15 Mulai candu

Bagi seorang murid sekolahan, hari senin adalah hari yang paling menyebalkan dengan segala aktifitas dan pelajaran yang cukup menguras otak. Tapi tidak dengan Khanza, pagi ini dia lebih semangat setelah hari weekend kemarin. Dalam hati dan pikirannya hanya satu, bertemu kekasihnya yang membuatnya menggila saat kemarin.

"Pagi.."

"Hai.."

"Halo, selamat pagi."

Hampir semua murid yang Khanza temui di sekolah dia sapa dengan ramah dan senyuman ceria. Beberapa murid lainnya tampak kebingungan akan sikap Khanza pagi ini. Dia berjalan dengan langkah manja seolah melenggokkan tubuh nya yang sintal hingga ia di kejutkan oleh sahabatnya, Chika.

"Dorrr!!!"

"Ommo," Khanza sedikit memekik dengan kata yang membuatnya semakin di tertawakan oleh sahabatnya.

"Chikaaa, gangguin orang lagi senang saja." Jawab nya kemudian dengan mencubit pipi Chika.

"Ciye, ketiban bulan niye. Bagi dong bahagianya, jangan di embat sendiri."

"Tepatnya lagi ketiban cowok mapan. Hihihi,"

"Mulai deh, kalau urusan yang itu aku angkat tangan."

"Aaah, jangan begitu dong. Jika bukan padamu, lalu pada siapa aku akan mengadu?"

"Cih, sejak kapan bahasamu sok manis begitu Khanza. Ingat, hanya kepada Tuhan kau bisa mengadu."

"Te-rimakasih..." Jawab Khanza dengan membungkukkan setengah badannya untuk menggoda Chika.

"Iiih, dasar kamu ya. Menyebalkan,"

Khanza berlari di kejar oleh Chika yang merasa di godanya setiap kali ia memberikan nasehat pada Khanza. Dengan terus berlari menapaki lorong sekolahan hingga hendak melewati ruang kantor guru di sekolah. Tubuh Khanza terhenti dan membuatnya sedikit terhuyung karena menabrak seseorang.

"Aduh, maaf. Maafkan aku, aku tidak sengaja." Ucap Khanza dengan terus menganggukkan kepala nya tanpa melihat siapa yang telah di tubruknya.

"Kau tidak apa-apa, Khanza?"

"E,eh.. Mas, eh p-a-k Gib-ran???"

Khanza hampir saja keceplosan di balik ekspresi terkejutnya saat melihat sosok yang di tubruknya tadi adalah pak Gibran.

"Ada apa sampai kau berlarian seperti itu hah?" Tanya pak Gibran lagi setelah melihat Khanza terengah-engah.

"Kena lu, Za." Ujar Chika dari arah belakang.

"Ah, eh ini. Si Chika mas, eh pak. Dia mengejarku, memaksaku untuk memberinya contekan PR yang bapak kasih minggu lalu."

"Yeee... Apaan sih, Za. Enggak pak, enggak. Bukan begitu, hari ini dia menggodaku. Khanza aneh, sejak tadi dia senyum-senyum sendiri jadi aku menasehatinya." Jawab Chika dengan sedikit gugup.

Pak Gibran tersenyum menggelengkan kepalanya melihat tingkah mereka. Chika tercengang sesaat ketika melihat pak Gibran tersenyum begitu manis.

"Sudah, masuk kelas. Sebentar lagi sudah jam masuk pelajaran pertama." Titah pak Gibran setelah melirik jam rolex yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Baik, pak. Ayo, Za." Jawab Chika yang kemudian menarik tangan Khanza untuk segera masuk kelas.

"Cih, apaan itu tadi? Dia bersikap biasa saja setelah kejadian kemarin." Ujar Khanza dengan lirih menggerutu dalam setiap langkahnya.

"Kejadian apa, Za?" Tanya Chika menghentikan langkahnya.

"Ah, ehm.. Gapapa kok, hehe."

"Za," Panggil Chika kembali.

"Hem.. Apaan?"

