12 A + tic

"Oh, kau sudah sadar, Nona Jameson." Dokter Armando masih berdiri di ambang pintu. Seperti canggung karena apa yang dilihatnya. Sementara Dokter Karl beringsut bangkit dan kini berdiri tepat di samping ranjang.

 

Dokter Armando akhirnya melangkah masuk setelah memastikan semua aman. Dokter Karl pun sudah menjauh, membiarkan rekan sejawatnya itu melakukan pekerjaan. Kali ini ia hanya memeriksa darah yang masih dua per tiga kantong, kemudian menempelkan stetoskop di dadaku. Memintaku berbaring miring dan memeriksa bekas biopsi yang masih terasa agak sakit.

 

"Apakah ini masih terasa sakit?" tanya Dokter Armando sembari menekan bagian samping bekas biopsi secara perlahan.

 

"Sedikit."

 

Ia mempersilahkanku untuk berbaring dengan nyaman. Ia sudah selesai melakukan tugas dan hendak pergi, tapi kemudian berbalik sebentar dengan raut wajah yang tak biasa.

 

"Dokter Karl, bisa temui aku di ruanganku?"

 

Dokter Karl mengangguk kemudian menatapku sebentar, lalu mengekor langkah Dokter Armando dan menghilang di balik pintu yang menutup.

 

Sementara aku, sepeninggal mereka, kupaksakan diri untuk memejamkan mata. Kali ini aku ingin terpejam karena tidur, bukan pingsan. Aku tidak ingin mati. Aku  ingin hidup lebih lama.

 

***

 

Seorang perawat melepaskan selang transfusi dari tanganku. Tanpa membangunkanku, ia membereskan pekerjaannya kemudian berlalu. Aku sudah cukup sadar dan merasa lebih baik, lalu mengambil ponsel dan kembali menggulir layar berbentuk persegi panjang itu. Kali ini tak ada salahnya jika menghubungi Clara. Terlebih pesan chatnya belum kubaca sama sekali. Kasihan juga jika membiarkannya cemas menanti kabar dariku.

 

"Jenna? Where have you been?" Suara cempreng Clara menyambutku tak lama setelah nada tunggu. Ia terdengar sangat kesal.

 

"Kau menghilang berhari-hari, kau tahu?! Ada apa denganmu?"

 

Aku mendesah lemah. Semoga saja suaraku terdengar sampai ke sana agar ia tak perlu mengomel lagi, cukup biarkan aku menjelaskan semuanya.

 

"Jenna? Di mana kau sekarang? Aku cemas."

 

"Aku sakit, Clara."

 

Hanya itu yang mampu kujelaskan. Lainnya, entahlah aku sedang tak ingin banyak bicara. Kecuali ia ada di sini menemaniku.

 

Klik! Tut ... Tut ... Tut ...

 

Dimatikan.

 

Namun tak berapa lama, panggilan video masuk, dari Clara. Tanpa ragu kuterima video call darinya sebelum ia kembali kesal.

 

"Hey ...," sapaku saat wajah cantiknya muncul di layar.

 

"OH MY GOD!" Ia terlihat menutup mulut dengan tangannya. "K-kau ... apa yang terjadi padamu, Jenna?"

 

Wajahnya tampah cemas. Aku memaksakan senyum untuk membuatnya lebih tenang dan tak lagi mencemaskan kondisiku. Namun sepertinya sia-sia.

 

"Di mana kau sekarang? Aku akan ke sana."

 

"Weston City General Hospital. Hati-hati mengemudikan mobil, dan jangan mengebut!" pekikku sebelum dengan cepat ia mengakhiri panggilan. Aku sudah hafal watak gadis itu. Setelah mengetahui kabarku, ia pasti akan segera mencariku. Dan benar saja.

 

Tak apa. Setidaknya aku tidak merasa seorang diri, karena akan ada Clara yang menemani. Dan masalah Dokter Karl, entahlah. Aku tak ingin  tahu apa yang ia dan Dokter Armando bicarakan. Namun dari gelagat dan mimik mukanya, Dokter Armando terlihat tidak senang. Apakah karena ia melihat Dokter Karl memelukku?

