7 Always On My Bed (21+)

Aku dan Clara sudah berada di dalam ruangan yang penuh dengan hingar-bingar dan dentuman musik elektrik. Menempati VIP corner seperti biasanya, hanya kali ini menggunakan kartu pass milikku sendiri. Aku membuatnya langsung saat itu juga.

Mataku memindai sekeliling ruangan besar yang sudah terasa pengap dengan sekumpulan manusia. Di tengah ruangan, tepat di atas lantai yang berkedip-kedip mengikuti dentuman musik, puluhan atau bahkan mungkin ratusan orang sedang berdansa. Lampu berwarna-warni menyorot lautan manusia yang ada di bawahnya. Mataku silau seketika.

Di sudut lain, beberapa wanita duduk di atas pangkuan para pria. Melakukan adegan panas yang seharusnya mereka lakukan di ruang tertutup. Itu sebabnya aku tak pernah tidur dengan pria yang kutemui di kelab. Bibir mereka bekas dikulum beberapa wanita. Bahkan tak ada yang tahu mereka sudah bercinta dengan para pramuria itu, lantas melanjutkan dengan wanita random yang kebetulan mabuk, lalu diajak ke hotel dan bangun dalam kondisi tanpa busana.

Beruntung jika mereka meninggalkan uang, atau benih sekali pun. Namun bagaimana jika meninggalkan sesuatu yang mengerikan? Penyakit, misalnya. Atau berakhir dengan sayatan di leher, disusul berita kematian atau penculikan di sejumlah surat kanar dan media pertelevisian.

Membayangkannya saja membuatku bergidik ngeri.

Kali ini Clara tidak ingin mengulangi adegan yang sebelumnya ia mainkan, dengan menggoda pria asing yang datang ke kelab. Ia hanya menghabiskan minumannya sembari duduk manis. Hmm ... Bukan kebiasaan Clara yang kukenal.

"Ada apa denganmu?" tanyaku menggodanya. Ia menyesap vodka tonic-nya sebelum kemudian menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain.

"Apa maksudnya?"

"Kau tidak ingin melemparkan kail?"

Dia tertawa hambar menanggapi candaanku yang lebih tepat seperti ejekan. Mungkin ia takut akan bangun di ranjang lain bersama pria asing, lagi.

"Hari ini aku akan berperan seperti sekuntum bunga yang menarik serangga datang hanya dengan aroma. Lihat saja!" jawabnya seolah kelakarku adalah sebuah tantangan untuknya. Well, mungkin iya, karena Clara adalah gadis yang sangat diminati banyak pria—dari yang kutahu. Dan ia juga tipe yang suka menjadi pusat perhatian.

"Oke, aku percaya itu. Sungguh. Pesonamu tak pernah pudar sejak kita di kelas Junior High School, kau selalu jadi the most wanted. I admit it ...." Ia mengangguk bangga mendengar komentarku. "Tapi ... jangan ulangi lagi seperti tempo hari. Menghabiskan malam dengan pria asing, sangat berbahaya untukmu."

Ia memutar bola matanya. "Oh, nenek, apakah kau lupa kalau kau justru yang mengajariku melakukan hal itu? Sudah berapa pria yang berakhir di ranjangmu? Huh?"

Dia terlihat kesal. Namun seperti biasa, aku selalu bermain tenang.

"Tunggu, kau baru saja mengatakannya, Clara. Mereka yang berakhir di ranjangku, bukan sebaliknya. Dan itu berbeda dengan yang kau lakukan. Oke?!"

Ia memberengut mendengar jawabanku yang tentu saja lagi-lagi benar. Aku memang tak pernah sungguh-sungguh menjalin hubungan dengan seorang pria, tidak secara serius. Namun aku tahu bagaimana memainkan kartuku dengan benar. Sementara Clara? Ia seperti gadis polos yang beberapa kali melakukan kecerobohan jika berhubungan dengan pria.

"Kau tak perlu memakai kejadian yang lalu untuk menudingku, Jameson!"

"Apa? Menudingmu? Kau serius mengatakannya?"

Ia membuang muka, sementara aku mendesah melihat tingkah sahabatku itu.

"Sudahlah ... aku bukan ingin mengajakmu bertengkar." Aku berusaha mencairkan kembali suasana yang mulai membeku. Seperti yang selalu kulakukan.

Kami bersahabat sejak lama, dan dalam persahabatan kami aku selalu jadi seseorang yang memperbaiki hubungan. Jika ia marah, maka aku akan mengalah untuk menenangkan hatinya.

Sama seperti yang kulakukan saat ini, mendekat padanya dan mencoba untuk meredakan kekesalannya.

"Clara, dengar, kau tahu aku sangat menyayangimu bahkan melebihi diriku sendiri. Membayangkan kau mengulangi kesalahan yang dulu, terus terang membuatku risau. Aku tidak ingin kau berada dalam masalah. Itu saja," ucapku. Ia masih bergeming, awalnya. Namun kemudian berbalik dan menyunggingkan senyum.

