2 Raya Believes

"Kakak!"

Saat akan melangkah ke dalam gedung, Jeremi menarik lenganku sehingga membuatku dalam dekapannya. Ia mendekapku sangat erat hingga terasa seperti berusaha meremukkan setiap tulangku. Aku sedikit meringis dibuatnya.

"Maaf," setelah itu ia mengendurkan dekapannya dan menutup kedua mataku menggunakan satu tangannya. Ia seperti merapalkan sebuah mantra dengan bahasa yang tidak aku ketahui.

Entah apa yang tengah ia lakukan, tapi aku merasa rasa hangat di sekujur tubuhku. Setelahnya ia melepaskan dekapannya dan menggenggam tanganku. Aku merasa ia sedang melindungiku, entah dari apa.

"Ayo masuk, dan selamatkan kakakmu" gumamnya yang entah ditujukan untuk siapa.

Kami melangkah masuk dengan ragu-ragu, tangan kanan Jeremi menahan tubuhku saat reruntuhan terjatuh dari atas dan hampir menimbunku. Saat berhasil masuk lebih dalam, keadaan gedung sekolahnya benar-benar rata oleh pasir dan banyak tubuh berserakan serta darah menghiasi seluruh permukaan lapangan. Aku berpencar dengan Jeremi dan berusaha menemukan Kakak tapi tak menemukannya dimanapun. Tidak mungkin ia bolos hari ini, karena ia ada turnamen di gedung sekolahnya.

Kami bertemu di depan sebuah patung,

"kalau ia tidak ada disini, aku tidak tahu dimana lagi mencarinya"

Aku terduduk dan terisak di depan Jeremi yang mengusap rambutku pelan. Saat aku mulai tenang, kutegakkan tubuhku dan menghapus sisa air mata di pipiku. Kuraih pergelangan tangan Jeremi,

"Tolong bantu aku menemukan Kakak" pintaku pelan tanpa sadar tetes demi tetes air mata turun begitu saja membasahi tangan kami.

Jeremi menarikku dan mendekapku lembut, aku merasakan kehangatan dari tubuhnya. Tangisku kembali pecah dan membuat dadaku sesak.

"Tenang Raya, kita pasti menemukan Dimas. Sekarang kamu harus kuat, jangan menangis lagi. Kita harus kuat agar bisa menghentikan semua ini" ujar Jeremi pelan.

Kepalaku menengadah, berusaha mencari maksud dari ucapan Jeremi.

"Kemarilah," pinta Jeremi, ia meraih pergelangan tanganku dan membuatku menyentuh permukaan patung. Ia menumpuk telapak tangannya di atasku.

Mulut Jeremi terlihat seperti merapalkan sesuatu, aku merasakan sesuatu yang seakan menarik seluruh tenagaku kedalam patung. Sebersit cahaya datang dari tangan kami. Aku tidak lagi merasakan permukaan kasar patung, tapi permukaan kulit berbulu lembut.

Aku menarik tangan kaget melihat apa yang ada di bawah telapak tanganku. Jeremi mengambilnya dan membuka lembar demi lembar dengan raut wajah yang serius.

"Apa itu?" tanyaku pada Jeremi yang semakin serius membaca bukunya.

"Buku ini adalah petunjuk kita menemukan Dimas dan cara menghentikan kehancuran bumi." Jawabnya.

Aku menggeleng pelan, ada yang tidak beres dengan ini semua. Mengapa Jeremi sedari tadi menyebutkan tentang menghentikan kehancuran?

"Apa maksudmu?"

"Kamu dan Dimas adalah keturunan terkuat dari Naga Suci. Dan hanya kalian yang bisa menyelamatkan bumi dari kehancuran!" seru Jeremi.

Apa-apaan ini?!

—————————

Kami berjalan semakin jauh dari sekolah, aku tidak tahu Jeremi ingin membawaku kemana. Sedari tadi Jeremi mengenggam tanganku, sangat erat hingga membuat jari-jariku memerah.

"Jeremi," panggilku, ia tak kunjung menoleh.

"Jeremi!" kali ini aku berhenti melangkah dan menyentuh tangannya yang semakin erat menggenggam.

"Kenapa?"

"Sakit!" ujarku seraya menunjuk tangan kami yang bertautan. Seakan sadar jika ia telah melukaiku, Jeremi dengan cepat mengendurkan tautannya lalu berlutut di hadapanku.

"Kenapa kamu berlutut? Berdirilah, Jeremi!" ujarku panik, kulihat ia tersenyum tipis lalu mencium jari jemariku dengan lembut, ciumannya menjalarkan rasa hangat keseluruh tubuh. Membuatku sedikit nyaman berada di sekitarnya.

"Kamu ini apa sebenarnya, Jeremi?" tanyaku seakan menerawang kira-kira makhluk apakah dia, yang berhasil membinasakan dua makhluk tanpa belas kasih itu dalam waktu singkat.

