14 ⭕ 14. Hari ke-4

^Selamat Membaca

...

"Nenek pegel ya, mau Naya pijitin?" tanya Naya ketika melihat Destriani terus memukul - mukul pundaknya.

Destriani tak menanggapi ucapan Naya dan menganggap itu hanya angin lalu.

"Aru, tolongin pijatin pundak nenek" ucap Destriani yang mengundang senyuman kecut dari Naya.

Arunika menghentikan kegiatannya dan mengangguk, "Baik, nek"

"Di bagian ini, nek?" tanya Arunika sambil memijat pundak Destriani dengan telaten.

Destriani mengangguk keenakan, pijatan Arunika memang tak ada duanya. Lagipula Destriani tidak yakin Naya akan memijat sebaik Arunika.

Naya hanya bisa menonton kebersamaan Destriani dan Aru setiap hari. Tidak ada hari bagi Naya untuk berhenti menarik perhatian Destriani agar menyukai dirinya. Segala cara telah Naya tempuh selama 4 hari belakangan ini. Namun, Destriani tetap tidak pernah melirik usaha Naya.

Naya berbalik merasakan pundaknya di sentuh, "Ibu?"

"Apa kamu akan terus seperti ini?"

Naya melengkungkan senyuman yang manis, "Jangan khawatirkan aku bu, aku baik-baik saja hehehe"

Qiana menghembuskan napas kasar, "Apa Naya tidak lelah di acuhkan oleh Ibuku dan ... anakku?"

"Aku baik- baik saya Ibu, hehehe"

Naya tetap mempertahankan senyumannya untuk meyakinkan Qiana jika dirinya sedang baik-baik saja, tetapi Naya lupa dia tidak bisa membohongi hatinya walau sekeras apapun dia berusaha.

"Baiklah jika kamu tidak ingin mengatakannya pada ibu, tapi ibu mohon jangan terlalu memaksakan diri" pesan Qiana.

"Ayolah Bu, Naya baik-baik saja. Hmmm bagaimana jika kita ke dapur sekarang?" ujar Naya mengalihkan pembicaraan.

Qiana mengetuk-ngetuk dahinya, "Baiklah ayo, Ibu akan mengajarimu resep masakan yang baru"

"Tapi Bu, resep yang kemarin Naya belum terlalu bisa dan sekarang kita akan memasak dengan resep yang baru?" protes Naya.

"Tenang saja, resep yang kemarin kita akan kembali mempelajarinya kapan-kapan. Sekarang ayo memasak dengan resep dan menu yang baru, bagaimana setuju?!"

"Tentu saja, Ibu" sorak Naya senang.

Naya dan Qiana terus berceloteh sepanjang jalan menuju dapur, mereka terlihat seperti Ibu dan anak yang saling menyayangi satu sama lain. Tak jarang salah satu anggota keluarga mencibir mereka. Namun, baik Naya atau Qiana tidak terlalu memusingkan ucapan mereka dan berusaha tidak terbawa emosi.

"Ibu, ini wortelnya mau diapain?" tanya Naya.

Qiana menoleh, "Di cuci sampai bersih, terus di kupas lalu di potong dadu. mengerti?!"

"Mengerti!!!"

Para pelayan yang melihat keakraban keduanya hanya bisa berharap, jika hal ini akan berlangsung selamanya.

"Tolong kamu lihat ini, saya mau ngajarin Naya mengupas wortel" perintah Qiana pada salah satu pelayan.

Pelayan itu mengangguk patuh, "Baik, Nyonya"

"Bagaimana? Apa ada kesulitan?" tanya Qiana.

Naya tersenyum menunjukkan deretan gigi sambil , "Apa Ibu bisa ngajarin Naya mengupas wortel?"

Qiana mengetuk-ngetuk dagunya menatap wajah Naya yang sangat mengemaskan, "Baiklah, perhatikan baik-baik"

"Yeaay" Naya menyerahkan wortel dan pisau ke tangan Qiana, lalu setelah itu dia menyimak dengan baik semua perbuatan Qiana.

"Mengerti?!"

"Naya mengerti Bu, makasih hehehe"

Qiana mengelus rambut Naya, "Jangan berterima kasih, ibu sudah menganggapmu anak sendiri"

Naya mendongak, "Hehehe, tapi Naya hanya ingin berterima kasih. Apa itu salah?"

"Tidak salah, hanya saja Ibu merasa itu tidak perlu" ujar Qiana cemberut.

Naya terkekeh, "Baiklah- baiklah. Jangan cemberut okay, Naya tidak menyukainya Ibu"

"Apa ini tempat yang tepat untuk melakukan hal seperti ini?"

