11 Complimental

Aku berbaring di ranjang dengan posisi menyamping, berbalut baju pasien. Dokter Armando berusaha mengajakku mengobrol dan mengalihkan perhatian agar aku tidak terfokus pada jarum yang sebentar lagi akan menusuk masuk ke tubuhku melalui tulang belakang. Dokter Karl pun berusaha membunuh waktu, berdiri di hadapanku sembari mengajak berbincang tentang hal-hal sepele.

Banyak hal yang ia tanyakan tentangku, tentang latar belakang keluarga, mengapa memilih jurusan kedokteran, dan banyak hal. Namun, tak banyak yang ingin kubagi dengannya. Cerita tentang keluarga adalah hal membosankan bagiku.

"Ceritakan saja tentangmu, Dok." Aku meringis saat merasakan sensasi cubitan di bagian belakang tubuhku. Mungkin jarum itu sudah menembus kulit dan rongga di tulang belakangku saat ini. Selanjutnya tak ada rasa yang berarti, hanya perasaan kebas pada bagian yang ditusuk karena sudah diberi bius lokal sebelumnya.

"Yap! Sudah selesai. Sementara kau bisa berbaring dengan posisi yang sama jika khawatir masih merasa sakit. Namun jika tidak, kau bebas berubah posisi kapan pun," ucap Dokter Armando mengulas senyum. Kemudian menyerahkan tabung—berisi sampel dari tubuhku, pada seorang perawat kemudian memintanya untuk segera membawa ke Laboratorium.

"Kita akan dapatkan hasilnya dalam waktu dua sampai tiga hari. Jadi selama menanti, kau berisitrahat dan akan mendapat perawatan yang kau butuhkan." Ia kemudian mengangguk untuk pamit keluar dari ruanganku, meninggalkanku dan Dokter Karl hanya berdua.

Aku membenarkan posisi tidur yang mulai tak nyaman. Dokter Karl membantuku bergeser dengan sedikit mengangkat tubuhku. Ia menaikkan bed agar posisi kepalaku lebih tinggi.

Feel better.

"Terima kasih, Dokter Karl. Aku tak tahu bagaimana jadinya aku tanpa bantuanmu."

"ini sudah menjadi kewajibanku. Kau tak perlu sungkan." Pria itu menarik kursi dan duduk di samping ranjangku.

"Kau yakin tak ingin menghubungi keluargamu?" tanya pria itu, entah untuk ke berapa kalinya. Sejak awal tiba di sini ia selalu menanyakan itu. Dan aku telah mengatakan juga menjelaskan berkali-kali padanya.

Aku hanya menggeleng, kemudian memainkan buku-buku jariku.

"Ada apa sebenarnya, Jenna? Kau bisa mengatakan padaku jika kau mau."

"Tidak apa-apa, Dok. Aku hanya tidak menyangka menderita seperti ini. Ya, meskipun aku jarang bahkan tak pernah berolah raga, tapi makananku tak pernah sembarangan."

Dokter Karl terdiam, melepaskan kacamatanya.

"Kasus ini memang langka, dan mendadak, Jenna. Bukan karena makananmu tak sehat atau apa pun. Kelainan darah mungkin saja dialami bahkan oleh bayi yang baru lahir sekali pun. Kita tetap harus berpikir positif sembari menunggu hasil. Kemudian mari kita fokus pada penyembuhannya. Oke?!" Dokter Karl menepuk-nepuk punggung tanganku dengan lembut, berusaha memberi kekuatan padaku yang mulai kehilangan nyali.

"Aku ... takut, Dok," lirihku nyaris tak terdengar. Ia mendesah kasihan.

"Aku tahu. Begitu pun aku."

Aku menoleh mendengar kalimat yang baru saja ia ucapkan. Apa maksudmu, Dok?

Namun ia sepertinya menyadari apa yang sudah ia katakan, dan terlambat untuk meralatnya. Ia bangkit dari tempatnya.

"Aku ingin keluar sebentar untuk mencari udara segar, apa kau mau ikut?"

"Apakah boleh?" tanyaku. Ia mengangguk dengan tatapan lembut yang tak lepas dariku. Hatiku bergetar karena rasa yang ia kirimkan melalui manik mata itu, juga perlakuannya.