 

Sudahlah ... Biarkan mereka menyelesaikan permasalahan mereka berdua.

 

***

 

Clara menghambur saat tiba di ambang pintu dan melihat kondisiku yang tergolek lemah. Sejujurnya aku memang menantikan kedatangan Clara, tapi tak kutunjukkan padanya. Aku tak ingin menunjukkan segala sisi lemahku padanya. Sejak dahulu ya g ia ketahui, Jenna Jameson sahabatnya adalah wanita yang tangguh. Meski kini pada akhirnya tangguh saja tak cukup. Aku tergolek tak berdaya sekarang.

 

"Ya, Tuhan, sayangku lihatlah dirimu. Kau sangat pucat." Clara mengusap bulir bening yang menggenang di pelupuk matanya. Ia menggenggam erat tanganku. "Kenapa tak mengatakan apa pun? Aku sangat cemas!"

 

"Aku pun tidak menyangka akan seperti ini, Clara. Tak ada yang menyangka."

 

Ia mengedar pandangan dan celingukan, tidak benar-benar mendengarkan kalimatku.

 

"Siapa yang kau cari? Jika mencari pria di sini, tak ada siapa pun. Aku benar-benar sakit dan tidak ada waktu untuk bercinta dengan pria mana pun. Tenaga pun aku tak punya."

 

"Bukan itu ... Di mana Dokter tampan itu?" tanya Clara, entah sekedar ingin tahu ataukah dengan maksud tertentu.

 

"Mengapa menanyakan tentangnya?"

 

Gadis itu hanya mengedikkan bahu. Dan tak lama kemudian, yang ia nantikan muncul juga. Dokter Karl dengan penampilan yang santai—kaos Oblong dengan setelan blazer, masuk ke ruanganku. Tangannya memegang paperbag. Ia berhenti saat melihat siapa yang menemaniku.

 

"Oh, ternyata kau tidak sendiri. Aku bisa kembali nanti saja." Pria itu hendak berbalik, tapi kutahan kepergiannya.

 

"Dokter Karl! Tak apa, ini sahabatku, Clara. Ia juga mengikuti kelasmu, mahasiswi terpandai."

 

Pria itu akhirnya berbalik, meletakkan bungkusan di atas nakas. "Aku membawakanmu pretzel. Aku kasihan padamu beberapa hari hanya makan menu rumah sakit yang membosankan."

 

"Kau lihat, 'kan Clara? Aku tak sendirian. Dokter Karl mendampingi proses yang kujalani sejak awal. Aku baik-baik saja."

 

"Syukurlah." Clara membanting tubuhnya dan memelukku. "Bagaimana pun tetap saja aku cemas."

 

Pria itu merasa canggung melihat kedekatanku dengan Clara. Mungkin saja ia punya pemikiran sama seperti beberapa orang yang mengira kami pasangan sejenis. Padahal tidak sama sekali. Aku dan Clara masih memiliki hasrat pada lelaki. Percayalah.

 

"Oh, maaf. Kau pasti jadi merasa canggung. Duduklah, Dok. Aku akan pergi ke kafetaria untuk membeli segelas kopi. Gadis ini membuatku terbangun dan berlari kemari. Aku belum menyentuh kopi sama sekali." Clara memakai tas selempangnya, mengecup pipiku, kemudian berlalu menuju pintu. Sebelum menutupnya, ia berbalik.

 

"Aku akan segera kembali, tolong jaga dia." Gadis itu menghilang di balik pintu.

 

Dokter Karl duduk di kursi yang sejak tadi berada di samping ranjang. Matanya menatap dalam mataku penuh arti. Ia menghela nafas sebelum kemudian membuka obrolan.

 

"Bagaimana kondisimu?"

 

"Seperti yang kau lihat. Baik tapi ... entahlah. Terkadang aku sudah merasa lebih sehat, tapi di menit berikutnya kembali menurun. Ada apa denganku sebenarnya?"

