1 Bab 1

"Ipeeeeh ...," suara nyaring Aminah, memanggil anak gadisnya yang bungsu.

"Bentar, Nyaaaak ...," sahut Syarifah tak kalah nyaring.

Ibu dan anak itu memang kerap kali bersahut-sahutan seperti itu setiap pagi. Bukan tanpa alasan. Karena rumahnya tingkat dua. Syarifah yang senang sekali berada di kamarnya di lantai dua, sering kali lupa waktu jika sudah berkutat dengan komik-komik dan novel-novel kesayangannya. 

"Buruan turun, bantuin emak di dapur," tegur Syaiful, kakak sulung Syarifah.

Syarifah bergegas keluar kamarnya dan menuju dapur, tempat ibunya biasa menghabiskan waktu di sana. Memasak, membuat kue-kue pesanan dan kemudian memasukkan kue-kue pesanan yang sudah matang semuanya itu ke dalam kotak, untuk kemudian dibawa Syaiful untuk dititipkan di toko langganannya sejak dua tahun lalu.

Syarifah merupakan bungsu dari lima bersaudara. Kakak-kakaknya sudah menikah semua dan memiliki anak, kecuali Syaiful.

Kita kenalan dulu, deh, ya, sama kakak-kakaknya Syarifah ini.

Anak ke dua, Fathimah, usia 34 tahun, ibu rumah tangga. Menikah dengan pengusaha roti rumahan yang laris manis, Fathi, usia 40 tahun. Memiliki empat orang anak, Abdullah 15 tahun, Umair 12 tahun, Bakr 10 tahun, dan Anisa 7 tahun.

Anak ke tiga, Maryam, usia 33 tahun, seorang penjahit yang bekerja dari rumah. Menikah dengan ASN, bernama Hasan, usia 36 tahun. Memiliki empat anak. Aulia 13 tahun, Umar 11 tahun, Ataya 7 tahun, dan Mas'ud 5 tahun.

Anak ke empat, Syuaib, usia 28 tahun, pengusaha roti rumahan yang bekerja sama dengan iparnya, Fathi. Menikah dengan seorang guru TK, bernama Anisa 27 tahun. Baru dikaruniai satu orang anak, bernama Iqbal usia 2 tahun.

Dibesarkan dalam keluarga besar seperti itu, membuat Syarifah si anak bontot terbiasa dengan keramaian dan hiruk pikuk bocah-bocah para keponakannya tercinta. Setiap mereka berkumpul, rumahnya mendadak ramai. Dan ketika mereka pulang, rumah terasa sepi kembali.

Setiap akhir pekan, semua keluarganya akan berkumpul di rumah ibu mereka, hal ini selalu menjadi agenda rutin keluarga mereka, jauh sebelum ayah mereka meninggal dua tahun lalu karena sakit. Baik Syaiful dan Syarifah tak pernah meninggalkan rumah di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Mereka ingin selalu menemani ibu mereka dan berbakti di sisa umurnya. Itulah sebabnya Syaiful yang sudah berusia 36 tahun, tampak belum kunjung memiliki jodoh. Meski sang ibu selalu mengingatkannya untuk mencari pendamping hidup.

Bekerja paruh waktu mengantarkan kue-kue buatan ibu mereka. Kemudian berangkat mengajar ke sekolah yang tak jauh dari rumah mereka. Sebagai guru SD. Tetapi jangan salah, meski berstatus jomblo, parasnya yang rupawan tak dapat dihindari oleh kaum Hawa yang single untuk berdetak jantungnya jika melihat senyum Syaiful yang memang menawan.

Usia Syarifah tahun ini genap 21 tahun, tapi karena perawakannya yang mungil dan hanya setinggi 153 cm, sering dikira usianya baru 19 tahun atau masih seusia anak SMU. Status juga sama dengan sang kakak. Jomblo.

Baik Syaiful dan Syarifah, mereka berdua memang dididik dalam lingkungan agama yang taat. Tidak boleh berpacaran, berduaan saja dengan lawan jenis tanpa didampingi mahram juga tidak boleh. Abahnya ketika masih hidup selalu melarangnya dan ini berlaku hingga Abah wafat dalam tidurnya.

Semua kakak-kakaknya dalam menemukan pasangan hidupnya dilalui dengan proses ta'aruf. Tidak pakai lama dan tidak seperti membeli kucing dalam karung. Semuanya dilakukan tanpa proses berpacaran. Tukar biodata, nadhor, cocok, lanjut lamaran kemudian menikah.

*

"Niy, nanti anterin ke rumah depan, ya, Peh," titah Aminah, ibu kesayangan Syarifah yang usianya kini sudah 53 tahun. Menikah di usia muda, 16 tahun. Melahirkan Syaiful saat usia 17 tahun. 