"Aku tahu itu, bodoh. Aku tidak marah. Hanya kesal jika kau terus-menerus menyangkut-pautkan apa yang kulakukan dengan kejadian itu. Itu terjadi saat usiaku belasan tahun, Jen. Aku sudah dewasa sekarang. Aku tahu apa yang harus kulakukan dan baik untukku."

"Syukurlah kalau begitu," jawabku singkat kemudian menyesap tetesan terakhir dari minumanku.

Bersamaan dengan itu, terasa getaran dari ponsel yang kuletakkan dalam tas tanganku. Aku hanya mengintip sesaat lalu mengabaikannya. Tak lama, seorang pria datang dan langsung mengambil tempat di samping Clara. Tepat seperti yang ia katakan, mereka akan datang seperti serangga yang mendekat pada sekuntum bunga.

Dan, sekali lagi... Aku hanya menjadi pajangan di sini. Namun tidak, saat kembali ponselku bergetar. Kali ini tak akan kuabaikan, aku janji. Kulihat siapa yang menghubungi di saat seperti ini dan menjadi penyelamatku. Syukurlah, itu Blake.

"H-halo? Apa? Maaf aku tidak bisa mendengar suaramu, di sini sangat bising. Aku akan ke luar sebentar," ucapku dengan volume yang tak biasa. Bagaimana tidak? Suara musik seolah menelan suara lain, termasuk suaraku.

Baik, aku sudah di luar sekarang. Lalu apa?

'Jenna? Apa kau masih di sana?' tanya Blake di seberang.

"Y-ya! Aku sudah di luar sekarang. Much better. Kau bilang apa tadi?"

'Aku di depan rumahmu, tapi sepertinya kau sedang tidak ada. Mungkin lain-'

"Tidak. Tunggulah! Aku akan pulang sekarang."

Aku bergegas berlari ke jalan dan berharap ada taksi yang lewat yang bisa membawaku pulang dengan cepat. Hari belum terlalu malam, setidaknya masih mungkin untuk sekedar mengobrol dengan Blake. Terlebih setelah beberapa hari tak mendengar kabar darinya. Aku... Ya aku rindu padanya.

Entah apa yang ia kerjakan hingga membuatnya tak sempat memberi kabar, semua ini terus terang menyiksaku. Memikirkan tentang pria yang sepertinya tak memiliki rasa yang sama padamu, tentu sangat tidak enak.

Aku sudah berada dalam taksi yang meluncur membawaku pulang, dan tak berapa lama kendaraan yang kutumpangi telah berhenti tepat di depan rumahku.

Dari kejauhan terlihat Blake berdiri di sana sembari sesekali mengintip pada jam tangan lalu ponselnya. Ia tak menyadari diriku yang kini sudah berdiri tak jauh darinya. Ia terlihat kasual tapi trendi dengan kaos oblong dan celana jeans juga blazer sebagai outer. Wow! Ia sekarang tahu bagaimana cara menyennangkan mata wanita.

Aku berjalan mendekat padanya, setengah berlari. Ia yang sepertinya mendengar ketukan hak sepatuku yang beradu dengan aspal, kemudian menoleh.

"Blake, maafkan aku membuatmu menunggu, hmmph—" Seperti tak ingin membiarkanku menyelesaikan kalimat, ia segera membungkam bibirku dengan bibirnya. Menghalangi setiap kata yang sudah kupersiapkan untuknya. Tangannya menarik pinggulku semakin mendekat.

Aku tidak mencegahnya, karena memang tak ingin. Kubiarkan ia menikmati bibirku hingga puas dan melepaskannya. Ia menutup ciuman kami dengan kecupan ringan di pucuk hidungku.

"Oh, aku sangat merindukanmu," ucapnya setelah berhasil mengisi rongga dadanya dengan udara sebanyak yang ia butuhkan. Begitu pun diriku. Kemudian ia mendekapku, membenamkan wajahnya pada ceruk leherku dan menghirup aromanya dalam-dalam.

"Jenna? Kenapa kau diam?" tanyanya setelah menjauhkan tubuhku darinya, menatap ke dalam mataku, menelisik ekspresi wajah yang masih tak percaya dengan sambutan yang ia persembahkan. Wajahku bersemu merah saat ini. Itu pasti.

"Uh, tidak. Aku hanya ... terkejut. Apa kau sudah lama menungguku?"

"Tidak. Kira-kira hanya setengah jam. Sejak aku menghubungimu pertama kali tadi." Ia tersenyum seolah sadar bahwa aku mengabaikan panggilan yang masuk di ponselku.

"Astaga! Itu kau? Maafkan aku, Blake, tadi memang aku mengabaikan panggilan masuk. Itu karena aku tak tahu kau yang menelepon. Lagipula aku sedang bersama Clara."

"Oh ...." Ia mengangguk mengerti.

"Oh, iya. Masuklah." Dengan tergesa kubuka pintu dan mempersilahkannya masuk. Ia tanpa diminta kedua kali, langsung duduk di sofa dan menyamankan diri.