Qiana dan Naya menoleh, "Apa ada yang salah dari ini, Bu?" tanya Qiana

Destriani berdecih, "Kamu tanya apa ada yang salah? Tentu saja ada, Ibu mana yang lebih memilih perempuan tak berguna ini di bandingkan anaknya sendiri?!"

Qiana menghela napas, "Ada apa lagi dengan Aditya? Apa ada sesuatu yang terjadi padanya?"

"Lihat? Bahkan, keadaan anak sendiri kamu tidak mengetahuinya. Kamu Ibu macam apa, Qiana?"

"Baiklah Bu, aku akan melihat langsung keadaan Aditya" Qiana menoleh pada Naya, "Kamu tunggu di sini, Ibu akan cepat kembali"

Naya mengangguk, "Siap, Bu!"

Naya mengalihkan pasangan pada Destriani setelah tubuh Qiana tak terlihat lagi, "Ada yang bisa Naya bantu, Nek?"

"Jika kamu sudah tidak punya Ibu, berhenti merebut Ibu orang lain"

Napas Naya seakan berhenti, ketika mendengar perkataan Destriani seperti sebuah bilah pisau yang dilemparkan tepat di jantungnya. Tidak! Ini lebih sakit dari itu. Naya seakan kehilangan kata-kata.

"Kenapa diam? Apa kamu sedang mencerna perkataanku?"

"Baiklah, aku harap kamu bisa memahaminya dan berhenti mencari perhatian dariku dan dari Qiana. Berhenti menjelek -menjelekkan nama Aditya pada Qiana, Ibunya sendiri!"

Destriani berbalik meninggalkan Naya setelah memberikan peringatan padanya. Destriani tidak peduli resikonya, dia hanya ingin Naya menjauh dari sisi Qiana.

"Apa Nyonya baik-baik saja?"

Naya menoleh dan tersenyum menatap kepala pelayan, "Tidak, aku baik-baik. Oh iya apa kalian bisa mengurus wortelku?"

Pelayan itu terkekeh, "Tentu saja, serahkan semua wortelmu padaku, aku akan menjadikannya makanan yang enak"

"Terima kasih hehehe, aku pamit ke atas dulu. Sampai nanti" Naya melambaikan tangannya dan berjalan menjauh dari dapur.

"ADITYA!"

Naya berhenti melangkah ke kamar ketika mendengar teriakan bernada amarah dari Qiana.

"Kenapa Bu? Apa Aditya salah?"

Naya segera berjalan menjauh dari sana. Menurut Naya, Aditya dan Qiana sepertinya perlu waktu berdua untuk saling berbicara.

"Naya mau kemana?"

Naya menoleh, "Syukurlah, aku menemukan Kak Aru"

"Ada apa?" Arunika mengerutkan kening bingung.

Naya mengaruk tengkuknya, "Apa aku boleh meminjam mobilitas sebentar?"

"Kamu akan kemana?"

"I-itu ...."

"Baiklah ini kuncinya, tapi ingat jangan terlalu lama. Nanti jika keluarga Aditya tau, mereka akan memarahimu" pesan Arunika.

"Baik kak dan makasih, aku hanya akan meminjamnya sebentar saja. Aku pamit kak, assalamualaikum" pamit Naya.

Arunika mengangguk,

"Waalaikumsalam"

Naya segera mengendarai mobil Arunika keluar dari halaman rumah Ibu Aditya.

Naya menghentikan laju mobilnya di tempat pemakaman umum yang menjadi tempat peristirahatan terkahir Laura, mama Naya.

"Mama, apa di sana mama baik-baik saja?" Naya jatuh bersimpuh di samping makam Laura.

Naya mengelus pelan nisan yang bertuliskan nama mamanya, "Mama, apa mama tau? Naya di sebut sebagai perebut Ibu orang. Apa menurut maa itu benar?"

Naya mendongak menahan lelehan air mata jatuh ke pipinya, "Naya hanya merindukan kehangatan seorang Ibu, apa yang Naya lakukan itu salah?

"Naya tidak pernah berniat mengambil Ibu seseorang, t-tapi ini terjadi begitu saja"

"Naya cape ma, rasanya Naya ingin menghilang saja dari kehidupan mereka. Namun, janji Naya menjadi penghalang semuanya. Naya tidak bisa melakukan apapun, karena Naya adalah anak mama yang tidak akan mengingkari janjinya"

Naya memeluk nisan Laura dengan erat, seakan tidak ingin melepaskannya, "Naya ... cape ma"

"Apa Naya boleh tidur sebentar, ma?"

Mungkin karena faktor kelelahan Naya jatuh tertidur di makam Laura.

...

To Be Continud

Komentar dan dukungannya hehehe🌙

^ Sampai jumpa di lain waktu👋

Salam hangat^^

Apipa yang manis

avataravatar
Next chapter