19 Double 'Broken Hearted'

Aku telah menanti Ryan selama satu jam. Belum ada tanda-tanda kedatangannya. Beberapa perawat yang sudah terlanjur mengenalku sebagai salah satu pasien 'langganan', terlihat berbisik-bisik satu sama lain. Entah karena apa.

Tak lama menunggu, sosok yang kunantikan terlihat dari kejauhan. Dengan berbalut kemeja berwarna biru langit dan celana kain serta dasi yang terbelit rapi di lehernya, menambah kharisma pria bermata kelabu itu. Sesaat aku menahan nafas menatap tubuh atletis yang berjalan semakin mendekat. Tanpa menyapa, ia membuka kunci pintu ruangannya.

Kucekal lengan kokoh itu sebelum ia berlalu dan mengurung diri dalam ruangannya.

"Ryan ...," panggilku setengah berbisik, tak ingin ada seorang pun yang menyadari pertengkaran kami.

"Bicara di dalam saja," ujarnya tanpa menoleh, dan dengan selembut mungkin menyingkirkan tanganku dari tubuhnya. Aku hanya mendesah kemudian mengekor langkahnya masuk ke dalam.

Ia tak juga menoleh padaku, justru sibuk mengambil beberapa file dari lemari kabinet yang terletak di belakang meja kerjanya. Ia—dengan sebuah berkas di tangan—duduk dan memberi isyarat agar aku pun melakukan hal yang sama. Meski bibir ini tak sabar ingin mengatakan banyak hal mengenai yang terjadi kemarin, tapi tak pelak kuikuti saja apa yang diinginkan pria ini.

"Kondisimu sudah jauh lebih baik, berdasarkan hasil tes sebelum kau pulang. Kurasa kau masih ingat pesanku untuk tetap mengkonsumsi—" Aku menyentuh tangannya. Mencegahnya mengatakan kalimat berikutnya yang sudah menggantung di lidah.

"Aku kemari bukan untuk ini, Ryan."

Ia menutup file di hadapannya, menatap ke dalam mataku seolah mempersilahkan aku untuk bicara. Namun, bukan seperti itu yang aku inginkan. Tak adakah kecupan selamat datang darinya untukku?

"A-aku ... maafkan atas kejadian kemarin. Aku sungguh tidak tahu Blake datang. Saat itu aku sedang menantikanmu."

"Lalu?" tanya pria itu. Aku, terus terang saja tidak memahami maksud pertanyaannya. 'Lalu' yang bagaimana maksudnya?

"Ryan? Ada apa denganmu? Aku kemari hanya untuk menjelaskan padamu tentang kemarin. Dan seperti ini sambutanmu?"

Ia tidak mengatakan semua dengan intonasi yang kasar, melainkan terlihat dan terdengar tenang. Namun, justru hal itu yang membuatku sakit. Ada apa dengannya hingga bersikap sedingin ini?

Ia membenarkan kacamata di pangkal hidungnya. Menatapku dengan tatapan yang tak bisa kujelaskan. Aku seperti tak mengenal pria di hadapanku. Ia terlihat sangat berbeda.

" Dengar, apa pun yang kau lakukan, dengan siapa pun, itu bukanlah urusanku. Kau gadis dewasa, bisa memutuskan dengan siapa kau pergi, bahkan tidur."

Aku tertegun mendengar kalimat terakhirnya. Berusaha menelan saliva yang seolah tercekat oleh benda asing. Rasanya nyeri. Namun, bukan di tenggorokanku, melainkan hatiku.

Aku menggigit bibir bawah sembari mengangguk mengerti. Tak ada lagi yang perlu kubicarakan dengannya. Sebaiknya aku pulang. Aku bahkan tak ingin menoleh ketika tiba di ambang pintu. Terhenti sejenak menjinakkan rasa sakit tak terperi. Mungkin ... seperti ini rasanya diputuskan oleh seorang pria. Sebelumnya tak pernah, karena Blake pergi begitu saja.

Aku membuka pintu dan melangkah ke luar. Ia bahkan tak memanggil namaku atau mencegahku pergi. Tak ada rengkuhan atau dekapan. Dan itu membuat hatiku semakin meronta kesakitan. Biarlah, seperti selama ini, tak akan melakukan kedua kali dengan pria yang sama. Hanya, Ryan lebih beruntung karena mendapatkannya berulang kali.

***

Aku masih meringkuk di atas ranjang. Semalaman sudah aku tak terpejam. Kilas kejadian kemarin tak henti membayangiku. Sikap Ryan padaku sangat jauh berbeda dari apa yang kuketahui selama ini. Kemarin, ia bersikap dingin dan seolah tak ada hubungan apa pun denganku. Apakah ia memang seperti itu jika cemburu? Ataukah ada alasan lain? Atau jangan-jangan apa yang kami lakukan adalah memang tujuannya sejak awal? Hanya untuk memenuhi pelepasannya?

