4 Witch

"Bagaimana caranya?"

Jeremi mengeluarkan buku bersampul kulit cokelat tadi dari dalam saku jasnya. "Dari yang aku pernah dengar, buku ini bisa menjadi petunjuk kita menemukan Dimas. Tapi kenapa dari satu buku ini, hanya satu halaman yang ada tulisannya"

Aku mendekati Jeremi dan membaca isi dari buku itu. "Bertemulah dengan Penyihir Emas, dan dapatkan semua yang ingin kau ketahui!"

"Siapa lagi itu Penyihir Emas? Tidak bisakah aku bertemu dengan manusia normal?!" ujarku lesu. Kupijit tangan serta pahaku yang terasa nyeri karena terlalu banyak bergerak. Kami juga belum memakan apapun sedari tadi.

"Kamu lapar?"

Aku mengangguk tanpa tenaga. "Aku juga lelah, tolong jangan katakan kalau kita akan berjalan lagi sekarang"

"Kalau tidak segera bergerak, jejak kita pasti terlacak" ujar Jeremi seraya mengulurkan tangannya. Dengan sangat terpaksa aku harus membuat tubuhku bergerak kembali. Setelah aku berdiri, Jeremi membungkuk di hadapanku.

"Naiklah, aku akan menggendongmu"

Astagaa, aku tidak mau di gendongnya! Berat badanku naik dua kilogram dua hari yang lalu, dan aku tidak mau malu lagi di depan Jeremi.

"Tidak tidak! Aku bisa berjalan sendiri!" tolakku cepat.

Jeremi tersenyum lebar, "Kalau kamu berpikir aku akan kepayahan menggendongmu, tenang saja pedangku dengan tubuhmu masih lebih berat pedangku"

"Astaga. Jangan-jangan kamu bisa membaca pikiranku! Ayo mengaku saja!" todongku pada Jeremi yang tertawa makin keras.

"Siapa sih yang tidak akan berpikir seperti itu? Ayo cepat naik, tawaranku hanya berlaku selama tiga detik"

"Bisa-bisanya kamu—"

"tiga, dua—"

"Iya iya! Ayo gendong aku!" seruku jengkel.

"Awas saja kamu mengeluh di tengah jalan nanti. Aku tidak akan mau turun, dan kamu tidak boleh menurunkanku!" sambungku.

Lelaki itu hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Aku memeluk leher jenjangnya, jujurnya saja rasanya aneh di gendong oleh laki-laki asing yang bahkan baru bertemu selama tiga jam.

Dan dia adalah laki-laki kedua yang pernah menggendongku setelah kakak. Sensasinya berbeda tapi membuatku nyaman berada di dekatnya, walaupun ia sudah membunuh banyak makhluk aneh tepat di depan mataku.

Aku memilih tidak melihat jalanan karena yang kulihat hanyalah mayat manusia dan bangkai mobil yang berserakan. Sepertinya ada yang lebih menarik dari melihat jalanan, yaitu Jeremi.

Kalau kalian kira Jeremi itu berbadan besar dengan bisep penuh otot sehingga seperti om-om yang ada di tempat Gym, kalian salah besar. Karena Jeremi yang ini berbadan proposional, tinggi dan segar, tidak terlihat boros dari umurnya.

Badan khas anak SMA dengan rambut hitam dengan potongan mullet tapi terlihat sangat keren, jangan lupakan wangi parfumnya yang segar dan manis hingga nyamuk dan lalat saja mengerubunginya.

Bau parfum yang jarang aku temui, bahunya yang lebar membuatku nyaman menyandarkan kepala.

"Kenapa kamu sangat tampan? Mengapa jantungku seperti ingin meledak, apakah sekarang penyakitku bukan hanya asma melainkan juga penyakit jantung?" gumamku tak jelas.

Jeremi yang mendengarnya terkekeh kecil seraya mengelus tanganku yang menggantung di depan dadanya.

