1 The Prince

Perkenalkan, namaku Raya. Aku suka sekali minum susu pisang dan makan rumput laut. Tahun ini aku duduk di bangku kelas 11 SMA. Aku kira tahun ini akan membosankan tapi ternyata tidak.

Semua ini dimulai dari...

"Raya! Ayo cepat, kamu pasti akan tertinggal bus!" teriakan Mama membuatku semakin tergesa-gesa. Aku berlari ke dapur dan menyambar kotak bekal dan sandwich di atasnya.

"Mama, aku pergi dulu! Kakak, ayolah. Nanti saja berkabar dengan pacarmu!"

Mama dan Papa yang sedang sarapan terkekeh kecil saat mendengar sahutan dari kakak laki-lakiku. Kakak berjalan setengah berlari ke arah sandwich dan bekal makan siangnya. Ia berlarian dari satu tempat ke tempat lain.

"Iyaa, Rayaa. Sabar sedikit, lagipula sekolah kita searah!" jawabnya.

Perkenalkan, ini Kakakku namanya Dimas. Ia seorang atlet basket terkenal di kotaku, maklumi saja jika ia sangat narsis. Tapi memang aku akui, dia tampan.

"Mama, Papa. Kita berangkat!!"

Setelah berpamitan, kami berlari dengan potongan sandwich masih di mulut. Aku tidak sanggup memakan sarapanku jika lambungku bergoncang seperti ini. Memang hanya Kakak yang mempunyai bakat seperti itu. Kami datang di waktu yang tepat, bus kami pasti sudah berjalan jika Kakak tidak meloncat ke tengah jalan raya untuk menahan bus berjalan. Oke, Kakakku memang sudah tidak waras.

Aku bisa melihat supir bus itu menghela napas lega bercampur kesal. Aku hanya bisa menundukkan wajah karena malu dengan kelakuan Kakak. "Yahh, tempat duduknya penuh, mau tu—."

"Kakak ihh, jangan minta di turunkan hanya karena tidak dapat tempat duduk yang kosong." Selaku kesal, lalu berjalan sedikit untuk mencari gantungan tangan yang masih kosong, setidaknya aku tidak harus terhuyung-huyung hingga terjatuh nantinya.

"Raya, berikan tasmu, biar Kakak yang bawakan," dengan sangat senang hati aku menyerahkan tas beratku dalam pelukan Kakak. Biarkan saja, biar dia rasakan rasanya membawa tas berisi buku dan kamus setebal jenggot Dombledore.

Mataku menjelajahi lelaki di hadapanku, ia tidak sedang membawa barang berat, tidak juga ada luka di kaki dan tangannya. Aku mengedarkan pandangan lagi, akulah satu-satunya gadis yang berdiri dan bergelut dengan gonRayngan bus yang tiba-tiba.

Ku tepuk pelan bahu lelaki itu, "Permisi, bolehkah aku duduk di tempatmu?" ku kira ia akan tersenyum Raynggung dan membiarkanku duduk, tapi ternyata ia hanya mengernyitkan dahinya dan menguRaypkan,

"Tidak"

Arghh, aku ingin mengumpatinya. Mengapa ia tidak memiliki rasa kemanusiaan sebagai lelaki dan membiarkanku duduk di tempatnya.

"Maaf?" ulangku.

"Kamu tidak sedang sakit dan tidak membawa barang berat, jadi untuk apa aku mempersilahkan kursiku untukmu, nona?" jawabnya. Oke, kalau begitu pintanya.

Ku rebut tas milikku dan milik Kakak dari pelukannya, aku lemparkan ke dalam pangkuannya. Kulihat ia terkejut dengan apa yang baru saja aku lakukan. Mungkin baginya aku akan meminta maaf lalu malu. Tapi, aku tidak.

"Kalau begitu, tolong bawakan tasku yang berat itu, karena kamu terlihat tidak sakit dan tidak membawa barang berat, tuan?" sarkasku lalu mengalihkan pandanganku darinya.

Sepuluh menit berdiri di dalam bus adalah hal biasa, tapi jika di tatap terus menerus oleh lelaki itu bukanlah hal yang biasa. Saat bus berhenti, dengan cepat aku rebut tas ranselku dan meloncat turun dari sana. Benar-benar panas.

