webnovel

Marah!

Dengan sangat hati-hati Odie melangkah masuk ke dalam kamar itu. Ia berharap tidak melihat sesuatu yang akan membuatnya pingsan. Tetapi kenyataanya ia harus melihat Diego yang terbaring di ranjang dalam posisi neked. Ada gelenyar aneh yang menjalar di sekujur tubuhnya, rasanya matanya pun memanas menahan sesuatu yang mencoba menerobos untuk keluar. Meski pada akhirnya pertahannya kalah, sebulir air keluar dari ujung matanya.

"Maaf, jika aku tak bisa menjalankan tugasku sebagai seorang istri dengan baik," ucap Odie lirih.

Odie mendekat ke arah suaminya yang masih terlelap, ia sama sekali tak tahu kenyataan yang terjadi. Diego memang lupa tak mengenakan pakaiannya kembali, setelah kepergian perempuan itu Diego minum hingga mabuk berat.

Odie mengambil pakaian Diego yang berserakan di lantai, dengan air mata yang semakin deras ia membantu Bos sekaligus suaminya itu memakai kembali pakaiannya. Setelah selesai, Odie menghubungi supir dan beberapa anak buah Diego yang sudah berada di lokasi. Mereka pun mengikuti perintah Odie, dengan sangat hati-hati mereka memapah sang bos besar menuju mobil.

Odie memilih duduk di samping supir, sementara salah satu anak buah Diego membawa motor yang tadi di kendarai Odie. Selama perjalanan suasana mobil terasa mencekam, raut wajah wanita yang kini menyandang sebagai nyonya Jouller itu tak menunjukan raut yang tak bersahabat. Yang ada raut kemarahan, supir hanya bisa diam dan fokus ke arah jalanan. Ia tahu kesalahannya pasti membuat marah Bodyguard cantik itu. Semua anak buah Diego pun sudah siap dengan kemarahan nyonya mereka.

Di rumah, pelayan yang di perintah Diego di paksa keluar setelah ada kabar jika bos mereka berhasil kabur. Semua pelayan dan anak buah Diego yang sudah di beri perintah untuk menjaga agar Diego tak kabur terus gelisah, mereka merasa bersalh karena tidak bisa mencegah bos mereka.

"Ya Tuhan ... bagaimana ini? Nyonya Odie pasti sangat marah, kenapa kita sampai ceroboh, tidak bisa menyadari kepergian Tuan? Dan kau! Kenapa kau mau membantu Tuan kabur!" ucap keprla pelayan sambil melemparkan tatapan yang tajam ke arah pelayan yang membantu Diegl kabur.

"Maaf ... Tuan mengancamku. Dia bilang jika aku menolak membantunya, aku akan di pecat," jelas pelayan itu mencoba membela diri.

"Tapi srharusnya ... ."

Ucapan kepala pelayan terhenti saat mobil memasuki di pelataran mansion Jouller. Odie keluar dan berlalu begitu saja, ia melewati barisan pelayan di depan pintu utama yang sedang ketakutan karena gagal dalam mengemban perintah Odie. Tubuh Diego di papah masuk menuju kamar oleh anak buahnya, dengan susah payah mereka membaringkan bos besar di ranjang.

Odie mengambil pakaian baru di lemari untuk mengganti pakaian Diego yang sudah tak layak pakai menurutnya. Banyak cap bibir dengan warna merah merona di kemeja putih itu, membuat kemarahan Odie tak kunjung reda. Dengan penuh emosi ia melemparkan pakaian kotor itu ke tempat sampah.

****

Angin pagi mulai berhembus membelai wajah cantik itu, sinar sang mentari yang sudah siap memberi kehangatan pun menerpa wajah Odie yang semalaman tak tidur. Ia memilih duduk di balkon untuk meredakan kemarahannya. Entah apa yang membuatnya marah? Bukankah ia sendiri yang selalu menghindari Diego, lalu kenapa semalam ia merasa marah memergoki sang suami berada di hotel.

Diego mengeliat, merenggangakan otot-otot tubuhnya. Matanya terbuka lebar saat menyadari jika ia sudah berada di kamarnya, seketika itu Diego langsung terduduk mengamati pakaiannya yang juga sudah berganti. Matanya lebih melebar saat melihat sang bodyguard sedang berdiri dengan tatapan tak bersahabat dengannya.

"Odie ... maaf," kata itu yang mampu di ucapkan Diego.

Tak ada jawaban dari Odie, ia hanya melempar pakaian kerja sang suami ke ranjang. Diego segera bergegas masuk ke kamar mandi, ia tahu jika istri sekaligus bodyguadrnya itu dalam mode marah. Selesai mandi Diego memakai pakiannya seperti biasa, ia berjalan ke arah Odie. Dengan senyum Diego menutupi rasa bersalahnya, ua memberikan dasi pada istrinya itu. Odie menerima dasi itu, seperti biasa ia memasangkan dasi di leher sang suami. Namun, kali ini tenagannya sedikit bertambah ia hampir membuat Diego kehabisan nafas.