 

"Kita akan tahu sebentar lagi. Aku sudah datang ke ruang Dokter Armando sebelum kemari, hasil tes sudah ada di mejanya. Hanya, ia masih sibuk. Kita tunggu saja."

 

Aku menunduk, memainkan buku jariku. "Aku tak sabar."

 

Dokter Karl meraih jemariku dan menggenggamnya lembut. Memunculkan gelenyar aneh dalam hatiku. Namun benar, tak berapa lama terdengar suara ketukan di pintu disusul dengan kemunculan dokter Armando. Kali ini ia tidak ditemani perawat seperti biasanya.

 

"Apa kau siap mendengar hasil biopsimu?" tanya pria itu. Aku mengangguk. Pria itu menggulir layar tablet di tangannya, berkomat-kamit seperti sedang membaca mantra. Aku berusaha menunggu dengan sabar, tapi semakin kupaksakan jantungku semakin berdegup tak karuan.

 

"Bukan hasil yang kita harapkan, tapi juga bukan yang terburuk. Kau menderita anemia aplastik dengan tingkat berat."

 

Apa? Apa yang baru saja ia katakan? Anemia apa? Aku bahkan tak pernah mendengar nama itu sepanjang hidupku.

 

"A-apakah aku akan—"

 

Ia kembali menggulir layar benda sebesar cutting board di tangannya. Mataku beralih pada Dokter Karl yang berdiri di sampingku. Mimik wajahnya kini seperti terpidana yang mendapat vonis mati. Pucat pasi. Bukankah di sini aku yang sedang sakit dan kemungkinan akan mati? Mengapa justru ia yang terlihat gundah?

 

"Memang berisiko, tapi kita bisa mencegah itu. Kami akan memberikan tritmen yang tepat untuk memperbaiki kualitas sel darah merahmu, sekaligus memperbaiki imun dan melawan infeksi."

 

Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan Dokter Armando. Jangan salahkan, dalam kondisi sehat saja aku membutuhkan waktu untuk benar-benar memahami materi yang diberikan oleh Dosen, terlebih lagi dalam kondisi seperti sekarang.

 

"Apa katamu?" Clara tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan segelas kopi di tangannya. "Apa kau tidak salah mendiagnosis , Dok?"

 

"Clara ...." Aku berusaha menghentikannya agar tak bicara dan cukup mendengarkan saja penjelasan Dokter Armando, tapi percuma.

 

"Tidak, Jenna, jangan suruh aku diam. Kau yang seharusnya diam dan dengarkan aku." Matanya beralih pada Dokter Armando yang masih berdiri dengan tenang. Menunggu apa yang akan diucapkan gadis yang saat ini sedang gusar.

 

"Kau bilang anemia aplastik? Apakah kau sudah melakukan diagnosa dengan benar? Tes penunjang, aspirasi sumsum-"

 

"Clara, Clara ... tahan dulu emosimu. Dia adalah ahli hematologi, tak mungkin ia salah!" pekikku berusaha agar gadis itu diam. Mulutnya terbuka, dan terkatup kembali. Seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi tertahan. Dadanya terlihat naik turun. Ia mundur beberapa langkah, mencari sandaran lantas tubuhnya melorot setelah bersandar pada dinding.

 

Tatapannya kosong. Hal paling menyakitkan yang pernah kulihat dibanding mendengar vonis dari Dokter Armando barusan. Aku mengulurkan tangan ke arah Clara yang masih berada di lantai dan cukup jauh dariku. Berharap ia akan menghampiri dan memelukku seperti biasanya.

 

"Clara ...," panggilku lirih. Ia menoleh sejenak kemudian bangkit dan berlalu meninggalkan ruanganku. Tak ada yang bisa kulakukan selain menatap kepergiannya. Ia pasti akan kembali, kalaupun tidak, setidaknya ia akan berusaha untuk selalu ada saat kubutuhkan. Hanya itu yang kuyakini.

 

***

avataravatar
Next chapter