8 A Riddle

Aku terbangun, sudah berada di atas ranjang. Siapa yang memindahkanku? Ah, iya benar. Aku telah menghabiskan malam dengan Blake, jadi pasti ia yang membawaku kemari. Namun di mana ia sekarang?

Aku meraba sisi ranjang yang dingin, ia sudah tak ada di sampingku. Segera kuberanjak turun, mengambil kaos oblong dan memakai sekenanya, lalu mencari Blake. Mungkin saja ia ada di dapur—spot favorit baginya.

"Blake ...." Aku berjalan menuju ruangan yang kosong. Di atas meja sudah tersedia seporsi waffle dan segelas susu. Tak lupa secarik pesan mesra darinya. How sweet ...

[Aku berangkat dulu, tak tega membangunkanmu.

Blake]

Ada rasa senang sekaligus kecewa ketika membaca pesan darinya. Manis seperti dahulu. Bahkan mungkin lebih. Apakah ini bukti ia memiliki rasa padaku? Jika ya, mengapa ia tak pernah mengatakannya? Apakah ia memang tak memilikinya lagi? Ataukah memang butuh waktu baginya setelah apa yang terjadi pada hubungan kami sebelumnya?

Aku mendesah lesu. Mengingat malam indah yang telah kulewati bersamanya, membuatku tesipu dan merasa bahagia. Namun jika hanya hubungan yang sia-sia tanpa adanya cinta, untuk apa dilanjutkan? Seperti juga yang selama ini kujalani.

Aku tak ingin melakukannya dengan orang yang sama karena memang tak ada perasaan spesial, sekaligus tak ingin memberi kesempatan perasaan itu timbul. Berbeda dengan apa yang kurasakan pada Blake. Itu jelas. Dan aku tak akan keberatan untuk mengulangi malam dengannya, lagi dan lagi.

Namun, jika bercinta denganku hanya ia jadikan sebuah kesenangan belaka, entah apa yang harus kukatakan pada diriku sendiri. Sekian lama memendam sakit karena kepergiannya yang tiba-tiba dan tanpa kata, lalu harus mengulangi sakit yang sama, apakah aku akan siap? Membayangkannya saja tak sanggup.

Aku meneguk susu yang tersedia di sana hingga tandas. Mencomot sedikit waffle yang terlihat menggoda dengan lelehan saus karamel di atasnya, sekaligus irisan strawberry dan taburan gula halus. Namun aku tak berselera menyantap semuanya. Tidak setelah mengetahui Blake pergi begitu saja, lagi. Dan entah berapa kali lagi ia akan melakukan ini padaku.

'Stupid!' rutukku pada diri sendiri. Sebegitu gilakah diriku pada Blake sampai rela diperlakukan seperti ini?

Aku mendesah kesal, menyugar rambut dengan kasar. Perasaan untuk Blake seharusnya sudah menguap sejak lama. Sudah berapa tahun berlalu? Sangat lama hingga menghitungnya akan sangat melelahkan.

Aku mengambil ponsel yang masih tergeletak di atas meja ruang tamu sejak kemarin, mencari nomor Blake kemudian menghubunginya. Jika ia tak punya waktu meneleponku, aku yang akan menghubunginya lebih dulu.

'Hai, Blake di sini. Kau bisa tinggalkan pesan setelah bunyi 'bip', kupastikan akan segera membalas.'

Aku hanya mampu menghela nafas mendengar sambutan kotak suara. Apakah ia membatasi panggilan masuk? Bahkan dari nomorku? Mustahil jika nomornya selalu tidak aktif setiap kuhubungi. Jika sudah begini lalu bagaimana?

Sudahlah, Jenna ... Kau tidak sedang menuntut tanggung jawab padanya hanya karena ia tidur denganmu semalam, bukan? Dan hanya sekali, not a big deal. Lagipula melakukannya sekali tak akan membuatmu hamil.

Benar juga. Untuk apa aku begitu ingin menarik perhatian Blake? Jika ia datang, bukan atas undanganku. Melainkan atas kemauannya sendiri. Maka jika ia pergi atau tak kembali, maka tak seharusnya aku memintanya untuk tinggal. Anggap ia sama seperti pria lain yang hanya semalam saja merasakan bangun di atas ranjangku. Keesokan harinya, we're totally stranger.

