4 Paralysis

Tiga kali sudah ponselku berdering, tapi aku seperti tak memiliki tenaga untuk beranjak dari ranjang. Bahkan untuk meraih posel itu. Tangan ini hanya menggapai lemah yang justru berujung pada terhempasnya benda pipih itu ke lantai.

Shit!

Aku mendesah pasrah, membiarkan benda itu tergeletak di sana. Dengan sekuat tenaga aku membalik tubuhku ke posisi telentang. Mata menatap langit-langit kamar, kosong. Memikirkan Blake yang tiba-tiba hadir dalam hidupku. Tidak lantas serta-merta mengobrak abrik hati yang bertahun-tahun kutata, tapi cukup bisa membuatku sedikit goyah.

Malam itu ia mengantarku hingga tiba di rumah. Mampir hanya sebentar, kemudian pamit karena paginya ia harus berangkat ke luar kota untuk memeriksa Restaurant di sana. Dan malam kami ditutup dengan kecupan yang mesra darinya. Hanya itu. Tidak ada pergumulan ranjang atau apa pun. Ia memiliki pertahanan yang cukup kuat.

"Aku ingin sekali melakukannya jika tak ingat banyak hal yang menantiku besok pagi. Simpan itu untukku nanti," ucapnya kemudian mendaratkan satu kecupan untuk ke sekian kali sebelum kemudian menghilang di balik pintu.

Dan itu semua, membuatku tak bisa memejamkan mata. Pada akhirnya pagi ini rasa lelah menyerangku. Dan satu lagi yang membuatku gundah gulana, hingga saat ini ia belum juga menghubungi.

Benda sialan itu berdering lagi. Aku ingat sudah mematikan alarm, tapi kenapa masih berbunyi? Apakah Clara? Lagi, kupaksakan tubuhku untuk bangkit dari ranjang, berusaha meraih benda yang masih saja menjerit sejak tadi.

"Halo." Akhirnya benda itu berhasil kuraih dan kini berada di samping telingaku.

"Kau tidur atau mati, Jenna? Aku meneleponmu seperti beratus-ratus kali. Jangan katakan kau—"

"Tidak! Aku baru bangun, tidak tidur dengan siapa pun." Aku menjauhkan ponsel dan masuk ke kamera, menangkap gambar diriku berada di ranjang hanya seorang diri, lalu mengirimkannya pada Clara.

"Baguslah ...." Ada desah lega di seberang sana. "Ayo cepat bangun! Kau lupa hari ini mata kuliah anatomi?"

"Apa???" Ah, iya benar. Tiba-tiba teringat akan peringatan dari Dokter Dosen saat itu bahwa aku tidak boleh datang terlambat. Lalu pukul berapa sekarang?

"Clara, jemput aku," rengekku padanya. Membayangkan bagaimana padatnya lalu-lintas membuatku malas mengemudi sendiri.

Andai saja aku punya seorang supir.

"Sayang sekali, baby, aku sudah berada di kampus." Kali ini giliran dirinya yang mengambil gambar, sudah berada di kelas dengan teman-teman lain.

Sial!

Aku bergegas bangkit dan sekedar mencuci wajah. Mengganti pakaian dan mengambil ransel, kemudian berlari kecil menuju garasi. Lalu dengan segera melajukan tungganganku membelah jalanan padat demi tiba di kampus tepat waktu.

***

"Kamu melewatkan kelasku hari ini, Nona Jameson." Pria itu tiba-tiba muncul di belakangku. Membuatku nyaris terlompat, tapi sayang sekali aku terlanjur menghamburkan salad sayuran ke lantai. Aku menoleh pada makanan yang berserakan, lalu pada Dokter Dosen yang kini berdiri di hadapanku.

"Maaf, Dok, aku bangun kesiangan," jawabku, meletakkan nampan kembali ke meja kasir. Beberapa petugas kebersihan dengan sigap segera membersihkan kekacauan yang kubuat.

"Apakah kau sakit lagi?" Kali ini wajahnya terlihat ... Cemas, mungkin. Aku tak mampu menerjemahkan mimiknya saat ini. Lagipula tidak terlalu penting.

"Tidak. Seharusnya tidak karena aku tidak merasakan—"

"Jenna! Jenna! Cepat panggilkan ambulance ...." Suara itu hanya terdengar lamat-lamat. Tubuhku seperti merasakan sleep paralysis. Selanjutnya aku tak mendengar atau mengingat apa pun.

***

Seperti berada di dimensi lain, entah belahan bumi atau belahan dunia yang mana. Semua terasa kosong. Hanya putih. Aku mengerjap beberapa kali. Silau lampu menyorot langsung ke mataku membuatnya sulit untuk terbuka.

Aku merasa mengatakan sesuatu namun hanya racauan, masih setengah sadar. Rasanya seperti mengantuk, tapi lebih berat lagi. Kepala berputar dan pening. Tubuhku serasa melayang tak bertulang. Ada apa sebenarnya ini?

"A-aku ... D-di mana ...?" tanyaku lemah. Seseorang menggenggam jemariku.

"Jenna, aku di sini. Kau akan baik-baik saja."

Clara. Itu benar suara Clara. Tapi di mana aku? Terdengar suara-suara seperti mendengung tak jelas. Seolah berada di sarang lebah yang berisik.

Sudahlah ... Kurasa lebih baik kembali memejamkan mata. Mungkin belum saatnya aku sadar.

Sekali lagi aku merasakan genggaman lembut di tanganku.

"Jenna ...." Aku bisa mendengar isak Clara. Apakah aku sudah mati? Tidak mungkin!