"Kamu gak lagi menyembunyikan sesuatu dari ku kan?"

"Oh, hahaha. Enggak kok, selama ini aku kan selalu jujur padamu sayang ku."

"Ih. Jangan genit deh Za."

Chika selalu merasa risih setiap kali melihat sahabatnya menggodanya demikian. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia lontarkan pada sahabatnya itu. Namun diurungkannya oleh Chika, ia merasa belum waktunya. Meski beberapa hal yang Chika curigai kian tampak semakin jelas.

🍁🍁🍁

Malam hari, Khanza berkutat dengan sebuah pulpen dan buku. Dia sedang menyelesaikan beberala tugas rumah yang di berikan oleh guru di sekolah. Ponselnya lalu bergetar, dia hanya meliriknya sesaat dan mengabaikannya lagi.

Drrrttt... Drrttt...

Ponselnya kembali bergetar. Ia meraihnya dengan cepat setelah menyelesaikan semua tugas sekolahnya. Dilihatnya sebuah pesan singkat dari pak Gibran, segera Khanza membukanya.

Aku menunggumu di tempat biasa. Bisakah keluar sebentar malam ini?

"Heh, akhirnya kau tidak tahan dan mengajakku bertemu lebih dulu. Setelah seharian di sekolah tadi aku mengabaikan mu, Mas." Ucap Khanza merasa menang.

Kemudian dia merapikan segala alat tulisnya tadi atas meja belajarnya, ia hanya meraih dan mengenakan jaket sweater warna pink muda untuk menutupi tubuhnya yang hanya mengenakan baju tank**top berwarna hitam di padukan celana kain pendek menutupi sampai pahanya saja. Itu setelan pakaian yang biasa ia kenakan saat santai dirumah.

Tanpa berlama-lama di depan cermin yang hanya menguncir rambutnya, lalu menyemprotkan sedikit spray cologne di bagian lehernya, dengan tergesa-gesa dia hendak keluar kamar.

"Eh, mau kemana lu?" Tiba-tiba kakak perempuan Khanza yang sedang asyik di depan tv menyapanya.

"Ke minimart sebentar."

"Tumben?" Tanya nya lagi dengan menyembikkan bibir bawahnya.

"Lagi pengen ngemil sekaligus cari angin, mau titip sesuatu gak? Lagi buru-buru nih cepetan."

"Emang ada uang?"

"Yeee.. Ngeremehin. Ya udah nanti Khanza belikan kakak cemilan juga," Dengan terburu-buru Khanza berlarian keluar rumah, sebelum kedua orang tuanya tiba dirumah sepulang dari bekerja.

Tiba di depan minimarket, Khanza sudah memperhatikan dimana pak Gibran memarkir mobil dan menunggunya. Tempatnya sedikit jauh dan sepi, dengan cepat dia berlari lalu memasuki mobil pak Gibran.

"Hah, hah.. Capek!." Tampak Khanza sedikit ngos-ngosan akibat berlarian saja sejak tadi. Dalam hatinya masih sedikit kesal namun tak bisa di pungkiri jika dia senang bisa bertemu kembali dengan pak Gibran.

"Kita cari tempat yang sedikit lebih sepi ya, agar tidak mengundang kecurigaan dari para pengunjung yang lewat jalan ini."

"Baiklah, aku mengerti maksudmu mas." Jawab Khanza menanggapi ucapan pak Gibran.

"Jangan GR dulu, pikiran mu itu mulai nakal ya." Ujar pak Gibran dengan melajukan mobilnya beranjak pergi.

Sebuah taman di pinggiran kota menjadi sasaran mereka malam ini. Tempat itu memang sedikit sepi saat malam tiba, karena hanya menjadi pusat bermain anak-anak bersama keluarga ketika sore hari. Dan pak Gibran mulai mengajak berbicara Khanza tanpa keluar dari mobil.

"Za, apa kau marah pada ku?"

"Kenapa? Kenapa bertanya seperti itu mas?"

"Sebab di sekolah tadi kau selalu cetus dan tanpa melihatku sedikitpun. Ada apa? Itu mengganggu pikiran ku sejak di sekolah tadi."