"Kamu pasti sangat penasaran dengan hal itu. Aku akan menjelaskan dengan pelan agar kamu bisa mencernanya. Sebelum itu, lebih baik kita bergerak. Karena utusan Raja iblis pasti mengetahui masalah di sekolah tadi" ujar Jeremi seraya menggenggam lembut jari jemariku dan berjalan sedikit lebih pelan dari sebelumnya.

Aku hanya mengangguk dan mengikuti kemanapun ia akan membawaku, setiap mata memandang yang kulihat hanyalah gedung-gedung yang sudah roboh, mobil-mobil yang tertimbun oleh reruntuhan bangunan. Saat melihat mayat-mayat yang berserakan aku hanya bisa mengalihkan pandangan. Darah itu berceceran dimana-mana, sepertinya itu ulah makhluk yang sejenis dengan yang Jeremi bunuh tadi.

Tiba-tiba terdengar semacam sirine, aku tahu itu bukan sirine pemadam kebakaran, polisi, ambulance apalagi. Sirine kali ini terdengar sangat mencekam, seperti tiupan terompet yang berasal dari langit. Sangat kencang dan mengintimidasi kami berdua.

"Itu suara apa?"

Jeremi diam, aku terus menatap punggung tegapnya. "Suara terompet milik Kerajaan Iblis," ia masih belum melanjutkan ucapannya.

"lalu?"

"Mereka sudah turun ke bumi" ujarnya.

Benar yang dikatakan Jeremi, dua detik kemudian selusin pasukan bertudung merah hitam itu turun dari langit dengan sayap tak terlihatnya. Saat mereka turun, yang pertama menyapa indra mereka adalah kehadiran kami. Sudah jelas apa yang akan terjadi selanjutnya.

Kami bertarung, walaupun dengan kekuatan Jeremi yang kurasa sangat menakjubkan itu, tapi mereka tidak semudah itu untuk dikalahkan. Aku yang harus selalu disampingnya pun beberapa kali terkena ujung bilah pedang mereka. Aku sih tidak ada luka serius, tapi Jeremi yang kewalahan itu justru membuatnya terlihat payah melawan selusin prajurit berpedang yang kemampuannya standar standar saja.

Berbagai macam coretan indah yang mengeluarkan darah di tubuh Jeremi membuatnya terlihat mengenaskan.

"Sudah cukup, kalian membuatku muak!" serunya pada tiga orang prajurit yang tersisa dan siap sedia untuk membunuhku.

"Sudah kami katakan, serahkan saja Si Keturunan Naga itu pada kami. Kami akan melepaskanmu!"

"Lancang sekali bicaramu padaku! Kamu bodoh tidak bisa mengenaliku?" Jeremi semakin murka di buatnya. Aku yang terlihat seperti kambing conge itu hanya bisa menelan ludah dan bolak-balik menatap Jeremi dan ketiga prajurit yang baru sadar telah berhadapan dengan siapa.

Hawa panas dan bau khas api tersapa oleh hidungku, tidak salah lagi Jeremi mengeluarkan Api biru miliknya.

Sepertinya nasib kalian akan sama seperti kedua wanita itu, malang sekali! - batinku

Aku hanya menggeleng pelan dan menatap sendu ke arah prajurit yang siap kabur untuk menyelamatkan diri dari murka Jeremi. Belum sempat aku berkedip, ketiga prajurit itu sudah hangus terbakar dan menjadi abu tepat di depan mataku.

"Astaga, Jeremi. Tidak bisakah sedikit santai? Lihatlah sekitar, semuanya ikut tertebas oleh pedangmu" ujarku seraya menggelengkan kepala.

Jeremi yang tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan, terdiam dan menatapku dari ujung rambut hingga kaki.

"Kenapa menatapku seperti itu?"

Jeremi menggeleng, "Kamu tidak takut lagi? Kukira kamu akan lari seperti tadi"

Astaga kejadian tadi memang memalukan, mengapa aku harus berlari sih? Seperti film Bollywood saja.

"Ahh, itu. Aku akan mempercayakan nyawaku padamu, dilihat dari beberapa kali kamu sudah menyelamatkanku. Aku yakin kamu memang berniat menyelamatkan nyawaku dengan tulus."

"Kamu yakin? Kita kan tidak pernah bertemu sebelumnya, bagaimana jika aku ternyata punya niat jahat padamu?" tanya Jeremi.

Aku mengendikkan bahu, "Aku percaya padamu, kalau memang kamu berniat jahat padaku. Akan aku gundul rambutmu yang sepertinya sangat kamu rawat itu"

Jeremi tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku, lalu ia mengelus rambut hitam miliknya. Astaga baru kali ini aku melihat senyumnya yang begitu lebar, kenapa aku baru sadar jika ia sangat tampan?

"Astagaa, apa yang aku pikirkann?"

avataravatar
Next chapter