webnovel

Bukti

Zeke terbangun dari tempar tidurnya dengan sambutan lembut oleh pelayan dirumahnya. Sembari membawa roti bakar dan susu hangat diatas nampan bercorak bunga, ditaruhlah di atas meja samping kasur Zeke.

"Selamat pagi, Tuan Zeke" sapa lembut Liana.

Liana. Adalah kepala pelayan dirumah Zeke, sekaligus orang kepercayaan Ayahnya. Setelah meletakkan sarapan pagi, Liana bergegas membuka tirai gorden berwarna hitam itu lebar-lebar. Cahaya mentari yang mulai masuk ke kamar menggugah selera makan, Zeke menatap jauh keluar jendela kamarnya.

Sudah seminggu berlalu sejak kedatangan Zeke di sekolah, semenjak insiden yang menimpa preman sekolah itu. Hinga kini, Zeke masih tak mengingat sedikitpun apa yang telah menimpa para preman itu.

Disepanjang jalan menuju sekolah, Zeke terus terhanyut dalam lamunnya. Bahkan sapaan seseorang yang tak asing baginya tak terdengar sama sekali.

"Pagi Zeke!".

"Ah pagi Dias". Balas Zeke.

"Aku dengar seminggu yang lalu, kau mengalami sebuah insiden yah?"tanya Dias penasaran.

"Entahlah, aku tak begitu mengingatnya". Ucap datar Zeke.

"Insiden yang menimpa mereka sangat mengerikan yah, aku harap pembunuh itu segera ditemukan".

Zeke yang masih belum mengingat kejadian itu hanya bisa diam membisu, sembari berjalan bersama menuju sekolah mereka Dias mencoba mengalihkan pembicaraan.

Sesampainya disekolah, Zeke dan Dias berpisah dilorong kelas menuju kelas masing-masing.

"Kalau begitu sampai nanti yah Zeke !! .." lambai Dias.

Zeke memasuki kelasnya, kursi pojok paling belakang dekat jendela tempat kesukaanya. Sembari menunggu jam pelajaran dimulai, Zeke melamun dan mencoba mengingat kejadian yang menimpa para preman itu.

"Masih belum ya"

Tiba-tiba terdengar suara bisikan lirih nan dingin, Zeke yang terkejut hanya bisa menoleh kearah sekitar berharap suara itu hanya suara iseng dari teman sekelasnya.

("Ah sial pelajaran matematika yah ... mana gurunya galak juga ... semoga dia cepat mati saja ... sudah tua juga ... tugasnya juga banyak ... sial")

Bukan hanya suara aneh tadi yang membuat Zeke terkejut, suara keluhan dari teman-temannya terdengar juga.

"Selamat pagi anak-anak kali ini kita mulai dari bab 7 yah ..."

Disepanjang jam pelajaran, Zeke terus mendengarkan setiap kata hati teman-temannya. Merasa tak nyaman dengan keanehan itu, Zeke mencoba memejamkan matanya.

"T-tolong!"

Zeke terbangun di tempt kejadian mengerikan itu terjadi, tubuhnya tak dapat digerakan dan dari bawah bayangan tubuhnya muncul akar hitam menggerogori preman sekolah yang mengganggunya. Akar yang menembus tubuh mereka semudah menembus tepung. Tak hanya menggerogoti tubuh mereka, akar hitam itu mengacak-acak organ tubuhnya membunuh secara perlahan.

"He-hentikan!" Teriak Zeke yang terbangun di tengah jam pelajaran.

Seisi kelas terkejut bukan main mendengar teriakan Zeke.

"Kau tak apa Zeke?" Tanya guru matematika.

Zeke hanya diam, sekilas ia mengingat kejadian itu lagi dan segera berlari ke toilet.

"Maaf aku harus pergi ke toilet pak!"

Tangan yang gemetar, wajah yang pucat, itulah kondisi Zeke yang tengah bercermin di toilet.

"I-itu hanya mimpi kan .." ucap Zeke gemetar.

"Haaah… haaah… b-ba-gaimana aku melakukannya, i-itu hanya mimpi kan haha .. haha"

Zeke mencoba menenangkan dirinya.

"Masih belum ya" suara bisikan yang sama terdengar lagi, bahkan lebih jelas dari sebelumnya.

"Diam!" Teriak Zeke ketakutan.

Zeke masih tak percaya yang telah membunuh pra preman itu adalah dirinya. Zeke tetap mencoba menenangkan dirinya, mencuci wajahnya berharap semua ini hanyalah mimpi. Namun yang ia dapatkan adalah sosok mengerikan yang melekat persis di wajah sebelah kirinya. Kelopak mata hitam pekat dengan bola mata merah menyala, dengan rambut berwarna putih dihiasi mahkota hitam setengah lingkaran yang melayang tepat diatas kepalanya.

Zeke terkejut bukan main, kedua bola matanya membulat sempurna. Ketakutan yang membuat tubuhnya tak dapat digerakan. Sosok itu tersenyum dengan sangat lebar, gigi tajamnya menggambarkan kengerian tersendiri.

"Masih belum ya?" Ucap sosok itu.

"Ghaaa!" Teriak Zeke histeris.

Dari luar terdengar suara langkah kaki yang tergesah-gesah.