"Hmm... Apakah aku mulai mendapat predikat lebih tinggi di hatimu mas, sehingga kau begitu takut mendapati sikapku tadi?"

"Bukan, aku hanya merasa takut jika kau tersinggung akan perlakuan ku di villa saat itu."

"Yah, jujur aku memang marah padamu mas. Kau bersikap biasa saja setelah bertemu dengan ku di sekolah tadi, seolah tidak pernah terjadi sesuatu di villa saat itu."

"Ya ampun, Za. Jadi karena itu? Tuhan... Benar-benar ya, kamu ini."

"Apa? Apa salahku, mas?"

"Za, apa kau lupa hubungan yang kita jalani ini secara diam-diam. Apa kau mau aku memperlakukan mu dengan mesra di depan semua murid-murid? Itu hanya akan mempermalukan mu, aku tidak ingin melakukannya."

Khanza terdiam menundukkan wajahnya di hadapan pak Gibran. Membuat Pak Gibran menyadari ucapannya barusan sedikit tegas padanya. Kemudian dia meraih tangan Khanza untuk di genggamnya.

"Maafkan aku, Za. Aku sedikit emosi, maaf."

"Tidak, mas. Aku yang harus minta maaf, Aku egois, aku memaksamu melakukan hal yang hanya akan berakibat fatal untuk hubungan kita saat ini." Jawab Khanza dengan lirih. Pak Gibran tak tanggung-tanggu langsung meriah tubuh Khanza untuk di peluknya, dia merasa jika Khanza sungguh betapa polos dan lugu dalam menjalin hubungan terlarang ini.

"Jangan meminta maaf, semua ini salahku." Ucap Pak Gibran kembali dengan mengecup lembut kening Khanza.

"Mas, sepertinya aku sungguh jatuh cinta padamu mas. Bagaimana ini?"

"Jangan bicara lagi. Biarkan aku memeluk tubuhmu seperti ini, jangan berpikir macam-macam."

"Tapi mas, aku..."

Tanpa menunggu aba-aba hingga ucapan Khanza selesai di lontarkan, pak Gibran mencondongkan kepala dan mencium bibir Khanza. Berulang kali menciuminya dengan sedikit lebih lama, hati Khanza kini bersorak ria penuh kemenangan. Karena kini pak Gibran sudah mulai berani melumat bibirnya tanpa harus di paksanya.

Puas melakukan ciuman bibir, Khanza sedikit terengah-engah. Begitupun pak Gibran, nafasnya sedikit terdengar memburu.

"Mas, ayo kita lakukan lagi disini."

Pak Gibran terkejut mendengar ucapan itu dari Khanza. Dia tampak tersipu malu kemudian, mengalihkan tatapannya ke lain sekitar.

"Mas, ayo. Berikan aku kehangat malam ini,"

"Hah, Khanza. Kau yang memulainya lebih dulu, jangan menyesal membangunkan singa yang sedang tidur."

"Aku tidak takut, mas. Karena singa itu telah membuatku menggila dan candu."

"Singa itu akan semakin buas melahapmu jika kau terus memujinya seperti itu."

"Biarkan saja, mas. Aku rela, aku justru akan memberikannya makanan yang empuk dan lebih lezat dari sebelumnya. Hingga ia tidak akan pernah lepas dari pelukan ku."

"Kau, sungguh gadis kecil yang nakal, Khanza."

Lalu mereka benar-benar melakukannya di dalam mobil malam ini. Tanpa sedikipun merasa was-was atau takut akan mengundang kecurigaan, walau tempat ini sungguh sepi dari lalu lalang.

Mereka melakukannya lebih buas dan penuh gairah kali ini, seolah mereka sungguh pasangan suami istri yang baru saja menikah dan di mabuk asmara. Malam begitu terasa hangat dan lebih indah di rasakan oleh Khanza, membuatnya sungguh buta dan menggila memperlakukan pak Gibran seperti pemuas nafsunya.

avataravatar
Next chapter