2 BAB 1 : Ourel

Senin pagi-pagi sekali sekitar pukul empat subuh, gadis cantik berambut sebahu itu sedang menghirup udara pagi yang segar di balkon kamar miliknya.

Dingin, sedingin wajahnya, sedingin hatinya, sedingin kehidupannya.

Telah menjadi rutinitasnya bangun lebih pagi, karena menurutnya untuk apa tidur lebih lama kalau nasib dan takdirnya tidak akan berubah.

Tidur lebih lama akan membuatnya banyak bermimpi, seharusnya menyenangkan, karena terkadang mimpi lebih indah daripada kenyataannya.

Namun, gadis itu harus menerima kenyataan sesungguhnya yang pahit. Ia tak mau menghindar dari takdir, semuanya sudah ditentukan oleh Tuhan. Mau tak mau Ourel menjalaninya, meskipun dengan terpaksa.

Ourel, tidak pernah tahu siapa ibunya, tak seperti anak semurannya yang lain, sedari dulu ia hanya bisa memandangi mereka yang bersenang-senang dengan keluarganya. Bercanda dengan sang ayah, tertawa bersama ibu, dan dilengkapi kehangatan dari kakak maupun adik.

Ourel tinggal bersama sang ayah, kakak lelaki dan pembantunya. Setiap Ourel menanyakan keberadaan ibunya, semuanya menggangkat bahu mereka seolah tak tahu.

Seolah, seolah bukan berarti tak tahu. Hanya mencoba untuk pura-pura tidak tahu.

Sifatnya yang tebilang cuek dan dingin bukan karena dibuat-buat, seperti pura-pura tak peduli agar famous akan ke jutekannya, ketegasan dan ke cuekannya seperti di cerita-cerita.

Natural, bawaan sejak kecil yang memang jarang berkomnukasi bahkan dengan keluarganya sendiri. Terbawa hingga ia menjadi gadis remaja yang berpikir lebih dewasa.

Ayahnya jarang sekali berbicara, pulang pun hanya beberapa kali dan terkadang marah-marah tak jelas. Tapi  meskipun begitu, Ourel masih bersyukur karena sang ayah masih mau mengurusnya hingga kini, tidak mengusirnya dari rumah dan hanya meninggalkannya berdua bersama sang kakak.

Darka satu-satunya keluarga yang bisa ia ajak bicara seperti layaknya teman. Darka yang memang berjarak satu tahun dari Ourel memiliki sifat yang jauh beda dengan adiknya, lelaki itu memiliki sifat kepedulian yang tinggi, ramah dan sangat mudah tersenyum.

Entah belajar darimana, sepertinya turunan sang ibunda. Dari sosok Darka, bisa diperjelas bahwa salah satu sifat sang ibu memiliki jiwa kasih sayang seperti Darka.

Tapi Darka juga tidak tahu siapa ibunya sama seperti Ourel, namun ia lebih bersikap dewasa dan mengertikan segala situasi yang menimpa dirinya dan sang adik.

Hari-hari mereka juga ditemani bersama sang pembantu—Cahaya, mereka biasa memanggil bi Aya— yang sedari dulu bersama dan mengurus Darka dan Ourel sejak kecil. Ia bagaikan cahaya, penerang kehidupan kedua anak itu, titik terang, satu-satunya pengganti seorang bernama ibu bagi mereka.

Kembali ke cerita, tak terasa waktu menunjukan pukul setengah lima pagi dan Ourel segera membereskan kasur tidurnya yang bercorak hitam dihiasi bintang-bintang yang seakan berkelap-kelip. Nuansa kamarnya dipenuhi oleh warna hitam, bersama sticker bintang-bintang di atap-atap kamarnya.

Ia memasuki kamar mandi, mulai membersihkan diri dari atas hingga ke ujung kaki, merasakan sensasi dinginnya air di pagi hari, hawanya yang dingin ikut menusuk pada kulit putih Ourel. Sudah menjadi teman bagi gadis itu sehari-harinya.

Setelah itu ia memakai seragamnya dan sedikit berhias, menata rambutnya yang cantik, dan melihat pantulan dirinya di cermin lemari mililknya. Ia menatap dirinya sendiri, lalu sedikit demi sedikit mengembangkan senyumnya yang hanya ia perlihatkan pada dirinya sendiri, Dakan, sang ayah dan bi Aya. Tidak dengan yang lainnya.

"Ourel, hari ini, esok dan seterusnya akan baik-baik saja."

Ucapnya pada diri sendiri, itu yang dikatakannya setiap hari. Menghibur diri sendiri, menyemangati diri sendiri, dan mengasihani diri sendiri.