"Zeke! Kau tak apa?" Teriak Dias khawatir dengan Zeke.

Dalam sekejap sosok itu hilang, kini hanya wajah pucat Zeke yang terpantul dalam cermin itu.

Dias mencoba menenangkan Zeke, dan pada saat bersamaan kesadaran Zeke menghilang.

"Masih belum ya?" Ucapan yang sama terus menghantui Zeke.

"Berisik!" Teriak Zeke yang terbangun di ruang kesehatan.

Keringat yang membasahi wajahnya, membuat Dias yang berada di sampingnya lebih cemas.

"Zeke kau tak apa? Ini aku Dias!" Ucap Dias menenangkan Zeke.

"Argh! Kepalaku !" Sambil memegangi kepalanya, Zeke mengerang kesakitan.

("Eh!? Kenapa aku tak bisa mendengarkan suara hatinya Dias?") ucap Zeke dalam hati.

("Aku harap Zeke baik-baik saja") terdengar suara hati guru wanita penjaga ruang kesehatan.

"Bu Nohara, apakah Zeke akan baik-baik saja?" Ucap cemas Dias.

Bu Nohara mengelapkan kain kering ke wajah Zeke, dan menyuguhkan air putih kepadanya.

"Sepertinya Zeke sangat kelelahan, sebaiknya Zeke beristirahat di rumah"

"Terimakasih telah merawatku, Bu Nohara" ucap lirih Zeke.

Zeke tak sadar cukup lama, dia tersadar di sore hari. Beruntung, Dias mau menemaninya dan bahkan mengajukan diri untung mengantarkan Zeke kerumahnya.

Di tengah perjalanan, Dias mencoba menghibur Zeke yang masih terus melamun. Zeke yang cukup pendiam mulai banyak berbicara kepada Dias.

"Terimakasih Dias, kau terus menolongku … kau tahu, aku tak punya seorang teman satupun. Dirumah, aku hanya tinggal bersama pelayan saja. Ayah dan Ibuku pergi ke luar negeri".

"Kalau begitu mulai hari ini kita adalah sahabat oke!" Ucap Dias dengan senyumannya.

Sebuah kalimat yang simple tapi bermakna, membuat kekosongan hati Zeke mulai terisi dengan sebuah ikatan.

Akan tetapi Zeke tak mengetahui ancaman yang sebenarnya, sebuah kegelapan yang mengerikan telah mengintainya. Kini hanya tinggal menunggu waktu saja.

Zeke yang tak ingin merepotkan Dias, telah membulatkan tekadnya untuk menjadi lebih kuat. Kebetulan penjaga Zeke, Lee adalah mantan tentara dan Zeke memutuskan untuk berlatih beladiri dengannya.

"Lee aku ingin menjadi lebih kuat". Ucap singkat Zeke.

"Baiklah Tuan, dengan senang hati saya akan melatih Tuan hingga menjadi kuat".

Hampir setiap pulang sekolah Zeke selalu berlatih Taekwondo dengan Lee, hari berhari berlalu … minggu ke minggu sampai berbulan-bulan. Tak disangka, Zeke memiliki bakat alami dalam beladiri. Hanya dalam waktu satu bulan kemampuannya setara dengan mantan tentara itu.

"Ghak!"

Terdengar suara Lee yang terpental cukup jauh akibat tendangan Zeke. Bukan hanya kekuatan Zeke yang meningkat dan berubah, perlahan kepribadian Zeke yang termakan ambisinya untuk menjadi kuat merubah Zeke menjadi pribadi yang dingin.

Dias yang mulai menyadarinya mencoba untuk membantu Zeke, ia merasakan sesuatu telah terkadi kepada sahabatnya itu.

"Hei Zeke, apa kau tak apa?" Tanya Dias khawatir.

"Aku baik-baik saja"Jawab datar Zeke.

"Maaf, aku rasa kau sedikit berbeda … kau yang dulu ceria, ramah, dan banyak bicara berubah menjadi seperti ini. Apa kau marah kepadaku?"

Dias tetap memaksa untuk mengetahui alasan berubahnya Zeke.

"Aku hanya tak ingin merepotkanmu, telah banyak kejadian yang berlalu. Terlebih lagi saat kita masih kecil kau selalu melindungiku, maafkan aku bukanya aku melupakan kenangan itu tapi aku tak begitu mengingatnya"

10 tahun yang lalu, saat pertama kali Zeke pindah ia hanya seorang bocah kecil yang lemah dengan berimah harta. Zeke yang tinggal sendirian hanya bermain sendiri di taman rumahnya, karena merasa bosan ia memutuskan untuk kabur dari rumahnya.

"Hahaha aku ini seperti seorang ninja yang pergi diam-diam" ucap kegirangan Zeke kecil.

Tak disadari, seorang telah mengikuti Zeke dari belakang. Dan benar saja, saat Zeke berada di sebuah gang yang sepi ia di sekap oleh orang itu.

"T-tolongg!"

Sesaat sebelum Zeke dibawa paksa masuk ke mobil, sosok bocah lainnya menendang kepala penculik itu.

"Arg!"

Walaupun hanya anak kecil, kekuatan tendangannya cukup kuat untuk merobohkan orang dewasa.

Next chapter