Pria itu mengambil kursi roda dari pojok ruangan, kemudian membantuku bangkit perlahan dan duduk di atas benda yang sudah siap di dekatku. Sebelum mendorongku keluar kamar, ia melepaskan jas putihnya dan menggantung di belakang pintu.

"Seperti ini lebih baik," ujarnya kemudian mulai mendorong perlahan kursi rodaku keluar dari ruangan.

***

Dokter Karl menghentikan kursi di bawah sebuah pohon rindang, dan sebuah bangku di depannya. Ia memutar kursi rodaku menghadap bangku, kemudian duduk di sana. Kami berhadapan saat ini.

Ia yang hanya mengenakan kemeja saat ini, menggulung bagian lengan, dan melepaskan kancing teratasnya.

"Apakah tidak apa-apa kau menemaniku di sini?" tanyaku padanya yang kini sudah duduk bersandar pada bangku. Matanya mengedar sekeliling taman, hanya beberapa orang berlalu lalang dan anak-anak bermain,berlarian.

Sebuah bola menggelinding dan berhenti tepat di bawah kakinya. Ia mengambil benda bundar itu dengan kedua tangan, memandang ke arah datangnya benda itu. Tak berapa lama, seorang anak berusia sekitar tiga tahun datang menghampiri, bermaksud mengambil bolanya dari tangan Dokter Karl.

"Apakah ini bolamu?" tanya pria itu berjongkok agar sejajar dengan tinggi anak laki-laki itu. Anak itu mengangguk lalu tersenyum menampakkan gigi ompongnya.

Ia menyerahkan bola itu pada anak di hadapannya. "Ini, ambillah!"

"Terima kasih, Paman. Semoga istri paman lekas sembuh," ucapnya sembari menoleh ke arahku. Aku terbelalak mendengar ucapan yang keluar dari bibir mungilnya.

"Eh, i-itu ...." Belum sempat mengucapkan apa pun, anak itu telah berlari menghampiri orang tuanya yang duduk di atas hamparan rerumputan, menantinya kembali.

Aku melirik Dokter Karl, begitu pun yang ia lakukan. Lalu kami sama-sama membuang muka.

Oke, ini terasa canggung.

"Uhm, kurasa kita harus kembali. Dokter Armando memintaku menemuinya, ada hal yang ingin dibicarakannya," ucap Dokter Karl kemudian bangkit dari bangku, hendak mendorong kursi rodaku.

"Tidak usah, Dok. Aku masih ingin di sini," cegahku melempar senyum padanya. Meyakinkan padanya aku baik-baik saja.

Pria itu kembali duduk dan menatap dalam mataku. "Aku tak akan lama," ucapnya. Aku mengangguk yang kemudian disusul kepergiannya.

Aku masih duduk menikmati udara segar sore hari di penghujung musim semi. Menikmati apa pun yang mungkin tak akan bisa kunikmati setelah ini. Namun jika hasil yang muncul tidak terlalu menyeramkan, anggap saja aku sedang mendapat jackpot.

***

"Jenna? Kau sudah bangun." Iris kelabu itu adalah hal yang pertama kulihat saat membuka mata. Di mana aku? Apakah masih di taman?

"K-kenapa aku bisa di sini? Bukankah ...," tanyaku bingung melihat sekeliling dan ternyata aku sudah berada di kamar lagi. Oh, penyakit ini membuatku seperti mengalami halusinasi berulang kali. Apakah mungkin berjalan-jalan di taman itu juga halusinasi?

"Kau pingsan di taman. Beruntung itu terjadi tepat saat aku tiba di sana. Apa yang kau rasakan?" tanya Dokter Karl. Aku memejamkan mata berusaha mengingat apa pun yang mungkin ia butuhkan. Tapi tak ada satu pun bagian puzzle yang berhasil tersusun di otakku.

"Aku tak bisa mengingat apa pun sebelumnya. Yang terakhir kali kuingat, kau pergi. Dan aku tidak merasakan apa pun sekarang. Apakah itu normal?"

