12 Sebuah kesepakatan

Sesampainya di sebuah ruangan kamar yang begitu mewah dengan segala desain yang menggiurkan ketika Khanza melihat sekeliling. Angin bersemilir menyeruak melalui jendela yang sudah terbuka, seolah mengajak sebuah tirai yang menjuntai rapi, membuat suasana di kamar ini semakin sejuk.

Khanza menatap wajah pak Gibran yang mulai gusar, tatapannya menyiratkan bahwa dia mulai terbujuk rayuan Khanza namun berusaha tetap menahan diri. Berkali-kali dia mencoba menahan nafasnya untuk tidak menderu, itu membuat Khanza semakin merasa menuju puncak kemenangan.

"Mas, aku mau turun. Mau sampai kapan kau terus menggendong tubuh ku ini? Apakah tidak lelah?" Ucap Khanza.

"Tubuh mu yang mungil ini tidak seberapa dalam dekapan ku, hahaha. Aku jadi ingin terus menggendong mu,"

Khanza terdiam menatap wajah pak Gibran sejenak. Membuat pak Gibran terhenti dengan bergelak tawa sejak tadi.

"Mas, ayo lakukan sekarang."

"Khanza, kenapa kau begitu memaksaku melakukannya? Apa kau tidak takut? Atau kau sudah..."

Khanza menundukkan wajah ketika Pak Gibran mencoba menahannya kembali. Wajah Khanza berubah seketika dengan mengepalkan kedua tangannya.

"Khanza, jujur padaku. Aku tidak akan marah, jika kau mengatakannya dengan jujur. Siapa dia?"

"Ya, aku sudah ternoda. Kehormatan ku sudah hancur, aku sudah melakukannya berkali-kali dengan mantan ku Jordy. Apa kau puas? Atau kau mulai merasa jijik saat ini melihatku."

Pak Gibran tak kuasa menahan diri melihat Khanza berkata demikian, wajah Khanza terlihat merah padam. Kemudian pak Gibran memeluk erat tubuh mungil gadis yang kini berdiri di hadapannya, meski Khanza terlihat berpura-pura tegar tapi ia tetap terlihat gadis yang lemah.

"Maafkan aku Khanza." Ucap pak Gibran dengan semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Khanza.

"Tidak apa mas, aku memang gadis rendahan. Sejak awal aku sudah sadar diri mas, aku gadis bodoh dan tidak ada artinya di mata laki-laki lain. Aku gadis dari keluarga miskin yang serba kekurangan."

"Tidak Khanza, kau begitu menakjubkan. Kau gadis yang patut di hargai dan di jaga, aku akan melindungimu mulai detik ini. Aku akan selalu bersama mu, jangan pernah merasa kau gadis yang tidak pantas untuk dimiliki dan di cintai."

Kemudian Khanza kembali menciumi wajah sosok laki-laki yang kini membuatnya melayang hingga ke langit ke tujuh, kini ciuman Khanza sudah mendarat tepat di bibir pak Gibran. Tanpa menunggu aba-aba lagi, pak Gibran membalas ciuman Khanza sedikit liar dan semakin berani tanpa ragu lagi seperti awal tiba di villa.

Kini mereka semakin menggila saling memberikan sentuhan-sentuhan nakal satu sama lain. Darah Khanza terasa mendesir hingga mengalir deras menuju ubun-ubunnya. Membuatnya merasakan sensasi berbeda dari sentuhan Jordy sebelumnya, Khanza sedikit gemetaran bagai tersengat listrik.

"Mas, tunggu sebentar." Ucap Khanza menahan perlakuan pak Gibran yang sejak tadi membuatnya melayang di atas awan.

"Eh, ada apa Khanza? Maafkan aku, jika aku terlalu berani melewati batasku."

"Tidak mas, aku hanya ingin membuat kesepakatan dengan mu."

"Kesepakatan apa Khanza?"

"Aku tidak mau hamil mas,"

Tampak pak Gibran menghela nafas panjang. Wajahnya berubah pucat, Ia menjambak lembut rambut di kepalanya kemudian menyentuh kedua pipi Khanza untuk di tengadahkan padanya. Khanza menatapnya dengan lugu, bibir ranumnya masih bisa menyimpulkan senyuman manis.

