15 First Temptation

Aku memandangi ponsel dengan wajah mencebik. Sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran para pria. Beberapa hari tak mendengar kabarku, jangankan menelepon, mengirimkan pesan saja tidak. tak ada satu pun chat dari Blake untukku. Luar biasa!

Bahkan Clara pun melakukan hal yang sama. Apa sebenarnya kesalahan yang telah kuperbuat hingga ia bersikap seperti ini?

[Clara, apakah kau marah? Kumohon jangan seperti ini, akau membutuhkanmu.] Kukirimkan chat itu pad Clara. Ia membacanya, namun kunantikan beberapa menit, tak ada pertanda ia akan membalas. Aku mendesah.

Selang beberapa waktu kemudian menekan nomor Blake, aku berharap kali ini tidak disapa oleh pesan suara melainkan Blake.

'Hey, Blake di sini-'

Shit!

"ARRRGH!" erangku kesal. Andaikan Blake ada di hadapanku saat ini akan kupastikan melayangkan bogem mentah di wajahnya. Tega sekali ia menjungkir-balikkan kehidupan dan mengaduk-aduk perasaanku seperti ini. Tega sekali!

Suara hak pantovel yang beradu dengan lantai marmer terdengar mendekat.

Seseorang masuk ke dalam kamar, siapa lagi kalau bukan Dokter Karl. Aku sampai bisa mengenali suara ketukan khas darinya, juga aroma parfum yang menguar dari kejauhan. Oh, suasana hatinya sudah membaik. Ia tidak lagi terlihat canggung. Terbaca dari senyum yang disunggingkannya sejak awal memasuki ruanganku.

"Aku seperti mendengar suara teriakan kesal dari ruangan ini." Ia duduk di sampingku.

"Jangan menggodaku, Dok. Aku sedang tidak ingin bercanda," desisku. Ia tidak terlihat takut akan reaksiku, justru tersenyum memperlihatkan lekukan di pipinya.

"Aku tahu itu. Karenanya aku datang kemari. Apakah ada yang bisa kubantu untuk memperbaiki suasana hatimu?" tanyanya serius. Aku menatap mata pria itu. Apa lagi ini, Ryan? Apa? Jika kau bersikap seperti ini terus kau akan membuatku benar-benar jatuh cinta.

Tidak, tidak! Aku menggeleng cepat. Tak mungkin aku jatuh cinta pada Dokter Karl. Tidak!

Meski ia pria yang baik, please Jenna! Ia adalah pria yang menolong dan berbuat baik padamu beberapa waktu terakhir. Tak mungkin kau menikahi pria yang sudah menyelamatkan nyawamu.

Aku mendesah, menunduk membiarkan pria itu melihat keputus-asaanku. Untuk apa bersembunyi lagi, ia sudah tahu.

"Entahlah. Aku hanya merasa dipermainkan."

"Oleh lelaki?" tanya pria itu penasaran. Aku mengerang lagi.

"Apakah itu memalukan?" Aku menangkupkan kedua tangan pada wajahku. Pria itu melirik jam tangannya. Kemudian bangkit menuju nakas dan mengambil nampan makanan yang sejak tadi tak kusentuh.

"Apa kau merasa ini semua membuatmu malu?" Ia balik bertanya. Kemudian duduk di sisi ranjang, membuka plastic wrap yang membungkus tiap-tiap wadah makanan.

Ada sup iga, seiris bagel, salad sayuran dan beberapa potong buah-buahan. Tidak lupa segelas susu untuk melengkapi sarapan tengah hari yang sehat. Makanan yang menggiurkan, sebenarnya, namun sayang nafsu makanku sudah hilang sejak tadi.

Dokter Karl menyendok makanan dari wadah itu. "Ayo makan dulu, karena kau harus minum obat dan suplemen."

Aku menatapnya ragu. Ia memegang sendok dan mengangkatnya tepat di depan wajahku, memberi isyarat agar aku membuka mulut. Aku belum melakukan yang dimintanya, justru terpaku menatap pria bermata kelabu yang memperlakukanku dengan sangat istimewa beberapa waktu terakhir.

"Ayo!"

Baiklah, aku akan makan. Terlebih ia yang menyuapi, mungkin akan menambah selera makanku.

Ia menyuapkan makanan dengan sabar. Belum pernah ada seorang pun yang melakukan hal seperti ini sebelumnya. Orang tuaku pengecualia, tentunya. Namun, pria ini .... Ia benar-benar membuatku ... ah, sudahlah. Jangan terlalu banyak berpikir tentang cinta atau apa pun. Aku harus ingat baru saja merasa amat patah hati untuk kedua kalinya dengan Blake. Jadi alangkah baiknya jika untuk sementara tidak memikirkan hal semacam itu.

"Omong-omong, kapan aku boleh pulang dan mulai kuliah lagi?" tanyaku, mulai tidak kerasan berada di tempat ini, dan merindukan rumah juga ranjang empuk milikku. Di sini, nyaman ... terlebih ada Dokter Karl yang memperlakukanku seperti tuan putri, tentu saja aku senang. Namun tetap, rumah adalah tempat ternyaman.