Aku memasuki kelas sedikit terburu-buru sehingga hampir menabrak kakak kelas yang sedang berjalan membawa hasil ujian prakteknya ke ruang guru yang ada di samping kelasku. Untung saja gurunya belum datang, setidaknya aku bisa menggunakan sisa waktunya untuk menghirup oksigen sebanyak mungkin.

"Raya, kelompok biologiku kekurangan satu anggota, mau gabung tidak?" aku mendongak dan tersenyum Raynggung.

"Maaf ya, Bay. Aku sudah dengan kelompok Eran." Bayu yang mendengarnya sedikit kecewa mungkin, bisa kulihat dari air mukanya yang sedikit masam. "Eran, tugas untuk minggu depan sudah siap? Mau mengerjakan bersama di rumahku?"

Teman sebangkuku, Eran namanya. Pintar sekali dengan pelajaran menghitung dan teori. Bukan hanya pintar, tapi juga sangat baik. Kalau aku menjadi laki-laki, dialah gadis pertama yang akan aku ajak berkenRayn.

"Ahh, kamu telat Rayaa, aku akan pergi ke rumah Sara nanti malam. Untuk tugas Biologi saja ayo mengerjakan di rumahmu."

Beberapa menit kemudian suara bel terdengar nyaring di telingaku, menyebalkan sekali Senin pagi ini. Baru saja berdiri, aku merasa pijakanku tidak benar-benar kuat. Seperti berdiri di atas air. Aku melihat botol air mineralku, airnya bergelonjak.

Gempa!

"Eran, Eran gempa!" seruku panik, mungkin teman-temanku baru sadar jika gempa sedang datang ke kota kami. Kami beraturan keluar kelas dengan mengamankan kepala kami.

Kulihat satu persatu penghuni kelas atas turun dan menuju ke tengah lapangan untuk menyelamatkan diri tentu saja.

"Berjalan yang tertib, jangan berdesakan dan panik! Segera ke lapangan utama!" teriakan guru olahraga kami seakan tenggelam di tengah kericuhan karena takut, beberapa siswa berteriak saat goncangan mulai terasa kencang dan aku menoleh ke arah belakang, gedung kami mulai runtuh seperti efek domino. Jantungku benar-benar sedang tidak karuan, kakiku lemas bukan main. Air mata di pelupuk mataku sudah tergenang, nyeri dan sesak di dadaku datang bersamaan dengan suara jeritan teman-teman yang terkubur hidup-hidup. Aku merasa akan menemui ajalku.

"Raya, Rayaa! Ayo berdiri!" suara itu seperti sebuah keajaiban bagiku. Kedua bahuku di cengkeramnya cukup kuat dan menuntunku setengah berlari—menghindari reruntuhan gedung yang tepat berada di belakang kami—hingga ke lapangan utama. Aku terduduk lemas dan hanya bisa mengatur napas agar asmaku tidak semakin parah.

Benar-benar tidak pernah terbayangkan olehku, reruntuhan itu seakan mengejarku.

"inhaler milikmu dimana, Ray? di dalam tas?" aku sempat terbatuk cukup keras karena debu dan degub jantungku. Untungnya, aku selalu menyimpan inhaler di saku jas sekolah.

"Tidak, aku membawanya." Dengan terbata-bata, aku mengambil alat bantuku dan menghirupnya cepat. Semakin tenang diriku, laki-laki yang membantuku itu duduk bersila di hadapanku. Aku mendongakkan kepalaku, ternyata ia adalah laki-laki yang ada di bus tadi, aku tidak tahu namanya. Tidak ada nama di seragamnya.

Seakan tahu kebingunganku, ia mengulurkan tangannya. "Jeremi. Salam kenal, Raya kan?" ujar Jeremi, ragu-ragu aku membalas uluran tangannya. Tangannya dingin. tidak seperti milik Kakak yang hangat.

"Ehm, kamu tidak terluka, kan?" aku mencoba membangun obrolan di antara kami, sudah tidak tahan dengan keheningan itu. Jeremi menggelengkan kepalanya.

