6 6. Insiden Resleting Terbuka

"What?! Lo beneran datengin bokapnya Noah?!" Suara Nora yang begitu menggelegar membuat Ciel menutup kedua telinganya sendiri, berusaha menjadikan tangannya sebagai tameng dari suara ultrasonik tersebut.

Manik matanya yang begitu gelap sudah berputar malas, merasa jengah dengan tingkah sahabatnya yang memuakkan. Begitu bising dan memusingkan.

"Bisa gak sih suaranya dikecilin dikit, Nora?! Kalau ada yang denger gimana?!"

"Udah pasti ada yang denger, Ciel. 'Kan lo punya kuping." Balas Nora.

Ciel yang saat itu sedang menutup telinganya kesulitan mendengar suara Nora. Alhasil, dia bergumam. "Hah?! Cuping?! Ciel gak punya cuping. Emang cuping tuh apaan?!"

"Udah goblok, budek pula. Capek banget gue punya temen kayak dia." Keluh Nora. Dia menarik kedua tangan Ciel, berteriak di telinga sahabatnya.

"Gue bicara tentang kuping, bukan cuping, Ciel!" Teriak Nora.

Ciel terkejut bukan main. Dia sampai beranjak, menepuk-nepuk telinganya yang berdengung akibat suara melengking Nora yang menerobos paksa. "Ish! Berisik! gue gak budek, Nora!" Kesalnya.

Nora tampak tidak peduli. Dia duduk, melipat kedua kakinya. "Jadi, lo beneran datengin bokapnya Noah? Lo ketemu sama dia? Dapetin nomor handphone nya?"

Ciel mengangguk polos. "Yaps. Ciel ke kantornya, minta ketemu sama dia dan bilang kalau gue adalah calon istri dia. Terus gue juga udah dapetin nomor handphone nya."

"Oke, temen gue bukan goblok lagi. Tapi goblok kuadrat. Tapi, tunggu…" Nora berpikir sejenak, menatap Ciel dengan tatapan anehnya. "Lo ngerasa ada yang aneh gak sih, Ciel?"

"Aneh? Aneh apa? Gak ada tuh. Ciel masih manusia. Gak berbulu, gak berekor, dan gak gak berbatang juga." Ucapnya polos.

Nora menghela nafas berat, mencoba bersabar. "Aneh aja gituloh… kok bisa semudah itu? Lo dateng, di sambut dan langsung ketemu, lo juga dapetin nomor handphone nya… ini gak normal, Ciel! Ini aneh! Gak mungkin hidup bisa semudah ini. Tidak ada yang mudah di dunia, Ciel?" Nora dengan suara melengking dan juga ocehannya adalah perpaduan yang tidak perlu di dengar. Hanya merusak gendang telinga saja.

Ciel mengendikkan bahunya, "gak tahu. Mungkin Tuhan lagi baik sama Ciel. Ehm, tapi ya Nora… sebenernya, Bokapnya Noah tuh ngasih nomor handphone dia ke Ciel karena ada alasannya."

"Apa?"

"Ciel di suruh jadi mata-mata buat anaknya sendiri. Ciel di suruh laporin semua yang Noah lakuin ke bokapnya."

"Jadi, lo di manfaatin?" Tanya Nora.

Ciel mengangguk, menekuk bibirnya. "Iya… huaaaa Ciel di manfaatin!"

Mata Nora berputar jengah, "gue bilang juga apa, gak ada yang gampang di dunia ini."

"Lagian lo juga, udah tau di manfaatin malah nurut aja. Bego jangan terlalu bego. Mana di manfaatin sama Om-Om pula. Duh, nyeseknya berkali-lipat." Cibir Nora.

Ciel berdecak kesal, berbaring di atas sofa. "Ya gimana, cuman ini satu-satunya cara biar Ciel bisa deket sama dia dan selesaiin rencana Ciel." Katanya.

Nora berdecak, merutuki kebodohan sahabatnya satu ini. "Gak cuman ini. Tapi, lo aja yang males buat mikir. Lagian nih ya, harusnya kalau lo mau balas dendam, lo deketin bokapnya Amara Dinah, bukan bokapnya Noah."

"Masalahnya bokapnya Amara Dinah udah meninggal, Nora. Lo lupa kalau dia kuliah pakai beasiswa anak yatim?" Ucap Ciel.

Nora seketika merasa bersalah dan menepuk keningnya sendiri. Dia menggigit bibir bawahnya, tersenyum canggung. "Iya ya… tumben lo pinter."