"Besok kau boleh pulang. Dengan catatan, kau harus patuh pada apa pun yang kusarankan."

"Apa lagi? Aku sudah sangat menderita karena ini semua, dan harus menghadapi aturan darimu," sungutku. Ia menghentikan gerakan tangan yang sedari tadi menyendoki sup. Menatapku lekat.

"Ini demi kesehatanmu, Jenna. Dan aku tidak akan menyarankan hal yang aneh. Hanya makan teratur dan sehat, jangan terlalu lelah, istirahat yang cukup, dan jangan lupakan obat juga suplemenmu."

"Oh ... kupikir aku harus menjadi vampire di waktu-waktu tertentu," gurauku. Ia menggeleng.

"Kau bilang sendiri bahwa kau bukan vampire. Maka mari kita lakukan pengobatan tanpa membuatmu menjadi makhluk itu. Transfusi itu hanya opsi darurat, selama kau tidak mengalami penurunan kondisi yang mengkhawatirkan, suplemen dari dokter saja sudah cukup."

Aku hanya mengangguk mengerti. Meski sebenarnya otakku masih keram dan belum sanggup diajak berpikir keras. Namun, jika aku membutuhkan penjelasan, ada Dokter Karl yang pasti akan dengan senang hati memberi pencerahan bagiku.

***

Pertama kali membuka pintu rumah, mengedar pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Terasa kosong. Tentu saja, sudah berapa lama kutinggalkan tempat ini? Rasanya seperti bertahun-tahun.

Dokter Karl masuk membawa barang-barangku dan meletakkannya di pojok ruangan, dekat dengan sofa. Ia mengikuti apa yang kulakukan sejak tadi. Memindai seluruh isi rumah yang mungkin membawanya pada kenangan pertama kali menjejak di sini, lalu menemukanku kolaps. Ia mendesah.

"Home sweet home," ucapku bermonolog, cukup keras hingga terdengar oleh dokter tampan itu.

"Rumah ini terasa kosong. Kau harus menyewa asisten rumah tangga agar ada seseorang yang membantu saat kau sedang tak sehat." Ia berjalan mendekat padaku yang masih berdiri di tengah ruangan.

Aku menoleh padanya, menatapnya penuh perasaan. Perasaan apa? Entahlah. Mungkin rasa terima kasih karena telah berbaik hati padaku selama beberapa hari ini.

"I'm fine, Doc. Tak ada yang perlu dirisaukan. Jika terjadi sesuatu padaku, aku akan langsung menghubungimu," janjiku.

Kali ini ia tak menjawab. Mungkin berpikir itu hanya akal-akalanku agar ia tidak bicara apa pun lagi tentang asisten rumah tangga. Padahal yang sebenarnya, aku sungguh-sungguh akan melakukannya.

Aku membuka lemari pendingin, mengambil sebotol bir lalu menyodorkan padanya. Ia mengangkat tangan, menolak bir yang kuberikan.

"Aku tidak minum alkohol," ucapnya. "Kau pun tak boleh."

Pria itu mengambil kedua botol dari tanganku kemudian menyimpannya kembali ke lemari pendingin. Ia membuka pintu lain dan menemukan sekotak jus dan susu, mengambil gelas lalu menuangkan keduanya pada gelas berbeda.

"Ini yang seharusnya kau minum." Ia menyodorkan susu padaku sementara dirinya meneguk jus hingga tandas. "Baiklah, aku akan kembali ke klinik. Banyak yang harus kukerjakan."

Pria itu hendak melangkah ke luar dari area meja bar,tapi langkah kami bertemu membuat tak ada satu pun dari kami yang berhasil melewati satu sama lain.

"Oh, oke, kau lewat lebih dulu." Dokter Karl berdiri menempel pada dinding sementara aku melewati tubuhnya dengan posisi menyamping, berhadapan dengannya.

Tepat di depannya, langkahku terhenti. Mataku menatap ke dalam manik matanya, jantungku terasa berdegup lebih kencang. Terlebih ketika melihat jakunnya yang bergerak naik-turun. Apakah ia juga merasa gugup sepertiku?

"Jenna?" panggilnya. Aku tersadar dari lamunan nakal yang sesaat menggelitik pikiranku, kemudian dengan sisa kegugupan, melanjutkan langkah keluar dari bar yang disusul oleh Dokter Karl di belakangku.

Aku langsung menuju ke pintu. Ada baiknya dokter tampan ini pergi sekarang juga, jika tidak maka bisa saja terjadi hal-hal yang kuinginkan. Aku tak ingin dianggap wanita nakal yang sengaja menggoda dokter yang sudah merawatku.

Jika pun itu terjadi—sesuatu yang lebih di antara kami, aku ingin terjadi dengan sendirinya. Terjadi karena Dokter Karl juga memiliki rasa yang sama. Karena ia juga menginginkanku, bukan karena terjebak oleh sikap dan perlakuanku padanya.

"Terima kasih atas perhatianmu selama ini, Dok."

"Ryan. Karena kita hanya berdua."

"Ya, aku akan ingat lain kali. Terima kasih."

Pria itu mengangguk. Kemudian melangkah keluar dari pintu dan menjauh.

***

avataravatar
Next chapter