Aku mengedarkan pandanganku, melihat bangunan sekolahku yang runtuh satu-persatu tanpa memberi jeda. Suara reruntuhan saling bersahutan, tidak ada jeda. "Apa malaikat sedang sibuk sekarang? Banyak dari kami yang tertinggal di dalam sana."

"Mungkin saja mereka ikut menangis melihat seorang gadis kecil menangisi kakak laki-lakinya, mungkin juga mereka sibuk mengantar roh teman-teman kita. Sebagian yang selamat adalah manusia yang diberkati malaikat, Ray" ujar Jeremi menelisik setiap gedung runtuh di hadapan kami.

"Apa maksudnya? Apa mereka yang meninggalkan kita sekarang—tidak terberkati malaikat?"

"Bukan begitu, tapi—ahh sudahlah."

"Bagaimana keadaan Mama dan Papa? Apakah mereka selamat?" gumamku tanpa mengharapkan jawaban apapun. "Bagaimana rumah kami? Apakah hancur seperti sekolahku?" bertubi-tubi pertanyaan itu membayangiku.

"Tidak ada yang tahu bagaimana keadaan dunia luar sekarang, Raya. Dari 1000 siswa yang hadir, kurang dari 100 siswa yang selamat." Kata Jeremi lesu. "Kamu tahu, Ray. beberapa menit yang lalu kita menghadapi apa?"

Aku menggeleng lesu dan balik menatapnya penuh tanya.

"Karena itulah, kita harus mencari tahu kebenarannya. Entah Tuhan ingin menghukum kita atau ini adalah ulah Iblis yang bermain-main dengan nyawa manusia"

"Apakah ini yang dinamakan hari akhir? Mengapa begitu cepat?"

"Tidak ada yang tahu kapan datangnya hari akhir, Raya" jawab Jeremi, tanpa mengindahkan air mataku yang turun kembali.

Aku mendongak, menatap langit abu yang seperti ingin menurunkan air matanya, mungkin turut bersedih dengan apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Aku tidak tahu berapa lama lagi gempa susulan akan datang. Banyak hal yang kupikirkan, mulai dari teman-teman yang terkubur hidup-hidup, bencana yang datang tiba-tiba tanpa tanda, keadaan Mama, Papa, dan Kak Dimas.

Aku menatap pergelangan tangan Jeremi yang terluka, tiba-tiba aku teringat ucapan Jeremi tadi. Bagaimana bisa Iblis menghabisi manusia dalam sekali serangan? Sekuat apa Iblis hingga hal itu terjadi hanya dalam hitungan detik.

Tangan Jeremi yang tadinya terluka cukup parah terlihat mulai membaik dan menutup tanpa ada bekas luka. Aku tidak percaya dengan yang barusan terjadi, pasti mataku yang salah.

"Uhuk uhuk—mau kemana?" aku melihat Jeremi yang berdiri.

"Mencari minum," jawabnya singkat lalu pergi begitu saja. Ia berjalan cukup cepat hingga tubuhnya semakin samar ditelan debu berterbangan.

Setelah kepergian Jeremi yang tiba-tiba, Kak Arin duduk di sampingku dan memberiku sebuah jaket, sepertinya itu miliknya. Aku hanya tersenyum dan segera mengenakannya. Angin dingin perlahan berhembus, menambah kesan suram dan gelap.

"Kakak baik-baik saja?" tanyaku pelan. Badanku terasa lemas sekali.

"Baik-baik saja, Ray. Minumlah air yang banyak jangan sampai kedinginan, terus bawa inhaler-mu" katanya sebelum pergi meninggalkanku sendirian.

Teman-temanku yang selamat hanya bisa dihitung jari dan aku tidak tau adakah yang masih selamat di dalam sana, sesak sekali rasanya membayangkan jika Jeremi tidak menyeretku, mungkin aku sudah tertimbun hidup-hidup.

Aku mendongakkan kepalaku lesu, melihat langit yang berwarna abu-abu pekat. Seperti akan turun hujan. Angin menerbangkan debu-debu halus, membuatku terbatuk-batuk. Aku merasa angin itu semakin mendekat dan kuat, seperti sebuah putaran angin. Sungguh besar. Membuat pedih mata dan dadaku sesak.

