23 Problem

Ryan sudah berada di teras gedung saat aku keluar dari sana dan berencana segera pulang. Tubuhku sungguh lelah. Cuaca yang mulai panas membuatku lemah. Nafsu makanku mulai menurun, dan kerap kali mengalami perdarahan di hidung.

Sungguh aku tak ingin kembali ke rumah sakit atau pun klinik. Kondisi ini sungguh melelahkan bagiku.

Ryan menanti sejak tadi. Hari ini entah apa yang akan ia lakukan padaku.

Hey, apa yang kupikirkan, Jenna? Tentu saja ia hanya akan menjemputmu dan mengantarmu untuk kontrol rutin. Apa lagi? Memangnya apa yang kau harapkan? Kau ingin Ryan merayumu?

"Sudah siap?" tanya pria itu sebelum melajukan kendaraannya. Aku memutar bola mata.

"Tak perlu bertanya, kau sudah tahu bagaimana diriku. Kau tahu, sepertinya aku lebih baik pindah rumah," ucapku asal. Ryan justru tertawa sembari menggeleng.

"Apa maksudnya?" tanya pria itu di sela tawanya. Masih dengan konsentrasi terbagi, menatap lurus ke jalan yang sesekali juga melirik ke arahku.

"Karena pada akhirnya aku harus bolak-balik rumah dan klinik atau bahkan rumah sakit. Ryan, ini melelahkan," keluhku membanting kepala pada sandaran bangku.

Pria itu meraih jemariku. Begini saja sudah cukup menenangkanku, sungguh.

"Kau bisa melalui ini, Jenna. Aku akan selalu menemanimu melewati ini semua." Senyumnya. Aku membalasnya dengan hal sama juga anggukan patuh.

Beberapa saat memandangnya penuh perasaan ... entah perasaan apa.

Ingin sekali kukatakan bahwa ini cinta, tetapi aku bahkan tidak yakin apakah benar atau hanya karena terbawa perasaan. Karena kebersamaan yang terjalin, perhatiannya padaku, juga apa yang telah kami lalui.

Andaikan benar, bisakah aku bertahan dengannya dan menjalin kisah ini hingga seterusnya dan selamanya?

"Jenna?" Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Oh, ternyata kami sudah tiba di halaman parkir rumah sakit.

Ia membantuku turun dari mobil dan tanpa canggung menautkan jemarinya, berjalan beriringan. Seperti sepasang kekasih.

Pipiku terasa hangat, dan saat ini pasti sedang memerah. Aku menunduk agar Ryan tidak melihat perubahan di wajahku.

Kami tiba di depan ruangan dokter Armando. Ryan masih tidak melepaskan genggamannya saat menanti giliran. Dan tak berapa lama seorang wanita muda berseragam baby pink memanggil namaku. Aku bergegas masuk disusul oleh Ryan.

Baru tiba di ruangan dokter berdarah Spanyol itu, tatapan matanya langsung tertuju pada tangan Ryan yang masih tidak melepaskan genggamannya dariku.

Ada tatapan tak suka yang terpancar dari kilat mata dokter Armando, yang terus terang saja membuatku sedikit canggung.

Pria itu berdehem, kemudian mempersilahkan kami duduk. Beberapa lama ia menjelaskan hal yang perlu untuk kudengar. Tentang apa yang sebaiknya kami lakukan untuk mendapat kesembuhan yang lebih permanen.

"Hal terbaik yang harus kita lakukan adalah melalui transplantasi sumsum." Dokter Armando menjelaskan itu semua satu per satu. Namun, aku tak sabar mengetahui inti dari pembicaraan ini.

"A-apa tidak ada metode lain?" tanyaku. Jika ditanya apakah aku takut, jawabannya sudah jelas. Namun, demi kesembuhan apa pun akan kulakukan.

Begitu pula Ryan. Aku yakin ia akan melakukan segala hal demi diriku.

Ryan menggenggam jemariku berusaha memberi kekuatan yang ia miliki. Sementara aku masih menanti dokter Armando memberi penjelasan lain tentang kemajuan pengobatan yang telah kujalani.

"Pengobatan yang telah kita lakukan, jika dilanjutkan dan dilakukan dalam jangka panjang justru akan membahayakan kondisimu. Dikhawatirkan akan membawa masalah baru seperti kanker. Karenanya, transplantasi sumsum adalah yang terbaik."