Ourel menuruni anak tangga satu persatu dan mendekati meja makan di dapur. Sudah ada Darka yang sedang mengobrol dengan bi Aya, mereka tertawa bersama, entah apa yang dibicarakan Ourel tidak peduli.

"Ourel, selamat pagi." ucap Darka sambil tersenyum hangat kepadanya.

"Hari ini sarapannya spesial, yaitu roti bentuk love untuk dua orang kesayangan bibi." kata bi Aya dengan cengiran khasnya.

Cahaya sudah menganggap mereka layaknya anak sendiri, karena katanya, ia pernah berkeluarga namun ada banyak masalah yang menghampiri dan berakhir untuk berpisah. Darka dan Ourel pun tak tahu cerita hidup lebih lanjut bi Aya, yang terpenting adalah wanita itu selalu ada disisi mereka.

Ourel hanya menanggapinya dengan tersenyum tipis, ia mulai menyantap makanannya dengan tidak nafsu. Meminum susu stoberi kesukaannya dan segera membereskan makannya dan pergi ke dapur.

"Pulang sekolah kamu pulang sendiri ya Rel, abang ada latihan basket buat pertandingan dua minggu lagi."

Ucap Darka yang tiba-tiba datang dari belakang sambil membawa gelas dan piring makannya. Mengambil piring yang masih Ourel pegang dan menyimpannya di tempat pencucian piring.

"it's okay."

Balas Ourel dengan anggukan.

Sekarang sudah pukul enam lebih dua puluh menit, Darka segera memanaskan motornya dan pergi ke sekolah bersama sang adik.

Perjalanan dari rumah mereka sampai ke sekolah hanya butuh sekitar 10 menit jika menggunakan kendaraan bermotor. Jikalau Darka tidak pulang bersama Ourel, gadis itu lebih memilih pulang dengan berjalan kaki.

Selain menghemat uang jajan, juga menggerakan otot-otot di dalam tubuh yang sudah lama tidak berolahraga. Sebenarnya bukan itu alasan yang sesungguhnya, lebih tepatnya agar sampai ke rumah lebih lama.

Tidak pulang bersama kakaknya, berarti di rumah akan lebih sepi seperti biasanya. Ourel akan sengaja memperlambat jalannya sambil menikmati jalanan di sore hari, sesekali pergi ke cafe sendiri atau membaca buku di toko buku terdekat.

Darka juga tidak melarangnya, mungkin jika dia tidak memiliki banyak teman seperti Ourel ia akan melakukan hal yang sama. Berkeliaran sendirian.

Asal adiknya tahu waktu untuk pulang, menjaga diri dan tidak lupa makan, Darka tidak ada masalah dengan semuanya.

Ini hari Senin pertama setelah libur kenaikan sekolah kemarin, Ourel telah menginjak kelas sebelas dan Darka satu tingkat lebih tinggi, kelas dua belas. Darka akan lebih menggiatkan belajarnya agar dapat mencapai nilai yang tinggi saat kelulusan nanti, sedangkan Ourel dengan otaknya yang tidak terlalu pintar lebih tertarik pada novel-novel fantasi atau novel remaja.

Sesampainya di sekolah, belum terlalu ramai. Entah mereka yang terlalu pagi atau memang murid-murid disana butuh libur tambahan. Entahlah.

Sedari tadi, ketika Darka memarkirkan motornya di parkiran sekolah ia merasa ada seseorang yang terus memperhatikannya, entah hanya perasaan saja atau memang benar. Ia sedikit terganggu namun bersikap tidak peduli dan lebih baik melupakannya.

"Gue duluan, nanti pas lo mau pergi gausah cari gue dulu. Takutnya lo akan terlambat, sampai jumpa, bang."

Kata Ourel lalu meninggalkan Darka dan pergi ke kelasnya yang berada di lantai atas. Darka hanya tersenyum melihat kepergian adiknya, padahal hanya ditinggal ke kelas tapi ia merasa akan ditinggal selamanya.

Memang, Darka orangnya sangat dramatis dan alay.

"REKI BHASKARA!"

"SAPUTRA DIRGANTARA!"

"Tuh kan bener kata gue! Mimpi gue selama ini bukan kaleng-kaleng. Dia yang dateng ke mimpi gue tiap tanggal 13 Februari!"

Darka yang tengah mengunci dan memeriksa motornya mendengar suara bising dari dua lelaki yang tak dikenalnya. Saat mendengar kata 13 Februari, ia teringat dengan hari lahir Ourel.

Perasaannya mengatakan bahwa mereka sedang membicarakan adiknya, namun banyak yang lahir pada tanggal dan bulan itu. Bukan hanya Ourel saja, Darka pun pergi ke kelasnya dan meninggalkan mereka yang masih sibuk bertengkar.

avataravatar
Next chapter