"Kamu tahu Raya? Aku menghabiskan seribu tahun menunggu untuk menemuimu, tapi sayang sekali kita bertemu dalam keadaan seperti ini. Takdir sepertinya ingin bermain-main dengan kita"

Walaupun aku menempelkan daguku di bahunya, aku tetap saja tidak bisa menangkap jelas apa yang ia ucapkan dan ia maksudkan. Aku lelah dan mengantuk, tapi aku tidak ingin Jeremi sendirian di tanah sunyi ini.

"Hei cowok tampan, tidak bisakah kita melakukan teleportasi ke tempat Penyihir Emas? Kamu kan hebat menggunakan sihir, seperti di film Harry Potter itu. Aku tau kamu sudah lelah menggendongku, dan aku juga lelah karena tidak bisa menenangkan jantungku yang sepertinya akan meledak ini" gumamku. Kelelahan membuatku tidak bisa berpikir jernih, dan membuatku terlihat sangat bodoh.

"Hahaha, bisa saja aku lakukan itu. Kamu mau melihatnya?" tanyanya.

Aku yang sudah setengah mengantuk hanya bisa mengangguk lemas di pundaknya. Tiba-tiba ada sebuah pusaran angin yang datang dan menyelimuti kami.

Dalam dua detik, yang tadinya mataku hanya melihat pemandangan kota yang sudah hancur berganti dengan jalanan setapak seperti dalam hutan. Terdengar suara hewan hutan yang membuat hatiku tenang. Dalam sekejap energiku seperti diisi penuh.

"Jeremi, bisa turunkan aku? Aku ingin berjalan sendiri" pintaku, lalu Jeremi menurunkanku.

"Sudah merasa baikan?" tanyanya. Aku tersenyum dan mengangguk.

Aku teringat dengan masa kecilku yang dulunya sering bermain dengan Kak Dimas di hutan belakang panti asuhan sebelum kami di asuh oleh Mama dan Papa.

Mengingatkanku seberapa berartinya Kak Dimas di hidupku, ia laki-laki yang selalu menjagaku kemanapun aku pergi. Selalu tidak bisa jauh-jauh denganku walau hanya sebentar, dia seperti malaikat tanpa sayap. Ia menjagaku dengan caranya sendiri.

Tak terasa air mataku mengalir, Jeremi tidak berusaha memelukku atau menghiburku tapi memberiku ruang untuk mengingat masa kecilku.

"Jeremi, apa Kak Dimas tahu tentang asal usulnya?"

Jeremi menggeleng pelan, "Aku tidak tahu Ray, kamu bisa menanyakan itu langsung padanya."

Lalu ia menggandeng tanganku dan menuntunku berjalan di sampingnya, aku nyaman berada di samping Jeremi. Seperti sedang berjalan bersama Kak Dimas.

Jalan setapak yang sedari tadi kami ikuti berakhir di sebuah mulut gua yang terlihat menyeramkan, gelap dan bau lembab gua menyapa hidungku.

Jeremi yang berjalan dahulu menarik tanganku lembut, aku menahan lengannya dan menggeleng meminta untuk menunggu di luar saja. Ia tersenyum dan berkata tanpa suara.

Lalu ia mengambil sebatang kayu yang ujungnya ia ikat dengan kain silver ajaibnya, tiba-tiba saja kain itu terbakar.

"Tidak apa-apa"

Karena aku takut dengan tempat gelap, kujadikan punggungnya sebagai tameng. Takut jika tiba-tiba ada hantu yang bersiap untuk membuat jantungku copot lagi.

"Wahai Tuan Muda dan Yang Mulia Putri Mahkota Naga Suci, ada apa gerangan mengunjungi tempat berdosa seperti ini? Mengingat hamba selaku penunggu Gunung Emas tidak merasa melakukan sesuatu yang berdosa terhadap Keturunan Agung!"

Suara yang tiba-tiba itu berhasil membuatku meloncat dan memeluk lengan Jeremi kuat-kuat.