Satu persatu putaran angin itu datang dan meratakan seluruh tempat tanpa terkecuali, tanpa sisa. Sekarang yang tersisa hanyalah para manusia yang berserakan, banyak dari mereka yang terluka hingga tidak sanggup berdiri untuk menyelamatkan diri.

Tubuhku gemetaran setelah kedua putaran angin itu berubah menjadi dua wanita bersayap dengan paras tanpa celah. Wajahnya terlihat sangat familiar di mataku, seperti pernah bertemu sebelumnya.

Keduanya tidak mengatakan apapun, mengacuhkan jeritan penuh pilu yang meminta ampunan sebelum nyawanya dicabut. Tangisan dan teriakan mereka seakan menjadi backsound sebuah pemutaran film. Semuanya terjadi begitu saja, hingga hanya aku yang tersisa.

Wanita dengan selendang hijau itu mendekatiku membawa sebuah tongkat cristal yang digunakannya untuk menusuk jantung kami. Aku hanya bisa pasrah dan menutup mata. Saat siluetnya yang sedang mengacungkan tongkat berada tepat di hadapanku, beberapa detik kutunggu sebuah benda menusukku tapi tidak terjadi apa-apa.

"Tolong anda pergi dari hadapan saya, Tuan Muda!" Pinta wanita itu tanpa ekspresi.

"Tidak akan, sudah cukup kalian mengambil nyawa manusia-manusia tanpa dosa!" sentak Jeremi tanpa mengindahkan tatapan murka kedua wanita itu,ia menarik pedang yang entah datang dari mana.

"Turunkan senjata Anda, Tuan Muda. Saya tidak ingin melukai Anda. Saya harus segera menyelesaikan tugas ini!" ujar wanita itu tanpa menurunkan tongkatnya.

"Siapa yang memberi kalian perintah? Katakan!" ujar Jeremi mengacuhkan kata-kata Wanita berselendang itu. Aku menarik lengan jasnya, dan menggeleng. Jeremi hanya tersenyum dan mengangguk untuk menenangkanku.

"Kami mohon Tuan Muda. Jika ada satu saja manusia yang lolos, Kami akan di bakar hingga masa hidup kami habis!" ujar wanita dengan selendang perak itu.

"Dia bukan manusia dan kalian tidak berhak mengambil nyawanya!" sentak Jeremi.

"Apakah Raja Iblis yang mengirim kalian?!" sentak Jeremi pada dua wanita berselendang yang berjalan mundur menghindari serangan Jeremi yang membabi-buta.

Semua serangan Jeremi berhasil mereka hindari hingga akhirnya kedua wanita itu terpojok, "Kalian meminta ampun sekalipun tidak akan aku terima! Kalian yang telah berkhianat di hanguskan!"

"Anda harus tahu apa konsekuensi setelah membunuh kami, Tuan Muda." tepat setelah kata terakhir wanita itu, Jeremi mengeluarkan semacam api biru dari pedangnya lalu menebasnya hingga menghanguskan tubuh kedua wanita itu hingga hanya menyisakan abu.

Jeremi berbalik dan pedang yang tadinya ia genggam hilang. Ia berjalan padaku.

"Raya—" Jeremi berlutut dan hendak menyentuh tanganku. Tapi aku mundur dengan cepat, isak tangisku semakin keras, semuanya mengerikan. Aku melihat dengan jelas Jeremi yang membunuh kedua makhluk itu tanpa belas kasihan.

"Raya, tolong dengarkan aku dulu" kata Jeremi lembut.

Aku menggeleng kuat dan berlari ke arah gerbang sekolah yang teronggok seperti rongsokan tidak berharga. Berlarian seperti orang gila cukup membuatku lelah dan sesak, aku berhenti dan tersujud menahan sesak yang semakin terasa sakit di dadaku.

Aku harus pergi ke sekolah Kakak, apapun yang terjadi. Semua ini terlalu gila untuk aku cerna sendiri.

avataravatar
Next chapter