Aku menyodorkan segelas whiskey yang kemudian ia letakkan di atas meja tanpa menyesapnya sedikit pun. Aku mengerutkan kening melihat apa yang dilakukannya.

"Kau tidak minum dulu?" tanyaku. Ia hanya menggeleng kemudian menggeser tubuhnya mendekat padaku.

"Jenna, apakah kau lelah menunggu kabar dariku? Beberapa hari ini kusadari seolah tak ada waktu sekedar untuk menyenangkan diri sendiri. Aku bahkan lupa mengabarimu, itu semua karena kesibukanku. Apakah kau menantikannya?" tanya pria itu. Meski ia tak menjelaskan apa pun, aku sangat bisa mengerti alasannya. Namun jika sama sekali tak menghubungi, entah apakah bisa dikatakan wajar.

Mungkin saja karena kami tak memiliki hubungan apa pun, ia merasa tak masalah jika tetap fokus pada kesibukan atau pekerjaannya. Namun hatiku sakit membayangkan jika justru dirinya sedang bersama wanita lain saat tak bersamaku. Mungkin saja kekasihnya atau gadis yang sedang ia dekati. Aku bahkan tak pernah menanyakan itu.

Tunggu! Apakah ini berarti aku kembali memiliki rasa padanya?

Sebenarnya bukan seperti itu. Yang paling masuk akal adalah aku masih belum melupakan rasa terhadapnya. Mungkin selama ini hanya mengendap di dasar hati dan timbul kembali saat Blake datang lagi di hidupku.

"Jenna? Apa yang kau pikirkan?" Ia mengibaskan tangan tepat di depan wajahku, membawa kembali jiwaku yang sesaat sempat tersesat pada anganku sendiri.

"Ah, ya, maaf. Kau tanya apa tadi?" tanyaku yang sebenarnya mendengar apa yang ia tanyakan, dan masih mengingatnya. Aku hanya tak ingin ada perasaan canggung jika membahas pertanyaan yang sudah lalu.

Dan ia mengulangi pertanyaan yang sama, "apakah kau menanti kabar dariku?"

"Apa yang harus kukatakan?" Aku membalikkan pertanyaan padanya. Apakah menurutnya aku tidak menunggu kabar darinya? Pertanyaan macam apa itu? Apakah ia hanya ingin mengujiku?

Mendengar responku, ia tak menjawab melainkan justru mendekatkan wajahnya padaku. Kembali mendaratkan kecupan di bibirku. Ia memagutku lembut, rasanya sama seperti saat ciuman pertamaku dengannya. Tidak, kali ini ada rasa yang lebih hebat mendominasi. Ada gelenyar aneh yang timbul di saat itu, dan saat ini. Apakah aku mencintainya (lagi)?

Blake seperti tak tahan, bibirnya kini sudah turun ke ceruk leherku. Menyesapnya dan meninggalkan tanda di sana. Kemudian bergerak turun lagi. Tangannya pun tak ingin kalah, ikut mengambil bagian dari permainan ini.

Aku membiarkan ia memberi apa yang kuinginkan. Begitu pula aku memberikan apa yang ia inginkan. Tanpa paksaan. Membiarkan tubuhnya makin dekat dan memangkas jarak antara kami. Hanya berbatas helai kain yang masih melekat.

Dengan jarak sedekat ini, aku bisa merasakan panas tubuhnya yang seolah ditransfer padaku. Aroma cedarwood bercampur feromon dari tubuhnya menyeruak masuk ke rongga hidung dan membangkitkan hasrat yang lama terpendam. Sisi maskulin-nya saat ini terasa dari setiap gerakan yang ia lakukan terhadapku. Membuatku seolah terbelenggu dan pasrah ketika kenikmatan demi kenikmatan ia hadiahkan.

Saat ini, aku seperti orang yang mabuk. Mabuk kepayang karena sentuhan Blake. Sentuhan yang berbeda dan menimbulkan sensasi luar biasa, yang tak pernah kurasakan dari pria mana pun. Membuatku mendambakan lagi dan lagi.

Perlahan ia melepaskan helai kain yang melekat di tubuhku. Membiarkannya tergolek di sembarang tempat, begitu pun dirinya yang kini telah polos. Memberi kesempatan kulit kami bersentuhan langsung, saling bergesekan, menimbulkan letupan hormon seperti sengatan listrik pada indra peraba yang kemudian menyusup ke bagian inti.

Sentuhan demi sentuhan dariku untuknya, dan darinya untukku, menyatukan kami malam ini. Desahan demi desahan lolos dari bibir kami, menikmati penyatuan yang luar biasa. Hingga berakhir dengan erangan yang saling bersahutan saat pelepasan tiba.

Ia mengambil selimut di sandaran sofa dan menutupi tubuhku dan tubuhnya. Lalu membawaku masuk dan meringkuk dalam dekapannya hingga terlelap dengan perasaan bahagia.

***

avataravatar
Next chapter