"Keluarlah, Wahai Penyihir! Apakah kau tidak ingin melihat Putri Mahkotamu dari dekat?"

Kurang dari dua detik seorang wanita dengan gaun berbahan satin berwarna silver itu datang dari dalam kegelapan dan berjalan kearah kami dengan senyuman terukir indah di wajah cantiknya.

"Jangan takut padaku, Yang Mulia Putri Mahkota. Aku tidak akan membunuhmu, karena Tuan Muda ini akan membunuhku terlebih dahulu. Hahahaha!" tawanya yang nyaring membuat bulu kudukku berdiri dan membuat kakiku lemas.

"Jangan kamu kurang ajar dengan Putri Mahkota, Rozel!"

Wanita itu duduk di atas batu yang berbentuk seperti sofa, "Astaga, aku bahkan tidak boleh sedikit bergurau dengan Calon Ratu Negeriku? Sungguh lelucon yang lucu Tuan Muda!"

"Dia tidak ada sangkut pautnya dengan Tahta Kerajaan, Rozel"

"Baiklah baiklah, aku tidak akan membicarakannya lagi. Lalu, ada perlu apa hingga Anda datang menemuiku?" tanyanya seraya menghisap rokok.

"Buku ini," Ia mengeluarkan buku dari saku jasnya.

"Mengapa di setiap lembarnya tidak ada petunjuk apapun? dan kalau aku tidak lupa Klan kalian yang menciptakan buku ini untuk memberi petunjuk pada Keturunan Agung!" Jeremi menyodorkan buku yang tadi kami temukan di dalam patung.

Rozel membolak-balikkan buku itu tanpa ada minat dan meletakkan di atas meja batunya. "Aku tidak tahu cara kerjanya,"

"Kurang ajar. Aku tidak sedang bermain-main, Rozel!" Jeremi menggeram.

Aku hanya bisa menatap keduanya dengan tatapan tidak mengerti. Rozel menghembuskan napas lesu, disertai asap putih rokok yang memenuhi gua.

"Kekuatan kami disegel oleh Iblis itu! Kalau saja Aku bisa membantu, akan kulakukan apapun itu!" sahut Rozel yang terlihat sangat kesal mengingat kekuatan setiap Klan yang sudah di segel oleh Raja Iblis.

"Mengapa kekuatan kalian di segel?"

"Lebih baik Anda tanyakan langsung pada Si Iblis itu!"

Bahu Jeremi terlihat lemas, ia terduduk di tanah dan meninjunya keras. Suara gemuruh tanah dan reruntuhan kecil gua menghujani kami. Ragu-ragu aku mendekati Rozel yang sama frustasinya, ku ambil buku coklat itu dengan cepat.

Halaman demi halaman kuamati dengan seksama, walaupun kosong melompong tanpa isi, tapi aku yakin buku ini pasti telah di kunci agar tidak dapat di buka sembarang orang. Aku membutuhkan kuncinya, tapi apa?

Aku membuka satu halaman kosong yang terdapat bercak di ujungnya, ekor mataku menangkap sebuah belati yang tertancap di dinding gua. Samar-samar aku mendengar suara di kepalaku yang mengatakan kalau aku harus melakukannya. Tanpa sadar belati itu telah berpindah ke tanganku.

"Apa yang akan kamu lakukan, Raya?"

Satu goresan di telapak tanganku berhasil mengucur deras darah segar, cepat-cepat kuteteskan darahku ke atas buku.

Raya! Kamu gila?!" Jeremi berlutut lalu menggenggam tanganku kasar. Rasa nyeri dari luka itu menjalar hingga seluruh tubuhku, tidak masuk akal sekali.

Kepalaku yang tadinya baik-baik saja sekarang terasa sakit sekali seperti akan meremukkan tiap tulangku. Rasa sakitnya sudah diluar batas wajar, membuatku berteriak dan badanku terasa terbakar. Pandanganku memutih dan suara yang terakhir kali kudengar adalah Jeremi yang memanggil namaku.

avataravatar