Iya. Seperti itu lebih baik.

Lebih baik aku bersiap untuk ke kampus. Hanya memikirkan Blake tak baik untuk kesehatan hatiku. Dia tak berbeda dengan pria lain yang mendarat di ranjangku dengan selamat, menghabiskan malam, lalu pergi. Dan tak ada kesempatan kedua.

***

Aku menunggu Clara hingga selesai membersihkan diri. Hari ini sangat melelahkan dan mengesalkan. Sudah tiba di kampus, kelas Genetika diundur dengan tanpa alasan. Akhirnya kuputuskan untuk ikut pulang bersama Clara ke rumahnya. Daripada menghabiskan waktu seorang diri di rumah, lagipula sahabatku itu sedang tak ada kencan dengan pria. Jika kukatakan 'pria' itu berarti semacam kencan buta.

Entah kapan ia mulai melakukan itu, kencan buta dan fantasi liarnya semakin tak terkendali. Aku seperti tidak mengenal Clara akhir-akhir ini. Mungkin ia jenuh selalu menjadi anak pintar yang baik hati.

"Beruntung aku sedang tidak ada acara hari ini. Jadi kita bisa menghabiskan waktu berdua ...." Ia menaik turunkan alisnya menggodaku.

"Sialan! Kau tidak tahu bagaimana rasanya seharian di rumah tanpa teman, tanpa kegiatan. Sooooo boring!" keluhku yang ia balas tawa mengejek.

"Karena itu, jaga kesehatanmu. Aku pun sedih tidak bisa mengajakmu ke Glory. Aku takut penyakitmu kambuh."

"Ya, begitulah. Mengesalkan sekali ketika tahu bahwa kondisi kesehatanmu sedang tak baik. Terlebih Dokter Karl. Pria itu ... urrgh!" Aku mengerang sebal mengingat bagaimana protektifnya ia sehingga mirip seperti ayahku.

Clara justru tertawa terbahak mendengar penuturanku tentang Dokter Dosen itu. Ia duduk dan menyangga dagu dengan tangannya.

"Memangnya apa yang ia lakukan padamu, huh?"

Aku memutar bola mata, mengingat bagaimana Dokter tampan itu membuatku kesal. Mengingatnya lagi bisa membuatku bad mood.

"Sudahlah lupakan, jika itu terlalu mengesalkan. Tapi satu saran dariku, jangan terlalu keras padanya. Mungkin ia hanya mencemaskanmu seperti yang seharusnya ia lakukan."

Aku mengangguk antara setuju dan tidak. Apa pun alasannya, ia seharusnya tetap menjaga privasi seorang pasien terlebih di tempat umum.

"Lagipula aku tak terlalu ingin tahu tentang Dokter Karl. Meski dari pandanganku, ia sepertinya tertarik padamu, tapi biarlah kita lupakan. Kini ada yang lebih penting yang ingin kutanyakan. Tentang semalam."

Mataku membulat mendengar pertanyaan Clara. Apakah ia tak tahu Blake telah kembali? Atau apakah justru gadis itu bertanya karena tahu aku pulang untuk bertemu Blake?

"Semalam?" tanyaku memastikan kembali apa yang ingin ia tanyakan.

"Ya. Ayolah, Jenna, jangan berpura-pura tak tahu. Kau semalam pergi begitu saja sambil menerima panggilan, bukan?! Siapa yang menghubungimu hingga kau langsung menghilang setelah itu?"

Aku menghela nafas perlahan, tak ingin Clara mengetahui kelegaanlu karena ternyata ia tak tahu tentang Blake. Namun mengapa aku harus sembunyi-sembunyi? Bukankah kini kami sudah dewasa? Aku bebas berhubungan dengan siapa pun.

"Ah ... itu, seperti biasanya. Aku bertemu pria tampan saat di luar, dan ia mengantarkanku pulang. Dan seperti yang kau tahu ...," jawabku sambil memainkan tangan, setengah berbohong.

