16 Perfect Time

Hari ini aku hanya berguling di ranjang empukku. Mengumpulkan niat untuk beranjak lalu membersihkan diri. Aku memutuskan untuk ke kampus, meski tidak mengikuti perkuliahan setidaknya bisa sekedar melepas rindu pada kampus tercinta. Atau Clara. Bagaimana kabarnya hari ini? Lama tak menjawab panggilan dan membalas pesanku, tentu saja menimbulkan rindu.

Kemarahannya kali ini sedikit tak masuk akal dan tidak beralasan. Apa sebenarnya yang membuat dirinya begitu kesal? Apakah ia mengira aku dan para dokter sedang berakting untuk menipunya? Atau bagaimana? Terus terang aku dibuat bingung dengan sikapnya. Andai saja ia mau menerima panggilanku atau menjelaskan apa pun yang ia rasakan, perasaanku tak akan seperti ini.

Aku bangkit dari pembaringan, menuju toilet yang berada di dalam kamar. Masih dengan cuaca yang cukup panas, tetapi mengingat apa yang dikatakan Dokter Karl, aku mengurungkan niat untuk berendam air dingin lagi. Aku tak ingin kembali ke tempat itu lagi. Tidak.

Jika hanya untuk bertemu dengan Ryan—begitu ia ingin dipanggil—aku akan melakukannya setiap hari, mengenalnya lebih dekat, menemaninya. Aku menggeleng cepat demi mengusir pikiran yang mulai tak beraturan. Apa yang baru saja kupikirkan?

Sekali lagi, aku tak akan menggodanya kecuali memang ia sendiri yang menginginkannya.

Setelah mengendarai mobil perlahan dan hati-hati, akhirnya tiba di kampus dengan selamt. Untuk gadis penyakitan sepertiku saat ini, berhasil tiba di suatu tempat dengan selamat adalah sebuah pencapaian. Aku patut bangga pada diriku.

Kampus tak banyak berubah, tentu saja karena hanya beberapa hari aku tidak datang sekedar menjejakkan kaki di sini. Apalagi untuk mengikuti perkuliahan. Sungguh minatku sudah hilang. Entah bagaimana memjelaskan pada ayah dan ibu tentang ini. Tentang kuliahku yang amburadul, juga tentang penyakit yang kuderita.

Meskipun sudah jauh lebih baik, tetapi tetap saja mereka seharusnya mengetahui ini. Mungkin nanti akan kuatur jadwal untuk mengunjungi mereka di kampung halamanku. Bersama dengan Clara, jika mungkin.

***

Aku tak ingin mengikuti perkuliahan, bukan jadwal Dokter Karl jadi tak ada alasan kuat yang membuatku lebih bersemangat. Kuputuskan untuk mampir ke kafetaria dan memesan kudapan atau apa pun agar aku bisa meminum obat yang sudah dijadwalkan oleh Dokter tampan itu.

Ia memberiku sebuah botol dengan kotak obat yang terpasang di bagian luarnya. Memudahkanku untuk mengingat kapan harus menenggak butiran itu. Dan ia berpesan untuk membawa benda itu ke mana pun. Aku harus mengkonsumsi banyak mineral terlebih yang terkandung dalam air. Dan segudang pesan serta wejangan lain yang ia tuturkan padaku.

Terima kasih padanya.

Kini aku sudah duduk di tempat di mana terakhir kali aku dan Dokter Karl bertengkar. Aku tak akan melupakan kejadian itu. Untuk pertama kalinya membuat keributan dengan seorang dosen, sama halnya dengan cari mati.

Namun, sepertinya ia menyadari bahwa dirinya pun sudah melakukan kesalahan. Itu telah ia akui saat perjalanan kemarin ketika mengantarku pulang.

Aku menghela nafas lelah. Ternyata seorang diri tanpa satu pun teman benar-benar menjenuhkan. Aku berharap bisa bertemu Clara untuk meminta maaf. Haruskah aku mengintip ke kelasnya? Tidak! Aku sedang membolos saat ini, mengintip hanya akan menarik perhatian banyak orang.

Tunai sudah kutenggak enam butir obat hari ini. Sungguh sangat menyiksa, tapi harus kulakukan demi bisa bertahan hidup. Demi apa? Demi siapa? Entahlah. Sampai saat ini aku masih belum menemukan alasanku bertahan. Jangan tanyakan hubunganku dengan ayah dan ibu.

Mereka orang tua yang baik, hanya mungkin kurang beruntung karena mendapat anak gadis yang bandel sepertiku. Mereka akan lakukan apa pun demi membahagiakanku, tapi bagiku sikap mereka terlalu berlebihan. Overprotektif, terlalu panik jika mengetahui telah terjadi sesuatu padaku.