"Odie ... kau mau membuatku mati!" bentak Diego yang benar-benar kehabisan nafas karena ulah istrinya.

"Iya!" jawab Odie dengan nada meninggi sebelum pergi meninggalkan kamar.

Diego segera melonggarkan dasi yang baru saja Odie pasang. Dia menghirup oksigen sebanyak-banyaknya setelah Odie keluar kamar. Diego menepuk keningnya, ia lupa jika semalam ia telah melanggar peraturan Odie.

"Astaga ... pantas saja dia mau membunuhku, pasti dia yang membawaku pulang dari hotel," gumam Diego.

Diego turun ke ruang makan, pandangannya menyapu sekeliling untuk mencari keberadaan Odie. Namu, tak ada tanda-tanda istrinya itu di sana. Diego menyantap makanan yang tersaji di meja, akan tetapi ia merasa ada yang kurang. Biasanya Odie selalu ada di sampingnya untuk menyiapkan sarapannya. Meski baru satu bulan bersama, tapi Diego sudah terbiasa degan kehadiran Odie. Awalnya hanya ingin mengerjai wanita itu agar mundur dari tantangan, akan tetapi semua malah menjebaknya. Makanan yang seharusnya menggugah selera berubah menjadi tak ingin Diego sentuh. Ia segera bergegas menuju mobil, lagi-lagi Odie tak ada dalam mobil. Wanita itu sudah siap dengan motor sport milik Diego. Dengan isyarat darinya supir mengemudikan mobil menuju kantor Jouller Enterprise.

Sepanjang perjalanan Diego makin tak karuan, sesampainya di kantor ia langsung menghampiri Odie. Namun, Odie malah mengusirnya. Terpaksa Diego menurut agar suasna tak menjadi lebih parah.

Hampir seharian ini Diego tak konsentrasi dalam memgerjakan berkas-berkas yang menumpuk di mejanya. Yang da dalam kepalany hanya Odie yang sedang marah, dan bagaimana membuat wanita itu mau memaafkannya? Sampai jam makan siang Diego turun ke bawah menuju ruangan sang bodyguard. Odie masih setia di depan layar laptopnya.

"Aku ingin makan siang di restauran di ujung jalan sana," beritahu Diego, berharap Odie mau menjawabnya.

"Pergilah ... Boy akan mengawalmu," jawaban yang tak ingin Diego dengar.

"Kau adalah istriku!" Diego sedikit menaikan nada bicaranya.

"Anda lupa? Ini kantor Tuan, jadi aku hanya bodyguardmu. Dan ya, kemarin saja kau bisa pergi tanpa aku?" kali ini jawaban Odie bagai petir yang tiba-tiba menyambar Diego.

Tak ada suara lagi dari mulut Diego, nafsu makannya kembali hilang. Padahal sedari pagi ia belum makan apapun, ia memilih kbali ke ruangannya. Diego mondar-mandir memikirkan cara agar mendapatkan maaf dari Odie, tetapi hingga jam pulang kantor tiba ia masih belum menemukan ide.

"Dasar bodoh!" Diego meruntuki kebodohannya.

Saat Diego keluar dari kantor Odie sudah siap di motornya. Ia hanya bis pasrah dengan kemarahan sang istri. Sesampainya di rumah, Odie langsung memasuki kamar untuk mengambil pakaian, saat akan keluar kamar lengannya di tahan Diego.

"Aku ingin bicara," suara Diego terdengar penuh harap.

Namun, Odie melepaskan lengannya dari cengkraman Diego. Ia berlalu begitu saja meninggalakan Diego. Lelaki itu hanya bisa menrik napas sedalam mungkin, ia tak tahu harus bagaimana lagi untuk meminta maaf pada Odie.

Di kamarnya dulu, Odie menutup pintu dengan cepat dan menguncinya. Entah apa yang membuatnya semarah ini, hingga ia tak mau berhadapan dengan Diego. Dadanya masih teras sakit jika mengingat saat melihat sang suami sedang terbaring tanpa pakaian. Bayangan Diego mencumbu wanita yang menemaninya malam itu membuat Odie kembali menitikan air mata.

"Apa ini? Apa kau sudah tak waras Odie?" gumamnya.

Odie segera mengganti pakaiannya, setelah berganti ia merebahkan diri di ranjang. Ia mencoba memejamkan mata, tapi ane padahal dari kemarin ia tak tidur, tetai matanya masih belum mau terpejam.

Di kamar utama, Diego pun sama. Ia tak bisa memejamkan mata. Perutnya sudah memberi isyarat untuk di isi. Namun, ia mengabaikannya. Yang ia inginkan saat ini adalah maaf dari Odie. Diego mengambil ponselnya, ia sengaja mengirimkan chat ke Odie. Ia pikir dengan itu Odie akan marah padanya, tetapi hingga ratusn chat yang ia kirim tak satupun di baca Odie.

"Aku lapar, dari pagi aku belum makan. Jika kau masih marah, kau akan melihatku mati detik ini juga perutku sakit, Odie," tulis Diego di chat terakhir yang ia kirim. Karena memang perutnya sudah terasa sakit.

Bersambung....

Next chapter