Aku harus memaksa mata ini untuk terbuka. Ada apa sebenarnya?

"C-Clara ...," panggilku saat sosoknya sudah tertangkap lensa mataku. Ia mendekatkan tubuhnya.

"Aku di sini, Jenna."

"A-aku di mana?"

"Kau jangan bicara dulu. Tadi kau pingsan, tapi kata dokter tak ada yang perlu dirisaukan. Setidaknya sampai hasil tes keluar."

Aku mengernyitkan dahi, otakku tak mampu memproses apa yang dikatakan sahabatku itu. Ranjang yang kutiduri ini rasanya seperti digoyangkan oleh gempa. Membuatku merasa mual.

"Oh, iya. Ayah dan Ibumu sedang menuju kemari," ucap Clara lagi yang hanya kujawab dengan anggukan lemah. Aku tak sanggup mengatakan apa pun. Terlalu lemah untuk bergerak atau berbicara. Perlahan mataku kembali terasa berat. Kubiarkan rasa lemah dan kantuk menyerang lagi. Aku masih ingin hidup.

***

Kali ini aku benar-benar sudah sadar. Ayah dan Ibu duduk menemani di sofa, sementara Clara masih di samping ranjang dan menggenggam tanganku. Wajahnya mengulas senyum saat melihat mataku terbuka.

"Jenna. Syukurlah kau sudah sadar." Mendengar kalimat yang diucapkan Clara, Ayah dan Ibu bangkit dari sofa dan bergegas mendekat.

"Apa yang terjadi?" Aku sudah bisa bertanya dan bicara dengan cukup lancar, indikasi bahwa kondisiku telah sedikit membaik.

"Kau pingsan di kampus, untunglah ada Dokter Karl yang berada di sana bersamamu. Ia segera membawamu kemari. Apa yang kau rasakan sekarang?" tanya Clara setelah menjelaskan perihal kondisiku sebelum berada di sini. Aku memang saat itu bersama Dokter Dosen itu, tapi tak ingat apa yang terjadi selanjutnya.

"Aku lapar," jawabku asal. Namun memang benar bahwa perutku keroncongan saat ini. Lainnya tertawa mendengar ucapanku.

"Kasihan sekali anak Ibu sampai kelaparan. Apakah kau tidak makan siang?" tanya Ibu kemudian mengambil menu yang telah disediakan oleh klinik lalu perlahan menyuapiku yang dengan lahap menghabiskan makanan itu hingga tak bersisa.

Clara hanya menggeleng memperhatikan selera makanku yang semakin menjadi.

"Sepertinya kau butuh kekasih. Jika terus menerus seperti ini kau akan kesepian, dan berimbas pada nafsu makanmu," godanya. Aku tak ingin merespon candaan gadis itu. Namun mendengar kata kekasih, entah mengapa jantungku berdegup kencang. Ada gelenyar aneh yang menyusup kalbuku. Bayangan Blake tiba-tiba muncul dan mengganggu pikiranku.

Di mana ia sekarang? Mengapa ia tak memberi kabar? Dan, mengapa aku harus begitu berharap pesan darinya? Ia bukan siapa-siapa dan mungkin tak akan pernah menjadi siapa-siapa.

Di tengah kegalauan hatiku, suara ketukan membuyarkan lamunan yang berkelana kesana kemari, diganggu rasa ingin tahu akan kabar pria tampan yang pernah singgah dalam hidupku itu.

Dokter Karl masuk bersama perawat dan seperti biasa melakukan pemeriksaan pada kondisiku.

"Kau pingsan lagi, Jenna. Apa yang kau rasakan?" tanya pria dengan gurat halus di keningnya. Rambutnya sudah ada yang memutih. Hanya beberapa helai, dan tidak berefek pada kharisma serta ketampanan yang memang sudah dimilikinya.

"Entahlah. Apakah mungkin karena aku belum makan? Biasanya aku tidak pernah melewatkan sarapan dan makan siang. Makan malam terkadang hanya secangkir teh hijau. Hari ini bahkan aku belum makan apa pun saat di kampus."

Dokter Karl mengangguk mengerti. Ia memakai stetoskop dan melakukan sama persis apa yang dilakukannya tempo hari padaku. Memastikan kondisiku saat ini sudah membaik. Keningnya berkerut saat memeriksa denyut nadiku.

"Nadimu sangat lemah, tapi dari hasil tes kadar sel darah merahmu masih aman. Aku hanya akan meresepkan zat besi dan beberapa vitamin dan mineral. Kau harus meminumnya secara teratur. Dan jangan lagi lewatkan makan pagi."

Aku mengangguk pasrah. Apa lagi yang harus kulakukan? Dokter Karl benar, bahwa memang melewatkan sarapan pagi selalu berimbas pada kondisiku.

Dokter Karl meninggalkan kami. Aku bahkan tak sadar sejak kapan ia pergi, terlalu banyak hal yang kupikirkan hingga aku melupakan hal penting. Salah satunya adalah makan. Bagi sebagian orang merupakan hal krusial, meski sebagian lagi menganggap makan hanya untuk mencukupi nutrisi, bagiku semua penting.

Setidaknya untuk hari ini kondisiku sudah membaik. Semoga saja tak akan memburuk lagi, akan sangat melelahkan jika berkali-kali harus menginap di kamar sempit ini. Aku lebih memilih tinggal di rumah orang tuaku saja, meski dengan resiko harus terus dipantau 24 jam.

Namun sesungguhnya, aku tak ingin keduanya. Tidak di Klinik, maupun di rumah orang tua. Hanya di rumahku saja tempat ternyaman bagiku.

***

avataravatar
Next chapter