dengan seenaknya.

Hatiku berdegup, betapa aku merindukan tempat ini. Namun, alangkah kusam penampilannya. Apakah rumah kami sejak dulu memang sekusam ini?

Aku menyelinap ke dalam sehingga pintu depan berkeriut di belakangku. Selagi berdiri di ruang depan berlantai kayu baret-baret, sejenak memejamkan mata supaya lebih jelas gambaran awal lokasi kepulangan ku.

Dalam penglihatan itu tampak langit-langit yang saking tingginya tidak tergapai olehku, paralon besi cor yang tersembunyi di balik pojok ruangan, menunggu tidak gelisah karena ingin mengepul-ngebul marah lagi.

Aku lebih mendalami lurus kebelakang ingatan, tampak di depanku terletak ruang makan dan dapur, tempat kami bahkan tidak boleh luntang-lantung.

Sebelah kanannya ada koridor yang menyambung langsung ke pintu belakang. Di sebelah kanan terdapat ruang keluarga dan koridor-koridor lain, tangga menuju ruang bawah tanah berfondasi batu dan tungku pemanas. Lantai tanah yang dingin masih dapat kurasakan menembus sepatuku.

Ya. Rumah ini terasa lembab dan sejuk, padahal sekarang musim panas. Begitulah kelebihannya. Gumaman dalam hati.

"Angel! Apa kamu baik-baik saja?!" Suara itu terdengar masuk ke alamku, ingin membalasnya tapi jiwaku masih tertancap pada masa lalu.

Kembali, sebelah kiri, terdapat tangga berpagar putih, bentuknya berjenjang dan berbordes hitam, sehingga menyerupai tuts piano. Tiga set undakan dan dua bordes berluki-liku ke lantai dua. Detailnya seperti ini: sepuluh anak tangga ke atas, bordes, belok kanan, kemudian lima anak tangga ke bordes berikutnya, lalu belok kanan lagi dan ada enam anak tangga ke koridor lantai dua.

Bagian paling mengejutkannya adalah, kita sudah berputar tiga ratus enam puluh derajat setibanya di lantai dua, tapi oh, alangkah terkejutnya mendapati anak tangga keenam yang jebol di tengah.

Mataku terbuka. Segalanya tampak sudah tua dan terbengkalai, tak seindah dahulu. Debu, sarang laba-laba, bercak hitam di dinding, kertas pelapis yang terkelupas tampak palsu.

Bukti berjalannya waktu membekas disudut setiap ruangan sekadar sebagai pelengkap cerita, sedangkan ceritanya sendiri telah dikisahkan berulang-ulang, saking seringnya sampai-sampai kehilangan makna, bahkan bagi kami yang merupakan saksi hidup.

Amel segera duduk di ujung jauh sebuah bangku panjang, di ruang keluarga yang nyaris kosong. Kain penutup melindungi bangku dari siapa saja yang gegabah mendudukinya. Atau barangkali justru Amel yang sebenarnya dilindungi oleh kain itu, sehingga dia tidak perlu bersentuhan dengan ketombe bangku.

Amel tampak menyamankan diri, topinya bertengger di pangkuan, bagaikan kucing rapuh yang ditelantarkan majikannya.

Aku akhirnya memutuskan untuk menjawab pertanyaan retoris Nona Amel, meskipun sudah kelamaan.

"Ya, ini memang sulit dan aku dalam kondisi prima. Satu lagi, tolong jangan panggil aku Angel. Aku lebih suka dipanggil K." Ucapku sambil mengacungkan jari telunjuk ke atas.

"Maafkan aku, Angel. Eh! Maksudku K. Mungkin pilihan datang ke sini bukan ide bagus." Amel segera berdiri, topinya terjatuh ke lantai, wajahnya tampak memerah tomat.

Aku bertanya-tanya apakah dia sedang sakit, yang memaksakan diri untuk bertemu denganku, atau omonganku menyinggung perasaannya, atau dia menyukaiku. Tidak! Tidak! Cinta sesama jenis dilarang, tapi kalau gendernya berbeda? Segera ku hilangkan prasangka buruk ini.

"Wawancara bisa kita lakukan di temat lain, yang nyaman bagimu." Lanjut Amel.

"Tidak usah. Sungguh. Tidak apa-apa. Aku sendiri setuju dengan sukarela. Hanya saja, aku—"

"Gugup. Aku paham sekali."

"Bukan." Aku mengucapkan dengan nada menarik, mendayu, seperti gaya Ibu.

"Itu dia masalahnya. Aku sama sekali tidak gugup. Malah, kebalikannya. Aku tercengang sendiri karena merasa demikian nyaman di sini. Sekalipun kedengarannya aneh, aku senang bisa kembali ke rumah. Tidak masuk akal, ya? Mungkin ini rindu kenangan lama. Aku biasanya tidak mencerocos seperti ini, jadi mungkin aku memang gugup. Tapi, silakan duduk dulu. Nanti aku menyusul." Menghela napas panjang.

Amel kembali duduk, dia termasuk tipe penurut, kemudian berkata, "K, aku tahu kau tidak mengenalku, bahkan dalam kebanyakan surat yang tidak kau balas, tapi aku berjanji kau bisa memercayaiku. Akan kuhormati ceritamu dengan sikap saksama, sebagaimana seharusnya."

"Terimakasih. Aku percaya padamu. Sungguh," aku mecoba membuatnya nyaman bersamaku, kemudian duduk di ujung lain bangku, sedikit leot karena cendawan. "Cerita itu sendiri tidak sepenuhnya dipercayai. Lagi pula, itu bukan ceritaku. Bukan aku yang mengalaminya. Lebih jelasnya, merambah bagian-bagian yang belum terpetakan tentunya akan sukar." Aku tersenyum, bangga akan metafora itu.

"Kalau begitu, anggap saja aku sebagai rekanmu sesama penjelajah." Amel tersenyum luwes, lain sekali denganku.

Aku bertanya, "Jadi, dari mana kau mendapatkannya?"

"Mendapatkan apa, K?"

"Kunci depan. Apa kau membeli rumah ini? Sama sekali bukan ide buruk. Pemilik terdahulu memang gagal meraup keuntungan finansial di rumah ini—sekalipun membuka Rumah Barrett yang bereputasi mencekam untuk tur—tapi masa telah berganti, zaman telah berubah siapa tahu strategi itu bisa berhasil sekarang."

"Kau atau agen mu bisa kembali lusa untuk memulai tur, sekalian mempromosikan bukumu. Supaya lebih seru, selenggarakan juga pembacaan untuk umum dan penandatangan buku di ruang makan. Ruang depan bisa difungsikan menjadi toko cindera mata, untuk menjual buku beserta suvenir-suvenir seram yang unik."

"Aku memang bukan orang terpelajar, tapi bisa membantu merancang diorama atau reka adegan di ruangan-ruangan lantai atas. Sebagai—apa istilahnya menurut kontrak kita?—'konsultan kreatif'! Ya. Aku bisa menyediakan perlengkapan dan memberikan arahan ..."

Celotehan ku membuat lupa diri, kebanyakan bicara meski awalnya hanya bermaksud berkelakar ringan. Ketika akhirnya berhenti mengoceh, aku mengangkat tangan untuk membingkai Amel serta tembok terkelupas di belakang dalam kungkungan jari-jariku, sok-sok bermain sutradara-sutradara.

avataravatar
Next chapter