"Sejak kapan gue bodoh?!"

"Udah bodoh, gak sadar diri. Lengkap banget sahabat gue satu ini."

***

***

"Huft!" Helaan nafas berat terdengar dari seorang gadis muda yang rambutnya begitu berantakan. Rambut hitam gelapnya kini bagaikan bulu gorila yang tidak terawat. Kusut dan tidak beraturan.

"Ra… praktikumnya susah banget ya? Gue mana pernah mikirin parasit. Sakit kepala gue mikirin parasit. Bakteri aja gue telen hidup-hidup dari makanan yang jatuh belum lima menit." Keluh Ciel.

Hidupnya selama ini hanya tentang mengeluh dan mengeluh. Setiap kali Ciel keluar dari ruangan praktikum, yang dia lakukan pada akhirnya hanya mengeluh kepada Nora, sahabatnya.

Yang anehnya lagi, keluhan yang selalu terucap dari bibir Ciel adalah keluhan yang tidak berguna.

"Ciel… tadi itu praktikumnya gampang. Cuman, lo aja yang ceroboh sampai mecahin dua barang di lab! Bahkan, entah gimana bisa jas lab berubah warna pas lo pakai. Lo bunglon atau apa sih?" Kesal Nora.

Ciel yang sedang lelah batin tentunya marah sewaktu sedang curhat, tetapi tidak mendapat tanggapan seperti yang dirinya inginkan. "Ck! Itu tuh gak sengaja, Nora! Lagian ya… gue lagi curhat. Sebagai sahabat yang baik, harusnya lo dengerin curhatan gue bukannya malah menghakimi dan salahin gue, gimana sih!" Protesnya.

Nora menggigit bibir bawahnya, menahan rasa dongkol di dalam dada. "Gue sahabat yang buruk, bukan sahabat yang baik. Jadi, setiap lo curhat, gue bakal selalu nge respon lo dengan cara salahin lo."

"Ck! Nora gak as—"

"Babe!" Teriakan seseorang berhasil membuat Ciel menoleh cepat. Pasalnya, yang Ciel dengar adalah suara yang begitu familiar untuknya.

"Noah? Bukannya hari ini kamu ada kelasnya sore nanti ya? Kok jam segini udah di kampus?" Tanya Ciel. Noah, kekasihnya datang. Berdiri di depan dia dengan pakaiannya yang sangat rapi dan rambut yang… berantakan.

Di tengah pakaian Noah yang terlihat rapi, ada satu hal yang mengusik mata Ciel. "Noah, itu celana nya belum di resleting." Kata Ciel.

Noah menurunkan pandangannya, langsung menaikkan resleting celananya sendiri. "Duh, bahaya nih kalau Si Gatot terbang. Bisa-bisa kamu gak ngerasain surga dunia pas nikah nanti." Canda Noah.

Ciel hanya tersenyum canggung. Ekspresinya terlihat… terpaksa.

Bersamaan dengan senyum terpaksanya yang penuh makna, manik mata Ciel bisa melihat seorang perempuan yang berjalan melewati mereka.

Amara Dinah, selingkuhan Noah yang katanya merupakan gadis tidak baik yang suka menjajakan tubuhnya sendiri kesana-kemari.

Meski Ciel adalah gadis yang bodoh dan ceroboh, matanya terbilang cukup teliti. Selain dia menemukan resleting celana Noah yang tidak tertutup, sekarang dia melihat resleting celana Amara Dinah yang juga terbuka.

Dan tanpa ragu sedikitpun, Ciel berteriak. "Ehm, lo si rambut coklat! Resleting nya kebuka tuh!" Sahut Ciel.

Amara Dinah menghentikan langkahnya dan langsung menoleh ke arah Ciel. "Gue?" Tanya Amara Dinah seraya menunjuk dirinya sendiri.

Ciel mengangkat alisnya, menunjuk resleting nya. "Kebuka." Katanya.

Amara Dinah secara otomatis langsung menutupnya. Tak lupa, dia juga menyempatkan diri untuk merapikan rambutnya yang terbilang berantakan. "Thank you, Ciel. Tadi gue habis… enak-enak sama pacar gue soalnya. Kalau gitu, see you!"

Mendengar itu, Ciel hanya membatin kesal. 'Pacar gue maksudnya?!'

Ciel tidak marah. Dia melirik sang kekasih yang terlihat panik, kemudian menyindirnya. "Kok bisa barengan gitu lupa di resleting nya ya?"

avataravatar
Next chapter