Aku menghela napas lalu mengembuskannya perlahan. Ada harapan untuk kesembuhan permanen bagi penyakitku, tetapi bukan perkara mudah. Kata dokter Armando, pendonor haruslah yang masih memiliki hubungan darah denganku.

Aku kurang memahami tentang ini, kurasa mata kuliah yang kuambil belum mencakup hingga ke sana.

"Pikirkanlah dulu sembari mencari pendonor yang memenuhi kriteria," ucap dokter Armando kemudian menutup file yang semula ia tunjukkan pada kami.

"Untuk sementara, kita masih bisa meneruskan treatmen awal. Setidaknya untuk mempertahankan kondisimu sementara waktu sampai kita bisa memutuskan donor yang cocok."

Aku mengangguk kemudian bangkit dari kursi dan hendak keluar, tetapi kuurungkan sejenak ketika mendengar dokter Armando berbicara lirih pada Ryan.

"Aku ingin bicara denganmu," cegah dokter Armando pada Ryan yang dengan terpaksa membuatku keluar dari ruangan tanpa Ryan.

Aku masih di depan pintu, berusaha mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Selama ini aku sedikit curiga pada gelagat mereka berdua.

Apakah mereka sepasang kekasih? Lalu dokter Armando yang mengendus hubungan Ryan denganku lantas marah dan ingin memutuskan hubungan?

Aku menajamkan telinga demi mendengar lebih jelas percakapan mereka.

"Kau tahu, Ryan, apa yang kau lakukan ini akan menyakitinya. Tidak hanya dia. Pikirkan bagaimana perasaan—"

"Cukup, John. Kau tidak perlu mengingatkanku tentang itu. Aku sadar apa yang kulakukan. Namun, sadarkah kau apa yang ia lakukan terhadapku? Tanyakan padanya sudah berapa lama ia tak pulang? Tanyakan! Bukankah kau sahabat karibnya? Yang bahkan pernah tidur dan menghabiskan malam dengannya. Dan kau ingat saat itu dia siapa?"

Suara perdebatan mereka tidak terlalu jelas. Hanya lamat-lamat, dan aku tidak memahami apa yang mereka perdebatkan. Apakah diriku?

Aku menjauh dari pintu dan memilih sebuah tempat kemudian merebahkan tubuh yang mulai lelah. Bagaimana mencari pendonor yang berarti aku harus mengatakan hal yang sejujurnya pada ayah dan ibu.

Tak berani membayangkan bagaimana perasaan mereka jika mengetahui kondisi putri semata wayangnya yang sedang mengantri untuk mati.

Aku mengehela nafas berat. Seolah ada sesuatu yang menghalangi jalan nafasku saat ini. Ryan belum juga keluar sementara aku mulai merasa lelah. Apa yang sebenarnya mereka lakukan di dalam? Tak bisakah mereka membicarakan ini semua nanti saat jam kerja selesai?

Kemudian, tak berapa lama pintu terbuka. Wajah Ryan menyembul di sana, disusul derap langkahnya yang mendekat ke arahku. Aku bangkit dan menghaampiri sebelum ia tiba di tempatku.

Meraih jemarinya sembari menatap mata kelabunya.

"Apakah ada masalah?" tanyaku penasaran. Pastinya ia tak akan menjawab atau mengatakan apa pun. Namun, aku sungguh ingin mengetahuinya.

Pria itu menggeleng.

"Tidak ada apa-apa, Jenna. Semua baik-baik saja. Ayo, kita pulang sekarang," ajaknya kemudian menggandengku berjalan meninggalkan rumah sakit.

***

Selama perjalanan, Ryan sama sekali tidak mengatakan apa pun. Ia hanya bergeming dan fokus dengan jalan membentang di hadapannya. Bahkan sama sekali tak menoleh padaku seperti yang biasa ia lakukan.

"Ryan, benarkah semua baik-baik saja?" tanyaku lagi memastikan ia sungguh tidak sedang berada dalam masalah besar. Aku dapat melihat bagaimana kilat mata dokter Armando pada Ryan saat ia mengetahui Ryan menggandeng mesra tanganku.

Ekspresi itu bahkan pernah kulihat sebelumnya saat pertama kali menjalani perawatan di rumah sakit. Ada apa sebenarnya? Haruskah aku mencari tahu sendiri?

***

avataravatar
Next chapter