"Rumah om Bara, Mak?" tanya Syarifah ragu-ragu.

"Iye. Kemaren bini barunye pesen kue ma emak. 6 boks, tuh. Buat acara apalah emak kagak nanyain."—sambil sibuk memasukan boks-boks itu ke dalam dua kantong plastik besar—"Udeh, gih, noh, bawa sono. Biar gak telat."

Syarifah kemudian mengenakan jilbabnya sebelum keluar rumah. Dengan langkah gontai, membawa dua kantung plastik besar itu ke rumah tetangga tepat di depan rumahnya. Yang jaraknya beberapa meter. Sambil berdoa lirih, dirinya tidak bertemu lelaki duda eh mantan duda itu.

"Assalamu'alaikum," ucap salam Syarifah dari balik pagar rumah yang menjulang tinggi di hadapannya.

Rumah yang dahulunya hanya memiliki satu lantai, ketika lelaki yang bernama om Bara itu pindah kemari. Bersama istri pertamanya—teh Nurul, dan 2 anaknya, kala itu usia mereka Alya 7 tahun dan Andy 5 tahun. Setelah beberapa tahun tinggal, Bara membeli tanah di kiri-kanan rumahnya yang dahulunya adalah sebuah tanah kosong yang lumayan luas. Dibangun bertahap. Hingga menjadi rumah yang besar seperti sekarang ini. Dengan luas tanah yang sekarang 500 m2. Menjadikannya rumah mewah di kawasan perumahan itu. 

Well, lebih tepatnya, sih. Buat gambaran, nih, perumahan elit tempat Bara dan keluarganya tinggal sekarang ini letaknya berbatasan dengan perumahan warga kampung—di luar perumahan di kawasan Mampang, Jakarta. Jadi, sebetulnya Syarifah ini setiap kali bertandang ke rumah Bara saat istri pertamanya masih hidup, ya, lewat pagar belakang rumahnya. Untuk sesekali mengantar pesenan Nurul, atau sekedar untuk bermain dengan kedua anaknya yang kemudian bertambah menjadi empat orang anak setelah Nurul melahirkan anak kembar. Ardi dan Arga.

Sudah tiga kali Syarifah mengucap salam, ternyata sang pemilik rumah belum juga ada yang keluar. Syarifah ingat pengajaran abahnya ketika bertamu, cukup tiga kali salam. Jika tidak ada yang menjawab, segera pulang.

'Apa mungkin mereka pergi? Atau kudu ke pager depan, yak?' batin Syarifah. Akhirnya daripada pulang kena marah emak, bawa kembali boks kue pesenan istri ke tiga Bara. Syarifah berjalan sedikit menuju pagar depan rumah Bara. 'Satu kali salam lagi, deh. Gak ada yang jawab juga. Siap-siap pulang kena marah emak,' batinnya lagi.

Tiba di pagar depan, Syarifah memencet bel sambil mengulang ucapan salamnya sekali. Tak lama, pintu utama terbuka, dan dilihatnya wanita muda yang cantik dengan rambut ikalnya yang hitam berkilau, mengenakan baju terusan berwarna merah muda yang panjangnya hanya selutut, keluar dari rumah mewah itu dan berjalan menghampiri Syarifah.

"Bawa pesenan mpok Minah, ya?" tanya wanita muda bernama Vicky itu—istri ke tiga Bara yang baru dinikahinya kira-kira sejak sebulan yang lalu.

"Iya, Mbak. Ini," jawab Syarifah seraya menyerahkan dua kantung plastik besar itu.

"Jadi berapa, ya, semuanya?"

"Waduh, Ipah cuman disuruh anter aja ama emak. Emak gak kasih tau kalo belum bayar, Mba," jawab Syarifah kikuk. 

Dirinya memang gampang gugup jika berinteraksi dengan wanita dewasa yang belum berhijab, apalagi wanita muda di hadapannya ini sangat cantik dan,  eheum,  badannya bagus! Tingginya mungkin 170 cm, berat badan idel 60 kg, mungkin? Bak pragawati, deh. 'Eh apa emang pragawati, ya?' Syarifah belum dapet info, tuh, tentang siapa istri ke tiga om Bara ini.

"Ipah nanti balik lagi deh, ya, kasih tau berapa bayarnya," ujar Syarifah buru-buru.

"Ya, udah, ini Ipah bawa aja dulu uangnya, ya, nanti klo ternyata lebih, disimpen aja dulu buat pesenan berikutnya, yah," tutur Vicky ramah seraya menyerahkan sepuluh lembar uang merah bergambar duo cowok ganteng. Eh.

"Kebanyakan kayanya, Mba," cengir Syarifah.

***

avataravatar
Next chapter