"Apa aku terlihat seperti gigolo Khanza?"

Kedua mata Khanza melotot seketika karena terkejut akan ucapan pak Gibran. Dia tidak menyangka Pak Gibran akan menganggap dirinya yang begitu sempurna seperti itu. Khanza menepis kedua tangan kekasih gelapnya itu.

"Kau merasa seperti itu mas? Lalu bagaimana dengan status ku saat ini mas? Bukan kah aku terlihat seperti seorang Pela**r? Yang berani menggila dan menggoda laki-laki yang sudah beristri sepertimu," Jawabnya dengan nada tegas.

Tanpa menjawabnya lagi pak Gibran kembali memeluk Khanza dan menciumi bibirnya tanpa henti hingga melucuti segala pakaian Khanza begitu saja. Mereka semakin menggila ketika sudah berada di atas ranjang berdua.

Kini kejantanan pak Gibran membuat Khanza merasakan keindahan dan kenikmatan yang tiada tara meski sebelumnya dia sudah pernah melakukannya berkali-kali dengan mantan kekasihnya, Jordy. Peluh dan setiap erangan mereka membaur menjadi satu seakan mereka lupa berada dalam ikatan yang terlarang.

Setiap desah manja Khanza menikmati setiap deru nafas yang berirama senada dengan erangan nya, membuat pak Gibran kian menjadi-jadi. Pak Gibran mulai mempercepat aktifitasnya yang sejak tadi bermain dengan tubuh molek gadis remaja yang kini membuatnya mulai tergila-gila.

Pak Gibran mengerang dengan teriakan panjang, tanda dia mencapai puncak kenikmatannya. Tubuhnya yang tegap ambruk di sisi tubuh khanza yang lebih dulu terkulai lemas dengan nafas terengah-engah. Pak Gibran tampak masih memejamkan kedua mata nya, menikmati sisa-sisa puncaknya mencapai klimak yang maksimal.

Kemudian Khanza tersenyum hangat melihat pak Gibran terbaring tanpa sehelai benang pun di sisi nya. Lalu Khanza mencoba menindih setengah tubuh pak Gibran hingga wajah mereka begitu dekat kembali. Pak Gibran melempar senyum dengan tersipu malu saat Khanza menatapnya.

"Maafkan aku, kau pasti merasa jijik dan takut setelah ini pada ku Khanza." Ujar pak Gibran sembari menutup matanya dengan lengan kirinya. Khanza mencoba menyentuh lengan itu lalu menggesernya hingga kedua mata pak Gibran terbuka menatap Khanza yang berada di atasnya.

"Aku justru mulai candu dengan permainanmu tadi mas, aku merasakan hal yang berbeda dari sebelumnya. Bolehnya aku mengulangnya sekali lagi?"

"Apa kau sungguh-sungguh?" Tanya pak Khanza dengan wajahnya yang bersemu merah di balik kulitnya yang putih bersih nan mulus.

"Bukan hanya hari ini mas, aku ingin besok, besoknya lagi, besoknya terus sampai... Entah kapan itu. Aku tidak tahu mas,"

"Kau, sungguh gila Khanza."

"Aku gila karena mu, dan hari ini kau semakin membuatku gila mas. Bagaimana jika setelah ini aku semakin menyukaimu dan jatuh hati pada mu?"

Pak Gibran terdiam, kemudian menarik tubuh Khanza dalam dekapan hangat pak Gibran. Mereka saling memeluk, merasakan kehangatan dari tubuh mereka tanpa penghalang apapun.

"Sejak hadirmu, aku tidak bisa berpikir fokus lagi. Entah harus bagaimana dan apa, yang ku ingat hanya bagaimana hubungan ini akan berlanjut, bagaimana setelah ini kau dan aku jika aku mulai mencintaimu. Bahkan menjalani hubungan ini aku tidak tahu apakah aku sudah jatuh cinta padamu atau hanya sekedar mengagumi mu. Aku hampir gila memikirkannya Khanza, aku hampir gila."

"Aku ingin selamanya memelukmu seperti ini mas, aku ingin selalu berada di dekatmu seperti ini." Jawab Khanza sembari memeluk tubuh pak Gibran semakin erat.

Pak Gibran hanya diam, dengan memberikan satu kecupan hangat di kening Khanza.

avataravatar
Next chapter