Bahkan dulu saat masih di bangku Senior High School, yang seharusnya sudah mendapat kepercayaan, aku justru sebaliknya. Ayah selalu berjaga setiap Blake datang ke rumah. Mungkin ia khawatir putri tunggalnya ini akan diculik atau bahkan dibunuh. Seperti yang selalu ayah tonton di televisi.

Tontonan memang terkadang mempengaruhi pola pikir seseorang.

Hingga saat ini aku masih kesal dengan sikap ayah. Terlebih jika mengingat betapa dulu aku menyukai Blake. Dan kepergiannya seolah kemenangan bagi ayah, terbukti dengan sikapnya yang terlihat girang saat tahu pria itu tak lagi bersamaku. Kenangan yang menyebalkan.

Aku bangkit dari tempatku, memutuskan untuk menemui Clara di rumahnya. Mumpung suasana hatiku sedang baik. Jika tidak, mungkin kubiarkan saja masalah ini berlarut-larut atau membaik dengan sendirinya. Untuk kali ini, aku akan mengalah lagi, demi persahabatan kami.

***

Baru setengah perjalanan, mesin mobil Mercedez tua ini tersendat. Sesekali mengeluarkan suara seperti terbatuk. Ada apa lagi sekarang? Tidak cukupkan saat itu membuatku celaka?

Aku menghentikan mobil di pinggir jalan. Berharap ada seseorang yang bisa memperbaiki atau mengantarkan mobil ini menuju ke bengkel, yang terjadi justru sebaliknya. Mendadak suasana jalanan lengang seolah tak ada kehidupan. Aku menunggu seseorang lewat di depanku, tapi nihil.

Sial!

Di kejauhan terlihat awan kelabu yang menggantung dan bergerak mendekat ke arahku.

Oh, please, jangan sekarang! Setidaknya tunggulah sampai petugas derek datang, atau seseorang menyelamatkanku.

Namun malang tak dapat ditolak, baru saja aku mengucapkan harapan dalam hati, titik air sudah tak sabar dan mulai berjatuhan. Aku hanya mampu menghela nafas dan mau tak mau menerima saja runtuhan air langit yang membasahi tubuhku.

Kemeja berwarna peach yang kukenakan kini sudah basah kuyup, menampakkan pakaian dalam yang berwarna kontras, ungu. Sungguh kesialan yang bertubi-tubi. Entah apa yang ada dalam pikiranku hingga memakai pakaian yang tak senada. Bahkan tak pernah terbayangkan mobil sialan ini akan mogok, ditambah hujan turun.

Perfect!

Aku sudah mulai menggigil. Sebaiknya masuk ke mobil dan berlindung di dalamnya. Jika nanti ada polisi, tinggal katakan saja jika mobilku mogok. Karena memang begitulah kenyataannya. Baiklah, ide yang bagus, daripada hnaya diam berdiri di bawah guyuran hujan yang datang tiba-tiba.

Baru hendak memasuki mobil, sebuah SUV berwarna hitam berhenti tak jauh di depanku. Tak berapa lama pemilik mobil tersebut keluar sembari membentangkan payung di tangannya.

Mana mungkin aku tidak mengenali mobil itu, terlebih pemiliknya.

"Jenna, apa yang kau lakukan di sini? Dan bajumu ... lihatlah, kau kehujanan." Dokter Karl mengarahkan payung untuk melindungiku dari guyuran hujan. Aku mengusap wajah yang basah terkena air hujan yang tak bisa diajak kompromi ini.

"Uhm, mobilku tiba-tiba mogok. Dan sialnya hujan turun. Kau bisa lihat, kan,tak ada seorang pun lewat sejak tadi," tuturku secara mendetail sebelum ia menceramahi dengan membawa-bawa kondisi kesehatanku.

"Baiklah, sekarang ada aku, kan?! Kau naiklah ke mobil, akan kuantar kau pulang."

"T-tapi mobilku—"

"Tinggalkan saja, nanti kita hubungi tukang derek," titahnya kemudian dengan segera menarik tubuhku untuk berlindung di bawah payung dan mengikutinya menuju ke mobil.

Tunggu, sejak kapan ia menjadi dominan seperti ini? Apakah ini masih Dokter Karl yang kukenal? Ataukah orang lain?

Dengan segala pemikiran yang berkecamuk, kuikuti langkahnya. Ia membuka pintu mobil untukku sebelum kemudian masuk dan duduk di depan kemudi, lalu perlahan melajukan tunggangannya menerobos derasnya hujan dan jalanan yang lengang.

***

avataravatar
Next chapter