Aku masih belum siap mengatakan apa pun tentang Blake. Pria itu pun sepertinya tak ingin hubungan kami diketahui oleh Clara. Terlihat dari reaksinya jika aku menyebut tentang Clara.

"Oh ... Kupikir kau sudah memiliki kekasih dan menyembunyikannya dariku."

Aku hanya diam tak menanggapi kalimat yang diucapkan Clara barusan.

Andai saja Blake menjadi kekasihku, mungkin memang akan seperti itu, Clara. Aku tak akan mengatakannya padamu sampai kutahu apa alasanmu tidak membahas tentang Blake sejak pria itu pergi bahkan hingga saat ini.

"Kalau seandainya aku sudah memiliki kekasih, memangnya kenapa?" tanyaku iseng. Hanya ingin tahu seperti apa reaksinya saat ini. Dulu ia sahabat yang posesif, aku sangat mengenalnya. Setiap mengetahui aku dekat dengan pria berbeda, ia akan mendiamkanku berhari-hari.

Sementara dirinya bergonta-ganti kekasih, aku hanya menjalani hubungan semalam. Selain karena prinsipku akan cinta, juga karena Clara yang seolah tak ingin membagiku dengan yang lain.

"Y-ya ... kau kan tahu aku seperti apa, Jenna. Memangnya benar, kau sudah dengan seseorang? Siapa?"

"Tidak dengan siapa-siapa. Aku masih sama seperti yang kemarin. Meskipun kau bersikap tak adil padaku, tapi keputusanku untuk tidak menjalin hubungan dengan siapa pun adalah murni karena diriku sendiri. Suatu saat aku pasti akan berkencan. Dan kau akan jadi orang pertama yang tahu."

Mendengar penuturanku, Clara tiba-tiba terdiam. Aku tak bisa membaca jelas ekspresinya saat ini, meski sering terjadi hal serupa. Namun tentu saja, berusaha menebak apa yang ada dalam pikirannya adalah hal melelahkan.

"Meski aku menjalin hubungan tapi tak pernah serius dan memakai perasaan seperti saat kau dengan Blake."

Aku menoleh mendengar kalimat yang baru saja ia ucapkan, lalu menatap tajam ke dalam manik mata sebiru laut di hadapanku. Baru kali ini ia berani menyebut nama itu. Mengapa?

"Memangnya ada apa dengan Blake?" tanyaku penasaran. Kau sudah terlanjur terjerembab, Clara. Saatnya kau untuk 'mandi'. Katakan saja, ada apa antara kau dan Blake.

"T-tidak ada apa-apa. Hanya saja kau terlihat sangat menyukai laki-laki itu sampai mengabaikanku. Kau lupa?"

Aku mengangguk perlahan. Jika hanya itu yang ingin ia katakan tentu saja aku sudah mengetahui sejak lama bahwa ia tak menyukai Blake karena aku menjadi jarang bersamanya sejak berpacaran dengan pria itu. Namun lainnya, Clara. Lainnya! Apa lagi yang kau sembunyikan tentang Blake?

Aku mendengus kesal. Bukan pada Clara atau Blake, melainkan diriku sendiri. Ada banyak pertanyaan di kepala yang tak juga kutemukan jawabannya. Tidak dari Clara maupun Blake.

Mereka berdua seolah tak ingin mengingat kisah yang lalu. Sementara aku yang sejak awal tak tahu-menahu masalah kepergian Blake dan segala hal dibalik itu, hanya memendam sendiri sakit dan perasaan pada pria itu.

Tidak, tidak. Bukan berarti aku mencurigai Clara. Ia sahabat yang baik selama ini, itu sebabnya persahabatan kami bisa bertahan sekian lama. Tapi tentang masalah itu ... entah mengapa aku tak mampu membendung perasaanku.

Hingga kini masih bertanya-tanya tentang sesuatu yang masih menjadi misteri. Dan aku lelah, karena seharusnya mereka berdua mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.

Ataukah mungkin ada yang kulewatkan selama ini?

***

avataravatar
Next chapter