Dokter Karl bergeming. Ia seperti menyusun sendiri kepingan kejadian seolah itu hal penting yang harus ia lakukan.

"Dokter Karl, apakah normal jika aku pingsan tapi tidak merasakan keluhan apa pun?" tanyaku lagi. Ia mendesah, terdengar lebih berat.

"Seharusnya tidak. Mungkin kau kelelahan. Bagaimana memar di tubuhmu apakah masih ada?"

Aku mengangkat lenganku, memar itu masih di sana. Juga di beberapa bagian lain, di tangan dan kaki.

"Tidak apa-apa, untuk saat ini kau aman." Ia menunjuk gantungan infus dengan dagunya.

Aku mengerang kesal. Cairan merah itu ... lagi.

"Aku sudah seperti vampire sekarang," keluhku mencebik. Ia tertawa sesaat kemudian menatapku dengan tatapan teduh, seperti yang biasa ia lakukan.

"Kau bisa melalui ini, Jenna."

"Apakah kemungkinan sakitku parah?" tanyaku. Aku akan terus bertanya hingga mendapat jawaban pasti atas semua ini.

"Entahlah. Dugaanku tidak separah itu, hanya kelainan darah. Namun kita baiknya menunggu hasil. Kata Dokter Armando, besok kau akan tahu. Mari kita berharap yang terbaik."

Aku mengangguk lemah. Pria itu kembali terdiam. Ayolah, Dok, katakan sesuatu agar pikiranku todak berkelana lagi.

"Uhm, Dok. Seperti apa wajahku sekarang? Sudah beberapa hari aku tidak berkaca sama sekali. Bolehkah aku meminjam sebuah cermin? Aku ingin melihat wajahku sebelum menghubungi seseorang."

Dokter Karl mengangguk. "Aku akan meminjam pada seseorang. Kau tunggu di sini."

Ia keluar sebentar kemudian kembali setelah benerapa menit, dengan sebuah cermin di tangannya.

Ia menyerahkan padaku, kemudian menaikkan posisi ranjang agar lebih tinggi. Perlahan, agak ragu kuarahkan cermin ke wajahku. Memandang pantulan wajah yang ada di depanku. Tidak jauh berbeda dengan sebelumnua, kecuali warna pucat dan proporsi wajah yang lebih tirus. Setidaknya aku masih hidup, itu saja sudah cukup meski sejenak sempat merasa terkejut dengan apa yang kulihat.

Aku terdiam, meletakkan cermin ke atas nakas.

"Ada apa? Mengapa kau tiba-tiba murung?" tanya Dokter Karl. Aku berusaha menahan ini sejak tadi. Mungkin bahkan sejak beberapa hari sebelumnya. Kali ini rasanya tak sanggup.

Kubiarkan bulir hangat mengalir dari sudut mataku. Dadaku sesak. Bukan karena perubahan wajah dan kulit, melainkan lebih dari itu. Apa yang sudah kulewati beberapa hari ini, menjauh dari semua orang hanya karena tak ingin dikasihani, atau tak ingin mendapat perlakuan khusus. Sangat tidak mengenakkan.

Aku merasa sendiri. Terlebih apa yang terpantul di cermin tadi. Menambah rasa nelangsa di hatiku.

"Ssh ... It's okay, Jenna. Tidak apa-apa. Kau akan baik-baik saja. Perubahan warna kulit dan wajahmu itu hanya sementara, nanti setelah kau mendapat treatment yang tepat, kau akan membaik."

Pria itu duduk di sisi ranjang dan membawaku masuk ke dalam pelukannya. Membiarkanku sesenggukan dan menumpahkan perasaanku sebentar. Sebelum kemudian aku menjauh darinya. Masih dengan isak yang tersisa.

Ia menatap wajahku. Menghapus air mata yang masih menetes di pipiku.

"Kau cantik, Jenna. Tak ada yang berubah. Masih sama seperti sebelumnya."

Aku mendongak menatap wajah tampan itu. Ia mengangguk meyakinkanku. Sesaat hati dan pikiranku tersesat ke dalam manik mata kelabu pria yang juga balas menatapku. Hingga seseorang masuk dan menemukan kami masih pada posisi saat ini.

***

avataravatar
Next chapter