Aku mendesah lelah, membenamkan wajah di atas bantal.

Jadi seperti ini rasanya tidak memiliki seorang pun? Dulu, kepergian Blake membuatku patah hati sekian lama, akan tetapi dengan adanya Clara di sampingku seolah memberi kekuatan untuk melalui semua. Terbukti aku bisa bertahan sekian lama. Namun, bagaimana dengan sekarang?

Aku mengambil ponsel dan membuka media sosial favorit Clara, menggulir layarnya memastikan bagaimana kondisi gadis itu. Aku ingin mengalihkan pikirna untuk sesuatu yang lain. Dan jelas, jika bicara tentang Clara, identik dengan pesta, pesta, dan pesta. Apakah ini caranya melupakanku?

Kutekan nomor yang sudah kuhafalkan di luar kepala, tak berapa lama terdengar suara pria di seberang.

[Halo,]

"Oh, ha-halo. Kau siapa? Apakah aku bisa bicara dengan Clara?"

Pria itu memanggil Clara dengan sebutan 'babe'. Apakah pria itu kekasihnya? Siapa dia?

Tak berapa lama, suara yang sangat kurindukan terdengar menyapaku dari seberang. Dengan canggung.

"Hey, bagaimana kabarmu?"

[Baik,]

Singkat dan dingin. Hanya itu kesan yang kurasakan dari nada bicara gadis itu. Haruskah aku mengalah dan merayunya untuk kembali menjadi sahabatku, sementara aku bahkan tak tahu apa kesalahan yang kulakukan hingga ia membangun dinding tinggi untuk menyekat kami.

"Aku merindukanmu, Clara."

[Oh, benarkah? Kenapa? Apa kau sudah tidak bersama dokter itu? Apa ia mencampakkanmu seperti Blake dulu, lantas kau datang padaku lagi?]

"Apa? Kau ini bicara apa?" sikap dan perkataannya terus terang menyakitiku. Ya benar, aku memang sedang dicampakkan. Lalu tidak bolehkah aku datang pada sahabatku untuk sekedar bersandar?

[Jangan berpura-pura menjadi tokoh protagonis, Jen. Kau itu munafik.]

"Apa maksudmu? Apa yang telah kulakukan padamu hingga kau berkata dan bersikap seperti ini?"

[Oh, sekarang kau berpura-pura tidak tahu? Kau tahu, aku sahabatmu, yang selalu ada saat kau berada di titik terbawah sekali pun. Namun lihat, apakah aku mengetahui perihal kondisi kesehatanmu? Tidak. Apakah aku tahu hubunganmu dengan dokter itu? Tidak. Lalu untuk apa aku bertahan sebagai sahabatmu, Jenna?]

Aku mengusap wajah dengan kasar. Jadi itu masalahnya.

"Kau tahu, kau telah salah paham."

[Begitu? Bagian mana yang salah? Apakah kau pikir aku gadis bodoh yang hanya mengekor sahabatnya padahal tidak memenuhi kualifikasi untuk beberapa hal?]

Oke, ini sudah keterlaluan. Ia mengatakan masalah kualifikasi? Dalam hal apa? Apa ia sedang menyebutku bodoh dan tak memiliki kualifikasi? Lalu apa lagi, Clara? Aku tak menjawab, kubiarkan ia mengatakan apa pun yang mengganjal di hatinya.

Beberapa menit, tak ada suara.

"Apakah sudah?"

[Apa?]

"Yang kau katakan, apakah sudah selesai? Sudah puas mengatakan semua itu tanpa bertanya terlebih dahulu? Apakah penjelasanku masih perlu untukmu?"

Ia tak menjawab.

"Dengar, aku bahkan tidak menyangka kondisi kesehatanku serumit ini. Saat itu, aku baru akan mengetahuinya. Aku memintamu datang untuk sama-sama mendengarnya, memberiku kekuatan. Dan mengenai dokter Karl, saat itu tak ada apa pun antara kami. Bahkan mungkin saat ini juga. Dan kalaupun ada, perasaanku padamu tidak akan berubah. Kau tetap akan jadi favoritku."

Kumatikan telepon sebelum ia menjawab. Aku lelah. Tak ingin mendengar perlawanan apa pun darinya. Aku sudah mengatakan yang seharusnya kukatakan. Dan itu sudah cukup. Kini giliran ia yang memutuskan, apakah akan tetap bertahan bersamaku sebagai sahabatnya, ataukah tetap memilih seperti ini. Biarlah menjadi pilihannya. Yang pasti, aku akan menjaga apa yang sudah kukatakan.

***

avataravatar
Next chapter